Mohon tunggu...
Nurfi Majidi
Nurfi Majidi Mohon Tunggu... Bankir - 25 tahun menjalani aktivitas di sebuah bank BUMN. Saat ini ingin lebih fokus melakukan perjalanan ke dalam agar menemukan makna hidup yg sejati

Bermimpi , berpikir dan bertindak sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Tua dan Kartu Gaple

10 September 2015   18:49 Diperbarui: 10 September 2015   18:54 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini sebenarnya aku berencana lembur sampai malam. Namun aku harus buru-buru pulang kantor. Istriku telpon tetangga sebelah meninggal dunia. Sebagai tetangga yang baik, aku ingin segera melayat dan membantu proses perawatan jenazahnya. Tidak menyangka, kemaren baru ketemu dan bersenda gurau, malam ini dipanggil Yang Maha Kuasa. Memang untuk mati tidak harus sakit atau menua dulu. Bayi yang belum lahir pun bisa dipanggil malaikat Izroil dulu. Kematian pasti datang, namun Allah berkenan merahasiakan kapan dan dimana. Bersyukurlah, kematian itu dirahasiakan. Coba kalau kematian kita sudah ditentukan dimana, dengan cara apa, tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian. Bisa kacau hidup kita. Kalau waktunya masih lama, kita mungkin memilih untuk berfoya-foya dulu. Namun mendekati tanggal kematian, pasti hidup kita sudah tidak nyaman lagi. Bagaimana kalau kita tahu bahwa kematian kita karena dibunuh misalnya. Bagaimana kalau kita tahu kita akan mati di tengah hutan. Alhamdulillah kita tidak diberikan pengetahuan tentang kapan, dimana dan dengan cara apa kita mati.

Sampai di rumah, mobil langsung aku parkir di garasi. Istrirahat sebentar langsung pergi melayat. Di ujung jalan masuk, aku ketemu dengan Bapak-bapak Tua yang sedang asyik main gaple di gardu ronda. Seolah berita kematian tetanggaku tidak berpengaruh terhadap keasyikan mereka bermain gaple. Seolah kematian hanyalah milik orang lain. “ Sudah ngelayat Bapak-bapak” tanyaku saat melewati gardu ronda. “ Ya sudahlah “ jawab mereka hampir bersamaan. Sebenarnya arah pertanyaanku bukan sudah melayat atau belum, tapi lebih jauh mbok ya kematian tetangga itu dijadikan pelajaran bahwa mungkin berikutnya adalah giliran kita. Ini kok masih asyik dengan kartu gaplenya. Jam sudah menunjukkan pukul 22. Kayaknya makin malam kain seru. Ya sudahlah, aku melangkah langsung menuju rumah duka.

Pulang melayat jam 24.00 aku melewati lagi gardu ronda. Dan luar biasa, permainan gaple masih berlangsung. Makin seru dan makin panas. Grup gaple ini memang memiliki jadwal rutin 2 kali seminggu nangkring di gardu main gaple.

--- 000 ---

Asyiknya main gaple Bapak-bapak semalem masih aku renungkan. Bagaimana bisa kematian di depan mata, tidak menjadi pelajaran berharga untuk yang masih hidup. Apalagi kalau umur sudah senja. Betapa detik demi detik menjadi sangat berharga. Rasullah mengatakan bahwa kematian adalah pelajaran palin berharga bagi yang masih hidup untuk mengevaluasi lagi visi dan misi hidup kita. Lah kalau kematian sudah tidak lagi membawa dampak dalam kehidupan, lalu pelajaran apalagi yang bisa menyadarkan manusia akan adanya perjalanan setelah mati.

Apakah sekedar main gaple yang melenakan kematian ? Jangan-jangan kita yang tidak sedang main gaple ini sebenarnya juga telah terlena dan lupa mengumpulkan bekal untuk perjalanan setelah mati ? Mungkin kita tidak sedang memegang kartu gaple, tapi barangkali kita sedang memegang kartu harta benda, jabatan, popularitas atau kenikmatan lainnya. Kita asyik bermain dengan kartu-kartu tersebut. Sama-sama melenakan. Makiin lama makin asyik, makin lama makin ketagihan. Bahkan kita mulai berani bermain curang. Sulit dinasehati lagi bahkan oleh sebuah kematian sekalipun.

Dunia memang disetting oleh Tuhan sebagai panggung sandiwara yang melenakan sebagai ujian untuk menemukan manusia-manusia pilihan yang pantas masuk surgaNYA. Dunia banyak menawarkan “kartu-kartu gaple” dengan berbagai macam, jenis dan variasinya. Beruntung bagi mereka yang terus mensucikan hatinya agar tidak terombang-ambing gemerlap panggung dunia. Tidak tergoda dengan kartu-kartu gaple yang saat ini dipegangnya.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun