Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Fakta Menarik Berdirinya Museum Zoologi Frater Vianney, Malang

24 Oktober 2016   19:12 Diperbarui: 25 Oktober 2016   11:22 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 15 Oktober 2016 yang lalu, saya berencana mengunjungi Museum Zoologi Fr.Vianney, BHK di kawasan Tidar, kota Malang. Keinginan untuk berkunjung ke sana sudah lama tetapi kesempatannya yang belum kunjung datang, ada saja halangannya. Pagi itu saya menghubungi via telpon untuk memastikan museum ini buka. “Kami buka Bu, sampai jam 2 siang,” begitu jawaban yang saya terima dari petugas museum. Saya juga minta penjelasan pintu masuknya dari mana? Meskipun alamatnya di Jalan Raya Karang Widoro 7 – Karang Besuki – Tidar Malang, tetapi pintu masuk justru lebih dekat lewat Jalan Puncak Mahameru di sebelah Gereja Katolik Santo Andreas, Tidar.

Sekitar jam sebelas siang saya sampai di sana dan disambut oleh petugas Museum, Mbak Iin. Saya menyampaikan keinginan untuk membuat liputan tentang museum ini. “Ibu tidak keberatan menunggu Direktur kami?” tanya Mbak Iin,. “Jam berapa datangnya?” tanya saya kembali. Sambil melihat jam tangannya petugas itu menjawab,”Sebentar lagi, Bu!” Wah, kebetulan sekali kalau saya bisa wawancara dengan Direktur Museum Zoologi ini, pikir saya. “Baiklah, saya tunggu!” jawab saya. 

Dari kejauhan saya melihat seorang laki-laki berjalan menuju pintu masuk Museum. Saat saya sedang memotret iguana, petugas itu memanggil saya,”Bu, Direkur kami sudah datang!” Saya bersalaman dan saling memperkenalkan diri. Frater M. Clemens,BHK adalah direktur sekaligus pendiri  museum ini. “Mari Ibu, silakan duduk!” kata Frater Clemens dengan ramah, ketika kami memasuki salah satu ruang yang  dijadikan kantornya. Di atas meja ada kertas folio tulisan tangan beliau, dua buku tebal terbuka yang di bagian sisinya terdapat “lidah-lidah” untuk memudahnya pencarian.

Iquana ukuran sekitar 1 meter diawetkan basah (dok pri)
Iquana ukuran sekitar 1 meter diawetkan basah (dok pri)
“Ibu dari mana?”tanya beliau dengan logat Flores yang masih kentara. “Saya dari Malang saja, Frater. Saya tertarik untuk membuat liputan tentang museum ini. Saya seorang guru yang juga hobi menulis di Kompasiana.” jelas saya. “Oh bagus itu!” jawabnya antusias.

“Frater berapa banyak koleksi museum ini?” tanya saya mengawali wawancara kami. “Sekitar 12.000 spesies. Ada ular, kadal, gurita dan ribuan kerang. Koleksi ini diperuntukkan bagi ilmu pengetahuan, khususnya biologi. Banyak sekali anak-anak dari TK sampai mahasiswa datang ke sini untuk belajar.” Selanjutnya Frater Clemens bercerita banyak pada saya yang merupakan fakta menarik berdirinya museum ini.

Pesona Kharisma Pribadi Seorang Guru

Sejarah berdirinya Museum Zoologi ini berawal dari seorang Frater M. Vianney,BHK, yang bernama asli J. K. P. Van Hoessel.Beliau adalah misionaris berkebangsaan Belanda yang datang ke Indonesia, pernah bertugas sebagai guru merangkap kepala sekolah  SGA (sekolah Guru Atas) di Flores. Sebagai guru  ilmu hayat Frater Vianney selalu mempersiapkan bahan-bahan mengajarnya secara cermat dan selektif. Beliau seorang guru pandai mengajar, menarik saat mengajar di depan kelas, serta senantiasa memotivasi murid-muridnya. 

