Dengan jasa pemandu pengunjung tidak sekedar foto di teras rumah, tetapi juga bisa masuk sampai ruang tamu ketika pemiliknya ada. Ada kaleng donasi yang dapat diisi secara sukarela oleh pengunjung. Kampoeng Kajoetangan ini benar-benar masih swadaya masyarakat setempat, sehingga donasi yang kita berikan akan memberi manfaat bagi perawatan rumah-rumah tersebut.
Apalagi rata-rata pemiliknya sudah tua, pastilah donasi ini akan sangat membantu. Di belakang Gubuk Ningrat ada Rumah Jacoeb, pemilik pertama rumah ini adalah Pak Jacoeb yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang suka melukis. Hasil lukisannya pernah mendapat pernghargaan.Â
Rumah Pak Jacoeb saat ini ditempati oleh anak dan cucunya. Rumah bercat coklat berpadu kuning dengan sekat-sekat kaca diantara kusen kayunya benar-benar gaya khas masa lalu. Lantainya masih teraso kombinasi warna kuning dan abu-abu.Â
Salah satu ciri khas dari rumah lama adalah memiliki dua rangkaian kursi tamu. Yang pertama berupa sofa panjang untuk tiga orang dan 2 sofa single beserta meja pendek di tengah-tengah, Yang kedua, biasanya berada persis di belakang pintu masuk, berupa sepasang kursi seukuran kursi makan dengan meja tinggi diantara kedua kursi. Taplak selalu terhampar di atas meja. Di beberapa rumah saya masih menemukan cermin oval berbingkai kayu dengan tempat gantungan di bagian bawahnya.
Keluar dari Rumah Jacoeb saya dan Mbak Mila kembali menyusuri kampung melewati pinggir sungai  kecil yang ada di dalam kampung, jalan di kampung berupa gang yang berjarak sekitar satu setengah meter antar rumah memang sudah biasa di kampung. Jalanan kampung itu unik, bisa berlika-liku mengikuti tata letak bangunan, ada banyak jalan tembusannya juga. Kunjungan berikutnya menuju rumah sutradara terkenal almarhum Abbas Akup, saat ini rumah itu ditempati oleh adiknya yang juga seniman lukisan 3 dimensi dari bahan limbah karet. Bentuk rumahnya seperti galery. Abbas Akup adalah sutradara film Inem Pelayan Sexy.
Mbak Mila juga mengajak saya ke Makam Eyang Honggo Kusumo atau sering disebut Mbah Honggo yang berada di lingkungan kampung tersebut. Mbah Honggo merupakan perintis Kampoeng Kajutangan sehingga dimakamkan di sana. Beliau juga menjadi guru ngaji anak bupati Malang yang pertama. Di kampung ini ada  juga makam lain yang disebut Kuburan Tandak. Di sana dimakamkan prajurit rekan Mbah Honggo. Mendapat sebutan Kuburan Tandak karena tempat itu dulunya digunakan para penari (tandak) merias diri sebelum manggung. Jadi di daerah itu dulu banyak penari tradisional yang disebut tandak.
Beberapa rumah berikutnya kami tidak lagi mampir karena waktu yang terbatas, tetapi kami lewati saja. Ada rumah Nyik Aisyah di dekat makam Mbah Honggo yang dulunya dijadikan pendopo.Â
Rumah ini atapnya berbentuk pelana, di mana di bagian atasnya ada tambahan bangunan yang mirip pelana. Ada pula Rumah Kebaya, berupa bangunan kuno yang besar ukurannya dan saat ini disewa oleh seorang desainer kebaya yang karya-karyanya sangat terkenal. Rumah ini terletak di depan gedung RW.
Melewati gang kecil di sebelahnya, sampailah kami ke Rumah Cerobong, karena rumah ini dulunya mempunyai cerobong yang besar sampai ke atas. Pemiliknya berprofesi sebagai tukang masak. Â Dari sana kami lurus keluar menuju Jalan Kayutangan.Â