Rumah no 31 dinamakan Rumah Namsin. Rumah ini dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1900, kemudian dibeli oleh keluarga Namsin. Saat ini rumah ini tidak lagi dihuni, hanya sesekali dibuka dan dibersihkan.Tetapi barang-barang dan kondisi rumah masih asli dan terawat baik.
Kembali memasuki kampung, panas mulai menyengat karena matahari mulai tinggi. Saya dan Mbak Mila masih melanjutkan perjalanan. Kami menuju Rumah penghulu, karena di sana dulu tinggal seorang penghulu. Rumah ini juga mempunyai tipe atap pelana. Di sampingnya ada Rumah Jengki, bernuansa warna hijau dengan atap berbentuk segitiga yang runcing.Â
Dinamakan rumah jengki karena bentuknya tidak pada umumnya dibandingkan dengan rumah-rumah sekitarnya. Beberapa meter ke arah belakang  dari situ akan ketemu dengan Rumah 1870, merupakan rumah tertua di kawasan itu yang masih mempertahankan gaya aslinya.
 Rumah ini dibangun pada tahun 1870. Terdapat ukiran kayu yang ditata berbaris  sebagai ornamen atap terasnya, pintu rumah dari kayu yang kokoh dan jendela besar di sebelah kanan kirinya. Di depannya ada teras kecil yang dipagari tembok. Rumah ini cukup terawat dan masih ditinggali.
Sebagaimana kawasan pemukiman penduduk pada umumnya, kehadiran pasar sangatlah penting. Pasar kecil di suatu wilayah tanpa bangunan permanen disebut Pasar Krempyeng. Masyarakat Jawa sudah mengenalnya. Di Kampoeng Kajoetangan ini juga terdapat pasar krempyeng, tetapi sekarang kondisinya sudah bagus. Ada stand-stand nya dan setiap stand telah dilapisi keramik, sehingga tampak bersih. Setiap hari Rabu adalah hari pasaran, ada banyak penjual yang berdagang macam-macam di hari Rabu yang datang ke situ.
Perjalanan dilanjutkan ke arah Jalan Semeru, Mbak Mila mengajak saya untuk melewati Terowongan Semeru sebuah lorong bawah jembatan yang menghubungkan wilayah Kayutangan sebelah selatan dengan Kayutangan sebelah utara. Di atas jembatan itu adalah Jalan Semeru. Terowongan ini adalah bangunan Belanda yang kokoh sampai sekarang.Â
Dari sana kami menyusuri pinggir sungai dan sampai di rumah Jalan Arjuno Gang 1. Desain rumah ini mempunyai pintu dan jendela ganda. Warnanya perpaduan dari coklat dan putih. Sambil menuju arah pulang saya melewati Trundakan Sewu, yaitu tangga  menuju Jalan Dorowati yang banyak sekali anak tangganya.
Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Mbak Mila, "Apakah setelah menjadi kampung wisata berdampak pada pertumbuhan ekonomi warga?" Mbak Mila menjawab,"Pasti, Bu! Masyarakat di sini menjadi bangkit karena merasa punya kebanggaan pada kampungnya. Mulai ada yang berjualan makanan, jamu di saat event-event tertentu."Â
Namun karena penetapan Kampoeng Kajoetangan ini baru pada 22 April 2018, maka manajemen memang masih perlu berbenah. Wilayahnya yang besar menjadi kendala untuk menggerakkan masyarakat secara bersama-sama mendukung program yang dicanangkan. Sebenarnya masih banyak bangunan lama di wilayah ini yang belum tercatat, nanti kedepannya akan terus bertambah.
Saya mengakhiri blusukan kami sekitar jam 10.00, berarti selama 2 jam cukup untuk blusukan secara lengkap sekalian mampir di beberapa rumah. Warga Kampoeng Kajoetangan cukup ramah menyambut pengunjung yang datang ke sana.Â