“Celakalah, bila para calon guru hanya rajin berkelakar tentang hal-hal yang sepele,” kata-kata ini dingat betul oleh muridnya yang bernama Johanes Djuang Keban. Maksudnya adalah seorang guru dituntut untuk mempunyai buku-buku sumber, belajar otodidak dan berinisiatifdalam mengajar. Gaya mengajarnya yang mengasyikkan membuat Johanes Djuang Keban memandang Fr. Vianney sosok yang mempesona dan kharismanya mempengaruhi jalan hidup Sang Murid kedepannya. Hubungan guru – murid tak berhenti hanya di kelas.

Frater Vianney mendapat sapaan “Frater Ular” dari warga setempat, karena kebiasaannya mencari ular. Sepulang mengajar di sekolah, beliau merpersiapkan alat penjerat, sepotong bambu dan sarung bantal. Naik sepeda ke luar kota dan menuju hutan untuk mencari ular. Beliau dapat menemukan ular berbisa maupun tidak berbisa. 

Setelah ditangkap ular itu diamankan di bambu lalu dimasukkan sarung bantal. Hatinya begitu gembira ketika mendapat tangkapan. Ular-ular ini kemudian dipelihara dengan layaknya anak emas sambil diteliti serta dibuat catatan tentang pola hidup ular tersebut. Catatan hasil penelitiannya kemudian dibukukan. Sesudah penelitian selesai ular tersebut disuntik formalin dan diawetkan lalu dikoleksi untuk dijadikan bahan belajar.

Moncong cucut gergaji berukuran kurang lebih 2 meter (dok pri)
Moncong cucut gergaji berukuran kurang lebih 2 meter (dok pri)
Pesona Fr. Vianney benar-benar menggetarkan kalbu Johanes Djuang Keban hingga muncul hasrat besar mengikuti jejak idolanya itu. Hingga pada tahun 1961, Johanes Djuan Keban dengan hati ikhlas menggabungkan diri dengan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Ia pun mendapat sebutan baru, Frater M. Clemes,BHK. Setelah lulus dari SGA di Larantuka, Fr. Clemens ditugaskan di Kupang untuk mengajar SD. Beliau sempat mendapat buku tentang ular karangan Fr. Vianney. Sejak itulah muncul niat untuk mengoleksi bakat “turunan” dari Fr. Vianney. Setiap Sabtu sepulang sekolah ia bersama sejumlah anak SD mulai berburu ular dan biawak.

Fr. Clemens tak segan untuk bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Kantor Dinas Kehewanan dan Universitas Nusa Cendana untuk proses pengawetan dengan formalin. Setelah proses pengawetan, ular dan biawak temuannya harus diberi nama. Penamaan pada hewan mengikuti klasifikasi menurut : family, genus dan species. Fr. Clemens masih selalu berkomunikasi dengan Fr. Vianney tentang penemuan-penemuannya dan penamaan atas penemuan beliau.

Pada tahun-tahun akhir hidupnya Fr. Vianney mendalami ilmu tentang “kulit siput dan kerang” atau conchology. Seperti kebiasaan sebelumnya, Fr. Vianney terjun ke pantai dan mencari kerang dan cangkang, kemudian dibersihkan dan diklasifikasi serta disusun dalam lemari kaca. Fr. Vianney juga mengirim buku hasil penelitiannya kepada Fr. Clemens, dan itu menjadi hobi barunya pula.

Sebagai seorang biarawan, Fr. Clemens harus siap ditugaskan ke mana saja, sehingga hobi berburu dan mengoleksi barang buruannya tak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya tersendat dan sama sekali tidak bisa menangani. Akan tetapi dorogan hati Fr. Clemens tak pernah surut. Di manapun beliau berada hatinya selalu tergoda manakala melewati semak-semak, melihat ibu-ibu dan para gadis di tepi pantai sedang membolak-balik batu mencari siput atau kerang. 

Di celah-celah waktu yang ada sambil menjalani tugas utamanya sebagai sebagai guru, kepala asrama dan juga pemimpin kongregasi, Fr. Clemens masih senantiasa melaksanakan hobinya. Bahkan saat bertugas di Kenya, Fr. Clemens juga sempat mengawetkan seekor ular, yang sekarang ada di museum zoologinya.

Koleksi museum diawetkan secara basah dan kering (dok pri)
Koleksi museum diawetkan secara basah dan kering (dok pri)
Akibat beberapa kali harus berpindah-pindah tempat, maka koleksinya juga tak selalu bisa dibawa-bawa. Sebagian sudah diserahkan ke Fakultas Peternakan dan Fakultas Biologi Universitas Nusa Cendana, Kupang dan sebagian lagi dikirim ke Malang. Sampai pada akhir tahun 1998, Kantor Dewan Propinsi dari Kongregasi BHK dipindahkan ke kota Malang dan menempati komplek yang cukup luas dan aman di Jl. Karangwidoro Malang. Apalagi di tempat itu banyak ditemukan ular. Inilah awal kebangkitan hobinya lagi, Fr. Clemens meminta izin pada Frater Wilfried van der Poll, pemimpin tertinggi Kongregasi untuk mendapat tempat bagi koleksinya yang diberinya nama MUSEUM ZOOLOGI FRATER VIANNEY. Nama ini adalah untuk mengenang almarhum Fr. Vianney atas jasa mulianya.

Minat Disertai Tanggung Jawab sebagai Penerus

Jelas kiranya, figur Fr. Vianney begitu mempesona Johannes Djuang Keban sampai-sampai beliau hidup laksana duplikat Fr. Vianney. Bagi Fr. Clemens, F. Vianney adalah figur guru, pendidik serta seorang frateryang hidup bersama dalam suatu persekutuan religus Katolik.  Sosok Fr. Vianney dengan semangat dan kharismanya membuat Fr. Clemens menjadi penerus Fr. Vianney, seperti tertulis di buku panduan Museum Zoologi.  Fr. Clemens sempat berduka mendalam ketika Fr. Vianney wafat pada tanggal 5 Maret 1970. Bagai “layang terputus tali” ,begitulah pernyataan Fr. Clemens atas wafatnya Sang Guru, karena mereka berdua merasakan kolaborasi yang selama ini terjalin, tiba-tiba harus berhenti.

Perjalanan hidup Fr. Clemens yang saat ini berusia 78 tahun benar-benar membuat saya kagum. Betapa hebatnya kharisma seorang guru hingga ada muridnya yang benar-benar mengikuti jejaknya dengan pengabdian tulus dan penuh tanggung jawab sampai masa tuanya. Saya merasakan betapa cinta yang mendalam pada temuan-temuannya sama seperti Sang Guru. Bahkan memajang koleksinya di museum. Saat ini Fr. Clemens sudah pensiun dari tugas-tugas di kongregasinya dan hanya menjabat sebagai Direktur Museum Zoologi. 

Setiap hari masih datang ke kantornya, masih pula memelihara ular hidup di belakang museum, mempunyai hobi menulis seperti gurunya. Sudah ada 3 buku tentang binatang koleksinya yang sudah diterbitkan menjadi buku. “Dari masing-masing buku ini, kami mendapat untung 10 juta rupiah!” ceritanya pada saya. Biaya penerbitan dibiayai dari dana Kongregasi. “Masih ada 5 naskah buku lagi sebenarnya, tetapi ditolak oleh penerbit karena dianggap kurang ada peminatnya. 

Dari sisi bisnis, kurang menguntungkan,” lanjutnya lagi. Buku-buku yang sempat tercetak diunjukkan kepada saya, pemaparannya detail sekali dan dicetak edisi berwarna yang menarik. Selain menulis buku tentang koleksinya, Fr. Clemens juga menulis buku-buku lain, seperti buku rohani. Beliau menulis tangan di kertas folio dengan sumber-sumber dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda. Kemudian stafnya yang akan mengetik di komputer. Bila Fr.Vianney hobi menulis dan kemudian dibukukan, begitu pula dengan Fr. Clemens. Sungguh Fr. Clemens seolah menjadi titisan dari Fr. Vianney, dengan bakat, hobi  dan jalan hidup yang nyaris sama persis.

Buku-buku tentang hewan yang telah diterbitkan (dok pri)
Buku-buku tentang hewan yang telah diterbitkan (dok pri)
Siapa Penerus Frater Clemens?

“Frater, saat ini koleksi frater sudah banyak dan disimpan di museum ini. Di belakang masih ada ular yang hidup. “Apakah Frater sudah menyiapkan orang yang bisa melanjutkan hobi ini dan kelanjutan atas koleksi museum ini?” tanya saya. “Untuk menambah koleksi, tempatnya sudah tidak cukup, Bu!”jawab Frater Clemens. Sejenak, pandangan beliau menerawang jauh dan tak segera menjawab pertanyaan saya. Ada kegalauan untuk melanjutkan menjawab pertanyaan saya. 

“Iya Bu, Ini sulit! Banyak orang yang bertanya seperti Ibu,” lanjutnya. Museum Zoologi ini berada di bawah naungan Kongregasi BHK, maka pengelolanya juga harus anggota kongregasi. Frater Clemens telah mencoba mencari penerus dengan mencari bibit penerus pada frater binaannya. Sudah 2 orang yang pernah dicoba, tapi mereka berdua tak berminat dan tak sanggup lagi. 

Memang tak mudah bagi seseorang untuk menumbuhkan minat dalam bidang ini. Mengklasifikasi hewan lunak yang jumlahnya begitu banyak dan buku-buku referensinya kebanyakan berbahasa Inggris dan Belanda sudah sangat menyulitkan. Jadi sampai saat ini, Frater Clemens belum menemukan frater penerus. “Saya sudah memikirkan hal itu sejak lama, karena saya juga sudah tua. Tetapi yang paling lama hanya 6 bulan bisa bertahan, lalu pergi!” jelas Fr. Clemens.

Koleksi dan Program Belajar di Museum Zoologi

Koleksi yang ada di museum ini beragam, sebagian besar adalah hasil temuan Fr. Clemens. Sebagian besar adalah hewan laut dan reptil yang diawetkan dalam air. Ada pula yang diawetkan kering seperti berbagai jenis penyu dan ular. Koleksi terbanyak adalah siput dan kerang yang semuanya sudah diklasifikasi.

Bila berkunjung ke tempat ini juga disediakan kelas untuk mengenal berbagai binatang sesuai dengan kelompok umur. Oleh sebab itu sangat disayangkan bila datang hanya untuk melihat-lihat,  mengambil gambar lalu pulang. Terutama untuk pengunjung pelajar.

Pengunjung kelompok bisa belajar di museum ini, dengan mengadakan perjanjian sebelum datang ke sana agar disiapkan bahan ajarnya. Para pengunjung bisa menghubungi nomor telpon 0341 – 558965 untuk meminta waktu kunjungan. Ada paket TK sampai SMA. Paket TK mempelajari ekosistem, Paket SD mempelajari Vertebrata dan Paket SMP – SMA mempelajari Molusca.Ada biaya untuk setiap paketnya, yaitu mulai Rp 10.000 sampai Rp 20.000 / orang. 

Fasilitas yang didapat : untuk Paket TK meliputi Lembar Unjuk Kerja dan pensil warna. Untuk paket SD meliputi Lembar Unjuk Kerja serta pre test dan post test. Diluar paket harus dikonsultasikan dengan petugas museum. Minimal kunjungan kelompok berjumlah 25 orang. Jam buka mulai Senin – Sabtu, pukul 07.30 sampai 14.00. Bagi pengunjung kelompok ada penjelasan dari guru biologi sehubungan dengan materi yang disampaikan. Bagi pengunjung umum tidak ada biaya restribusi khusus, disediakan kotak untuk sumbangan sukarela.

Koleksi cangkang kerang dan siput (dok pri)
Koleksi cangkang kerang dan siput (dok pri)
Pengabdian Frater Clemens bagi Ilmu Pengetahuan dan Harapan yang Belum Terwujud

Perbincangan singkat saya dengan Fr. Clemens benar-benar membuat saya terkagum-kagum dengan upayanya yang luar biasa. Pengabdian yang tulus ikhlas, penuh perjuangan dan didasari semangat yang tak kunjung padam sepanjang hidup. Seolah saya mendapati sosok Fr. Vianney yang diceritakan oleh beliau dalam dirinya. Apalagi sampai saat ini, beliau masih tetap menulis buku, meskipun ada beberapa naskah buku yang ditolak. Museum Zoologi ini adalah wujud nyata spirit dua orang Frater yang begitu mencintai ilmu pengetahuan sepanjang hidupnya dan jejaknya menjadi peninggalan yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan.

Selama mengelola museum ini Fr. Clemens mendapat dana dari Kongregasi dan uang yang didapat dari pengunjung. Pernah Fr. Clemens meminta dana kepada kepala daerah setempat untuk perluasan museum, tetapi mendapat jawaban tidak ada dana untuk museum.

Bakat Fr. Vianney dan Fr. Clemens adalah bakat yang unik. Mereka berdua bukan hanya bersenang-senang dengan hobinya, tetapi ada jejak yang sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya biologi. “Akan berbeda sekali belajar dengan hanya membaca teori di buku dibandingkan dengan melihat langsung di museum ini. Ada kesan yang melekat saat melihat langsung, itu akan memudahkan anak dalam belajar,” begitu kata Fr, Clemens.

Di dalam benaknya, tentunya masih berharap 5 naskah bukunya bisa terbit untuk bisa menjadi sumber referensi bagi pembelajar. Beliau sudah berupaya menghubungi 2 penerbit yang biasanya menerbitkan buku-buku rohani di Indonesia, namun ditolak dengan alasan keuntungannya diragukan. Tetapi saya yakin isinya akan sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, apalagi buku tersebut disusun berdasarkan penelitian dan pengalaman pribadi penulisnya yang belajar secara otodidak. Memang mungkin benar penjualan secara komersial tidak akan menuai untung, tetapi buku ini harus dipandang sebagai buku ilmu pengetahuan yang akan memberi nilai manfaat bagi pelajar dan mahasiswa pada jenjang-jenjang tertentu.

Perbincangan saya dengan Fr. Clemens sungguh mengasyikkan, saya bukan saja melakukan wawancara, tetapi juga saling berbagi cerita. Kebetulan saya dulu juga menempuh sekolah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di yayasan yang berada dibawah naungan Kongregasi BHK. Tepat pukul satu siang, saya mohon pamit. Sungguh berarti pada kunjungan ke museum zoologi ini bisa berbincang langsung dengan Fr. Clemens yang ramah. Sebelum pulang, saya mohon izin foto bersamanya.  

Ada buku panduan dan brosur Museum Zoologi yang saya terima dari beliau. Sambil berjalan keluar dari kantornya, beliau bertanya,”Kapan akan bisa dibaca di Kompas?” Oh... rupanya beliau belum paham bedanya Kompas dan Kompasiana. Maka saya jelaskan sejenak dan saya berjanji akan menghubungi manakala saya posting di Kompasiana. “Frater semoga sehat-sehat selalu dan segera menemukan penerus,” pamit saya sambil bersalaman. Beliau mendampingi saya sampai di teras museum, dan  melambaikan tangan pada saya saat mobil saya akan keluar dari museum.

Foto saya bersama Frater M. Clemens,BHK di kantornya (dok pri)
Foto saya bersama Frater M. Clemens,BHK di kantornya (dok pri)
Sambil menyetir dalam perjalanan pulang, hati saya masih terkagum-kagum. Duo Frater ini sungguh unik dan hebat. Saya terkesima dengan kuatnya relasi guru – murid. Saya tertegun dengan hobi unik mereka berdua. Saya takjub dengan perjuangan Fr. Clemens, sebagai penerus Fr. Vianney yang sampai bisa mewujudkan koleksinya di museum, padahal dengan tugas-tugasnya sebagai biarawan beliau tak selalu bisa menangani koleksinya, tersendat-sendat untuk bisa menekuni hobinya. 

Namun semua itu tak menyurutkan passion-nya. Berdirinya museum zoologi ini adalah wujud karya nyata yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Yang awalnya saya hanya berencana meliput museum ini dan ambil beberapa gambar saja, ternyata perbincangan saya dengan Fr. Clemens memberi saya inspirasi yang luar biasa. “Scientia ad laborem”= Ilmu pengetahuan yang diabdikan dalam karya nyata di tengah masyarakat”adalah motto museum ini.

Oleh : Majawati Oen

Catatan :

  • Kongregasi = Komunitas biarawan/biarawati Katolik di Indonesia
  • Frater = sebutan untuk biarawan (laki-laki) Katolik.
  • Fr. = singkatan kata Frater

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun