Hari jumat Sore tanggal 4 Oktober 2013 kemarin, Pak Kyai Maknun dari Temanggung nelfon saya dan berkonsultasi mengenai sesi terapi yang dilakukan pada dua orang santrinya. Gejala sakit yang di derita oleh dua orang santriwati ini adalah batuk dan sesak nafas. Dan biasanya, bila Pak Kyai menerapi, pasien yang habis diterapi itu tidak menunjukkan gejala yang aneh, dan segera pulih.
Namun untuk kasus kali ini, dua santriwati tersebut setelah diterapi. Tidak lama kemudian sakitnya makin menjadi-jadi. Batuknya makin menjadi-jadi dan juga makin sesak nafas. Menghadapi yang demikian, beliaupun telfon dan berkonsultasi dengan saya.
Dalam konsultasi tersebut, saya sarankan beliau untuk membuat Air Terapi, serta melakukan pijat refleksi untuk daerah telapak tangan dan juga kaki. Serta melakukan Terapi Emotional Healing.
Dan 15 menit yang lalu beliau telfon lagi, berterima kasih karena kondisi dua santriwati tersebut sudah membaik. Dan sekarang keduanya tidur pulas....
Alhamdulillah...
Dalam kesempatan tersebut pak kyai maknun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi. Maksudnya setelah diterapi kok malah sakitnya makin menjadi.
Maka saya jelaskan padanya, bahwa kondisi peredaran energi dari sistem bioenergi seseorang yang sedang sakit itu sedang mengalami hambatan atau sumbatan. Dan saat setelah selesai diterapi, sumbatan tersebut berhasil dihilangkan dan dibuang, sehingga peredaran energi kembali menjadi lancar. Namun karena tubuh sudah terbiasa dan bisa beradaptasi dengan sakit dan penyakit, maka lancarnya aliran energi ini sedikit menimbulkan shock efek.
Hal ini seperti fenomena kesemutan yang kita alami karena terlalu lama menekuk kaki, dan ketika kaki kita selonjorkan atau kita luruskan. Terasa kesemutan di sekujur kaki kita.
Yang perlu dicermati mengenai fenomena dua santriwati tadi adalah bahwa dari gejala yang ada, terapi perlu difokuskan pada aspek emosinya. Karena kondisi pesantren tentu beda jauh dengan kondisi di rumah. Dan bila si santri kemampuan adapatasi lingkungannya kurang bagus, maka dapat menimbulkan stress dan depresi yang berkepanjangan sehingga berujung pada sakit di aspek fisiknya. Atau istiahnya sakit psikosomatis.
Para pakar dan dan peneliti perilaku manusia menyatakan bahwa 77% dari apa yang kita fikirkan bersifat negatif, kontraproduktif dan melawan diri kita. Sementara itu para peneliti di bidang medis menyatakan bahwa 75% dari penyakit yang di derita oleh manusia bersifat Self-induced (Penyakit yang timbul akibat kondisi pikiran/psikosomatis).
Nah, karena ini di pesantren. Sebenarnya Emotional Treatment itu merupakan hal yang mudah dan sudah menjadi menu kesehariannya. Oleh karena itu saya tekankan pada beliau, bahwa pendidikan yang dilakukan di pesantren tersebut jangan hanya berfokus pada rutinitas pendidikan belaka. Perlu juga disiapkan kurikulum khsusus untuk pembinaan mental.
Demikianlah sesi diskusi via telfon yang dapat saya share ke sahabat semua, Terus terang saya sangat suka dengan diskusi via telfon tadi. Sehingga diksusi ini saya share ke publik, mengapa begitu..? Ya.. karena sangat jarang seorang tokoh pemuka agama yang menghargai dan menghormati kami para praktisi psikoterapi. Biasanya mereka sangat fanatik dan sombong dengan kehebatan ilmu agamanya, seolah-olah diri mereka itu sendiri adalah sang agama. Sehingga selalu mutlak kebenarannya. Dan menutup diri dari ilmu-ilmu lainnya.
Dan oh ya, perlu diketahui bahwa selain saran psikoterapi. Saya juga menyarankan untuk membawa kedua santriwati tersebut ke dokter. Sehingga treatment terapi yang diberikan dapat bersifat lengkap dan menyeluruh.
Semoga bermanfaat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H