Pagi itu saya meluncur ke kawasan tengah kota Malang, tak jauh dari Alun-Alun kota Malang yaitu kawasan Kayutangan. Tepatnya di Jl. Arif Rahman Hakim gang 2 atau dulu dikenal dengan sebutan Gang Talun Es, karena di depan gang ini terdapat depot es campur yang sangat terkenal. Memasuki gerbang gang ini tertulis "Kampoeng Wisata Kajoetangan", masih memakai ejaan lama, karena yang ditonjolkan oleh kampung ini adalah kejadulannya.Â
Setelah melewati gerbang akan disambut dengan Peta Kampoeng Kajoetangan, sehingga pengunjung bisa mempunyai gambaran objek wisata apa saja yang bisa ditemui di dalamnya. Sebuah spanduk hitam bertulisan "Sugeng Rawuh" sebagai ucapan selamat datang kepada pengunjung, Di dekat spanduk diletakkan sepeda kuno.Â
Rumah pertama yang saya dapati adalah rumah Pak Iink selaku anggota manajemen Kampoeng Kajoetangan. Pak Iink yang berprofesi sebagai fotografer menampilkan barang-barang jadul yang dipajang di depan rumahnya.Â
Ada vespa kuno, kursi berlilitkan tali plastik, meja dan kursi kayu kuno dengan hiasan ceret-ceret hijau serta termos adalah gambaran barang-barang tempo dulu yang sekarang lagi hits karena kejadulannya.
Di depan rumah ini, pengunjung bisa melakukan sesi foto dengan latar yang cantik, pastinya instagramable. Pada hari Minggu atau saat ada event akan dijual berbagai souvenir khas berupa kaos, pin, tempelan kulkas, udeng Malang dan sebagainya. Di ruang tamu rumah Pak Iink juga dijadikan spot foto berupa pajangan puluhan camera koleksinya, tv dan radio kuno. Pengunjung bisa mengambil gambar di sini.
Kedatangan saya yang pertama saya hanya berminat untuk foto-foto saja, memang ada petunjuk jalan menuju lokasi objek wisata tetapi pada kenyataannya saya tak dapat menemukan lokasi-lokasi itu dengan mudah. Akibatnya tidak semua objek yang tercantum di brosur dan merupakan bangunan-bangunan iconic bisa saya temukan.
Mengingat lokasi kampung ini sangat luas, meliputi 3 RW, maka kunjungan dengan bantuan pemandu akan sangat efisien, berkesan dan mendapatkan informasi-informasi sejarah yang pasti. Dengan perjanjian saya menghubungi manajemen yang ada di brosur dan memohon jasa pemandu.
Kami dipersilahkan duduk di sofa yang terbuat dari anyaman rotan tipis berpadu dengan ukiran kayu. Kursi tamu model ini sangat terkenal di zaman saya kecil. "Jamu sekarang banyak yang tidak lengkap," kata Bu Esther. Rupanya dengan perkembangan zaman, jamu adukan mulai ditinggalkan orang. Produsennya jadi mengurangi produknya. Namun Bu Esther tetap setia berjualan jamu dibantu putra angkatnya itu.Â
Setelah bincang-bincang sejenak, kami melanjutkan blusukan. Rumah berikutnya adalah Gubuk Ningrat, ini adalah rumah Pak Rizal yang menjadi pengurus manajemen juga. Rumah ini berhadapan dengan Rumah Punden. Pemilik rumah Punden mempersilahkan kami masuk ke rumahnya bila mau mengambil gambar. Di rumah Punden saya temukan nuansa ruang tamu priyayi khas Jawa. Sofa bludru, foto-foto orang tua, barang-barang keramik dan berbahan kuningan menjadi pajangannya, perabotnya terbuat dari kayu.