Mohon tunggu...
Muhammad Ali Mashuri
Muhammad Ali Mashuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biasa Seperti Umumnya Yang Ingin Luar Biasa

IG : tuan_majreeha Twitter : majreeha09 #Tuan Majreeha Book

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi Transaksi Jual Beli Kotoran Hewan Ditinjau dari Prespektif Empat Madzhab

11 Oktober 2022   06:47 Diperbarui: 11 Oktober 2022   17:49 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama Islam adalah agama yang universal terhadap apa yang telah ditetapkan Allah di dalamnya. Agama Islam sendiri membedakan antara ibadah mahdhoh dengan ibadah muamalah. 

Ibadah mahdhoh, dalam artian ubudiyyah, merupakan ibadah paten yang tidak bisa dilakukan kecuali sesuai dengan ajaran atau yang diwahyukan sebagaimana dalam Al -- qur'an dan Hadist. Seperti halnya tentang sholat, semua sepakat bahwasannya kewajiban sholat dalam satu hari berjumlah lima. 

Yakni shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya. Semuanya tidak bisa dilakukan semaunya dikarenakan ada wahyu yang mengaturnya. Maka manusia tidak boleh mengarang ibadah sendiri dengan alih - alih mendekatkan diri kepada Allah. Sebab ibadah bukanlah dari manusia untuk manusia, melainkan dari manusia untuk Allah. 

Jika tidak ada pembedaan antara ibadah dengan muamalah, maka akan ada manusia mengada -- ada aturan dalam agama tentang ibadah yang tidak sesuai dengan syari'at agama Islam. 

Sedangkan muamalah hubungannya antara manusia dengan manusia. Dalam muamalah yang menjadi tolak ukurnya adalah maslahah, artinya semua orang bisa melakukan kebaikan berdasarkan prinsip maslahah dan tentunya tidak melakukan aktivitas yang telah dilarang oleh Allah. Seperti jual beli, sewa -- menyewa, wakaf, yang dalam teori dan prakteknya bisa berbagai variasi dengan catatan tidak melewati batas keharaman.

Ketika Rasulullah diutus di jazirah Arab, Islam tidaklah menciptakan bentuk muamalah ataupun transaksi baru yang dilakukan antar sesama manusia. Sebelum islam datang, masyarakat jazirah Arab terlebih dahulu mempraktekkan perdagangan dan akrab dengan jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, utang -- piutang, dll. Bahkan istilah mudharabah, qardh, hiwalah, dan damn bukanlah istilah produk dari Islam. Melainkan sudah dari empunya masyarakat jazirah Arab. Maka ketika Nabi diutus, Nabi hanya merespon perihal aktivitas yang telah dilakukan dalam keseharian masyarakat jazirah Arab, yakni antara mendapat persetujuan yang artinya diperbolehkan secara syara' dan penolakan yang bersifat larangan syara'. Seperti jual beli hablul hibalah yaitu jual beli unta yang masih berada di perut ibunya. Kemudian Nabi merespon dengan melarangnya yang tertera dalam salah satu hadis shohih. Ada juga respon terhadap jual beli yang diharamkan dikarenakan ada unsur ribanya sebagaimana dikutib dalam surat Al -- Baqarah ayat 278. Nabi juga melarang jual beli hashah yaitu jual beli tanah yang mana luas pengukuran tanahnya berdasarkan lemparan batu.Tapi di satu sisi, Nabi memperbolehkan akad salam yang selama ini dilakukan sebelum Islam datang.

Jual beli merupakan salah satu yang tidak asing di kalangan masyarakat pada umumnya. Baik skala besar (makro) ataupun skala kecil (mikro) yang pada intinya berfokus meraup keuntungan besar dengan mengupayakan modal yang minim. 

Bentuk jual beli dalam Islam diberi kebebasan oleh Islam yang mana tidak sebebas dalam prinsip-prinsip ekonomi lainnya seperti kapitalis atau sosialis. Kebebasan jual beli yang dimaksud kebebasan yang terikat. Artinya Islam tidak mengizinkan kepada masyarakat kebebasan yang mutlak, tetapi mengikat kebebasan itu dengan batas-batas dari nilai-nilai syari'at. 

Pada dasamya, hukum jual beli adalah boleh, namun ketika kondisi memaksa kita membutuhkan makanan dan minuman maka hukumnya menjadi wajib, demi menyelamatkan nyawa. Sebaliknya, haram hukumnya tidak memperjualbelikan makanan dan minuman yang bisa menyelamatkan nyawa. 

Hukum jual beli bisa berubah menjadi dianjurkan bagi orang yang memenuhi sumpah untuk berjual beli. ]uga bisa berubah menjadi makruh, seperti memperjualbelikan barang yang makruh diperjualbelikan. Dan haram hukumya memperjualbelikan barang yang haram diperjualbelikan.

Dalam keseharian, masyarakat semuanya sudah mengetahui secara global mengenai praktik jual -- beli. Akan tetapi tidak semuanya mengetahui atau melaksanakan jual beli yang benar sesuai dengan anjuran. Bahkan tidak sedikit yang sama sekali tidak mengetahui ketentuan -- ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual beli. 

Padahal suatu jual beli dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi yang telah disyari'atkan. Seperti rukun dan syarat sah, bukan milik orang lain, dll. Begitupun sebaliknya, jual beli tidak sah jika tidak sesuai rukun dan syarat sah yang telah ditentuan syari'at Islam. Seperti jual beli, khamr, babi, dan darah. Sehingga jual beli tidak hanya tentang untung dan rugi, melainkan juga memperhatikan aspek sah tidaknya dan halal haramnya.

Seperti yang diketahui, mayoritas masyarakat di Indonesia merupakan penganut madzhab Imam Syafi'i. Akan tetapi dalam praktiknya ternyata banyak kejadian lapangan yang tidak sesuai dengan ajaran yang telah diijtihadi oleh imam syafi'i.  

Salah satu contohnya adalah jual beli kotoran hewan. Di daerah Trawas - Mojokerto, ada peternakan ayam besar yang berisi 30 ribu ayam potong. Yang mana setiap 3 bulan sekali, kotoran hewan dikumpulkan dalam karung hingga mencapai ratusan karung. Semua kotoran yang telah dikumpulkan dalam karung nantinya akan dijual kepada pengepul untuk dimanfaatkan sebagai pupuk pertanian.

Melihat bentuk jual beli seperti ini, tentunya bagi orang awam menganggap semuanya hal yang lumrah dan tidak ada permasalahan. Dikarenakan baginya, inti dari jual beli adalah mendapatkan keuntungan. 

Akan tetapi ketika ditinjau dari madzhab Imam Syafi'i, tentu jual beli ini diharamkan. Karena Imam Syafi'i berpendapat bahwasannya salah satu syarat jual beli dapat dikatakan sah jika barang yang diperjualbelikan haruslah suci. Maka ditinjau dari Imam Syafi'i jual beli semacam ini tidaklah sah. 

Pendapat Imam Syafi'i selaras dengan Imam Hambali yang tidak memperbolehkan sama sekali barang yang najis. Sedangkan ditinjau dari Imam Hanafi menjual kotoran hewan diperbolehkan karena bermanfaat untuk menyuburkan tanah dan membuat tanah menjadi bagus. 

Menurut Imam Malik tidak boleh menjual kotoran binatang karena najis. Akan tetapi, boleh saja jual beli kotoran sapi, domba unta dan semacamnya karena dibutuhkan untuk tanaman dan bentuk-bentuk pemanfaatan lainnya.

 Adanya perbedaan mengenai hukum jual beli kotoran hewan dikarenakan ada beberapa aspek nilai yang berbeda. Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali dalam menentukan rukun jual beli sebenarnya sama. Yakni orang yang bertransaksi, barang, dan shighot (ijab kabul). Hanya saja dalam memperinci dari ketiga rukun tersebut mengalami perbedaan sehingga memunculkan kesimpulan yang berbeda. Imam Syafi'i, Imam Hambali, dan Imam Maliki menganggap kotoran hewan dilarang karena najis berdasarkan hadis yang telah diambil dari Jabir r.a bahwa Allah telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, dan babi. Dan semua barang yang telah dijelaskan dalam hadis merupakan najis. Sedangkan Imam Hanafi diperbolehkan karena berasaskan kemanfaatan. Kalau hanya melihat khamr, bangkai, dan babi hanya dari unsur najisnya saja, tentu berbanding balik dengan kotoran hewan yang jauh memiliki kemanfaatan daripada ketiganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun