Akademisi PLN berfoto bersama Dewan Juri sebelum Penjurian (dok Pri)
Siapa yang tak kenal PLN? Hampir semua orang punya ketergantungan dengan listrik. Sejak lahir sampai mati kita masih membutuhkan listrik. Untuk penerangan adalah salah satu yang utama. Namun bagi masyarakat di daerah perkotaan, energi listrik sudah menjadi kebutuhan pokok yang sangat penting dan memberi ketergantungan yang besar, bukan sekedar untuk penerangan saja. Hampir dalam kegiatan kita sehari-hari berhubungan dengan listrik.
Terutama di era digital ini, penggunaan komputer dan gadget makanannya adalah energi listrik. Karenanya orang butuh energi listrik yang bisa dibawa ke mana-mana. Power bank menjawab kebutuhan itu. Sampai sebegitunya kebutuhan manusia akan listrik. Sudah menjamah kebutuhan pokok seperti beras. Coba perhatikan orang-orang yang kehabisan energi (lowbatt) pada perangkat digitalnya, kegusarannya bisa melebihi orang yang sedang lapar lho.... Belum lagi kebutuhan-kebutuhan besar di sektor industri dan komersial.
Dengan semakin derasnya kebutuhan akan listrik, tentunya harus ada banyak terobosan yang perlu dilakukan oleh PLN. Proyek 35000 WH untuk Indonesia adalah bentuk cepat tanggap pemerintah untuk menjawab kebutuhan tersebut. Pelaksanaan proyek ini tidaklah mudah, antara lain pembebasan lahan, memastikan kinerja kontraktor yang handal, berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait. Proyek yang direncanakan dimulai dari tahun 2014 – 2019 membutuhkan serangkaian persiapan yang baik dan saling mendukung. Salah satu yang dipersiapkan oleh PLN adalah menyukseskan program ini melalui corong media sosial.
Pemilihan media sosial dijadikan corong oleh PLN, karena melalui media sosial akan terjadi interaksi dinamis dengan masyarakat. Masyarakat lebih bebas menyampaikan keluhan dan memberi masukan berupa kritik dan saran pada PLN. Oleh sebab itu langkah PLN mengirim 20 orang staf humas PLN dari berbagai daerah untuk mengikuti pelatihan di Akademi Menulis Kompasiana adalah wujud kesadaran akan besarnya pengaruh sosial media demi kinerja PLN yang lebih baik.
Pada hari Senin, 23 April 2016, bersyukur saya berkesempatan mengikuti proses penjurian Akademi Menulis Kompasiana - PLN yang diadakan di PT PLN (Persero) Usdiklat Jakarta, Jln. Letjend S. Parman, No. 27, Slipi, Jakarta Barat. Pada hari ini para pemagang dari PLN ini sudah sampai pada tahap penjurian untuk menguji hasil pelatihan menulis mereka. Acara dimulai pukul 09.00 dengan sambutan dari General Manager Pusdiklat, COO Kompasiana dan Manager Udiklat Palembang.
Sambutan pertama disampaikan oleh GM Pusdiklat PLN Bapak Wisnu Satrijono. Beliau menyampaikan bahwa saat ini PLN lebih berfokus pada kerja dan kerja sehingga membangun komunikasi dengan pelanggannya jadi terabaikan. Akibatnya citra positif PLN kurang terbangun di mata masyarakat. Selanjutnya Pepih Nugraha, selaku COO Kompasiana menyampaikan bahwa selama pelatihan hasil peserta termasuk sudah di atas rata-rata, apalagi mengingat waktu 4 hari sangat singkat untuk bisa melahap materi yang cukup padat. Dipaparkan pula bagaimana media sosial menghasilkan sebuah konten yang berisi hal-hal yang baik dan bermanfaat.
Di saat pelatihan, peserta magang juga telah mencoba membuat sebuah tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit. Media sosial mempunyai efek viral karena sebuah tulisan dapat di-sharekan oleh siapa saja secara berkelanjutan. Efek ini justru lebih mudah untuk diterima dan ditanggapi oleh masyarakat luas sebagai bentuk informasi dan edukasi yang baik. Sementara Bapak Ridho Utomo dari Udiklat Palembang menyampaikan bahwa PLN mau menjadi pioneer, sebagai perusahaan pertama yang memberi pelatihan digital media kepada para humasnya. Menggandeng Kompasiana bertujuan peserta magang mendapat pelatihan mulai dari bawah agar "feel"nya dapat.
Check Point pertama terbagi dalam 3 kelas
Selanjutnya para peserta magang dibagi dalam 3 kelas, dimana mereka secara bergiliran mempresentasikan hasil pelatihan yang diterima serta memaparkan kelebihan, kekurangan, kekuatan dan ancaman yang mereka hadapi. Mengulas tulisan mereka dan menunjukkan kemampuan mengunggah video. Di setiap kelas terdapat 3 sampai 4 orang juri untuk menguji hasil karya tulisan para peserta magang. Para kompasianer yang hadir juga di bagi dalam 3 kelas untuk memberikan pertanyaan seputar tulisan yang telah mereka buat. Para peserta magang mendapat waktu 10 menit untuk presentasi dan 40 menit untuk menjawab tanggapan dari juri dan kompasianer.
Saya mendapat kesempatan mengikuti proses penjurian di ruang Imam Bonjol dengan dewan juri : Bapak Ridho Utomo selaku Manajer Udiklat Palembang, Mas Nurulloh selaku Content & Community Kompasiana, Mas Roderick Adrian Mozes selaku Fotografer Kompas.com dan Bapak Okto Rinaldi selaku Kepala Devisi Talenta PLN. Keempat peserta magang yang tampil presentasi adalah Bapak Moch. Qohar dari Jakarta, Ibu Arustie Utami atau lebih akrab disebut Dhini Utami dari bagian Transmisi Jawa bagian Barat, Bapak Agus Yuswanta dari PLN wilayah Bangka-Belitung dan Bapak Moch. Arief Fachieudin dari bagian Sertifikasi dan Marketing. Dalam presentasinya mereka memaparkan pengalaman selama magang. Mereka berempat telah mempunyai akun Kompasiana dan posting tulisan berupa opini dan liputan, termasuk informasi seputar PLN.
Perserta magang yang tampil pertama adalah Bapak Mohammad R. Qohar dari Jakarta. Berlatar belakang sebagai pegawai dibidang Accounting sekarang Pak Qohar ditugaskan di bagian Humas. Beliau mengakui bahwa bukan termasuk orang yang pandai bicara karena selama ini pekerjaannya lebih banyak berhadapan dengan komputer dan angka-angka. Mengikuti pelatihan ini benar-benar menjadi tantangan dan terasa sulit baginya di awal. Namun dengan pelatihan dari Kang Pepih, prinsip 5W1H sangat jitu untuk mendobrak kesulitannya dalam menulis.
Satu hal yang menunjukkan optimisme dari Pak Qohar adalah “Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak?” Pak Qohar juga termasuk orang yang belum akrab dengan sosial media, namun sejak mengikuti pelatihan ini mau tidak mau beliau menjadi selalu berkutat dengan gadgetnya. Untuk menulis artikel beliau harus benar-benar duduk dan konsentrasi menulis. Suatu pagi, Pak Qohar merasa heran kenapa ada yang aneh dengan Gadgetnya, ia merasa ada yang mengacak-acak.
Ketika bertanya pada istrinya, ternyata istrinya yang menjamah gadgetnya miliknya dan melihat-lihat interaksinya. Rupanya kebiasan bergadget setelah pulang kantor menimbulkan kecurigaan dari sang istri. Ketawalah kami seruangan, atas kejujuran Pak Qohar. Salut dengan usaha, Pak Qohar. Kesulitan yang dihadapinya berusaha untuk ditekuni dan dijawab. Pak Qohar dinilai juri Ridho Utomo, visualisasinya kurang menantang saat presentasi sehingga tampak kurang menarik. Sementara penanya dari Kompasianer banyak bertanya seputar listrik token, seperti artikel yang telah ditulisnya.
Peserta kedua yang menampilkan presentasinya adalah Ibu Sumber Arustie Utami atau lebih akrab disebut Dhini Utami yang bertugas di bagian Transmisi Jawa Bagian Barat. Ibu Dhini menyampaikan keterlibatannya dalam pembebasan lahan untuk transmisi, dari penjelasannya terlontar bahwa banyak masyarakat yang keberatan bila tempat tinggalnya dilewati jalur transmisi karena berasumsi akan berdampak buruk bagi kesehatan. Padahal PLN telah melakukan riset bersama Universitas Indonesia bahwa hal tersebut tidaklah benar.
Hal-hal semacam ini adalah bentuk informasi yang bisa mengedukasi masyarakat untuk bisa mengubah asumsi negatifnya. Melalui akun dhini utami, dapat terlihat bahwa Ibu Arustie Utami begitu enjoy mengikuti Akademi Menulis Kompasiana-PLN. Gaya kepenulisan beliau menarik bagi pembaca. Ibu Arustie mendapat pujian dari juri atas postingannya di Kompasiana, beliau mendapat tantangan dari juri, bagiamana peran dari humas PLN agar positioning PLN dapat meningkat setelah adanya pelatihan ini
Bapak Agus Yuswanta sebagai peserta ketiga berasal dari Bangka Belitung. Pak Agus rupanya sudah lebih familiar dengan media. Beliau sering mengisi web PLN di daerahnya dan memberi informasi kepada awak media. Mungkin kebiasaannya masih terbawa sehingga gaya kepenulisannya pun lebih bernuansa berita. Tulisan yang diposting di Kompasiana sangat menarik, yaitu : Kisah Pulihkan Listrik Saat Banjir : Dani Empat Jam di Atas Pohon. Dari kisah ini pembaca akan mengetahui, bagaimana upaya PLN di saat banjir dan bagaimana kerja petugas PLN dalam mengatasinya serta kerjasama dengan masyarakat sekitar.
Disusul kemudian peserta terakhir, Bapak Moch. Arief Fatchieudin, berasal dari devisi Pelatihan dan Sertifikasi di Jakarta. Dalam menyampaikan presentasinya Pak Arief memang terlihat sedikit tegang. Baginya saat ini menulis itu bukanlah hal yang gampang. Beliau harus benar-benar konsentrasi dalam membuat tulisan, memang terasa dari hasil tulisanya yang diposting di Kompasiana Pak Arief masih menggunakan bahasa yang begitu teknis dalam menyampaikan informasi tentang PLN. Akibatnya membaca tulisan beliau tentang informasi PLN membutuhkan pengulangan untuk bisa menangkap maksudnya.
Hampir sebagian besar tampilan presentasi dari para pemagang mendapat kritikan dari juri Bpk. Ridho Utomo yang menilai para pemagang kurang bisa menampilkan visualisasi yang menarik meskipun esensinya sudah mengena. Sementara Juri Mas Nurulloh berkesan para pemagang masih kurang bisa membedakan antara tulisan opini dan liputan pada tulisan yang diposting. Sebagian dari pemagang juga masih menggunakan gaya bahasa berita dalam tulisannya.
Mungkin selama ini sebagai Humas PLN, mereka lebih banyak memberi informasi searah kepada wartawan. Meskipun tidak mudah dan berlatih singkat, para pemagang sudah bisa menampilkan video dari presentasinya. Tanggapan dari Mas Roderick tentang video yang ditampilkan pemagang adalah perlunya menajamkan pesan dari video yang ditayangkan, sehingga penonton bisa lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan. Di sesi penjurian, ada pertanyaan dari Bapak Okto Rinaldi, "Selama ini masyarakat lebih suka mengeluh tentang kelistrikan di radio seperti Elsinta dan Suara Surabaya, melaporkan pemadaman dan uneg-unegnya tentang PLN justru di radio.
Mengapa mereka lebih memilih lapor ke radio daripada callcenter PLN 123?" Dari pertanyaan ini, Pak Okto ingin menyampaikan fakta bahwa terdapat jarak antara PLN dengan masyarakat. Mengapa masyarakat lebih memilih radio? Karena keluhannya lebih ditanggapi dan akan lebih cepat tertangani. Inilah salah satu tantangan dari para humas PLN yaitu harus lebih mendengar pelanggannya.
Di sesi tanya jawab, kompasianer yang hadir diperkenankan memberi pertanyaan kepada peserta magang. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh para kompasianer kepada peserta magang. Pertanyaan kompasianer merupakan cerminan aspirasi masyarakat. Dari beberapa pertanyaan yang terlontar juga ditanggapi oleh juri dari PLN. Melalui pertanyaan ini, secara tidak langsung PLN juga mendapat kritik dan saran dari masyarakat yang diwakili oleh kompasianer. Pada sesi tanya jawab, saya sempat bertanya kepada Ibu Arustie Utami, “
Bila humas PLN menulis di Kompasiana info-info apa saja yang ingin ibu sebarkan untuk memberi image positif PLN kepada masyarakat?” Jawaban beliau adalah,”Saya bertugas di jaringan transmisi, sehingga saya akan menyebarkan informasi yang benar seputar pembangunan sutet dan efeknya bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Selama ini masih banyak asumsi negatif dari masyarakat yang berakibat pembebasan lahan untuk transmisi jaringan sering mendapat kendala. Saya buktinya, juga tinggal di bawah sutet!" Begitulah tegasnya mengakhiri jawaban atas pertanyaan saya.
Kepada keempat peserta magang, saya salut karena dengan pelatihan singkat dan padat selama 4 hari sebelumnya dan check point di hari kelima benar-benar menuntut para pemagang berdaya upaya mencapai target pelatihannya secara maksimal. Apalagi mereka juga sudah langsung praktek memposting tulisan di Kompasiana. Usaha keras mereka dalam mengikuti pelatihan memang menghasilkan artikel yang beragam. Keempat peserta benar-benar menunjukkan antusiasme untuk terjun di sosial media.
Nama Pepih Nugraha berkali-kali disebutkan oleh para peserta, menunjukkan bahwa pelatihan yang dibawakan Kang Pepih berhasil membangkitkan semangat mereka untuk berkiprah di media digital, seperti Kompasiana. Para pemagang telah menuliskan artikel yang berhubungan dengan kinerja PLN membuat pembaca tahu bahwa cara kerja PLN tidak se-simple yang dipikirkan orang awam. Memang informasi yang disampaikan masih terikat dengan bahasa yang bersifat teknis. Apalagi sebagian benar-benar masih baru memulai aktivitas bersosial media. Tiap-tiap peserta juga dilatih membuat artikel yang ditulis berdasarkan pengamatan di lapangan, hal ini dimaksudkan untuk berlatih membuat tulisan berdasarkan pengamatan di lapangan. Membuat video yang menjadi bahan pelatihan termasuk salah satu materi yang sulit bagi peserta.
Beberapa suaranya terdengar lirih, ada pula yang video dibuat dari kumpulan foto. Sungguh tak mudah dalam waktu singkat harus menyerap banyak ilmu, sekaligus praktek. Kagok itu adalah lumrah. Mungkin bila sudah terbiasa malah akan ketagihan. Pelatihan 4 hari dari Akademi Menulis Kompasiana adalah sebagai pintu gerbang untuk memasuki dunia sosial media. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah keaktifan dari masing-masing peserta untuk intens berinteraksi di sosial media. Yang perlu disadari bahwa terjun di sosial media menuntut interaksi dalam bentuk komunikasi dua arah. Berbeda dengan media mainstream yang berbentuk komunikasi searah. Setelah saya kunjungi lapak mereka, saya melihat ada peserta yang sudah berinteraksi dengan menjawab komentar yang masuk, namun juga ada peserta yang tak bereaksi hanya sebatas memposting tulisan. Tidak menanggapi komentar yang masuk di lapaknya.
Humas PLN Ditantang dan Dituntut Berinteraksi di Sosial Media
Langkah PLN untuk menerjunkan para Humasnya memasuki era digital adalah bentuk kesadaran dari PLN akan kuatnya arus komunikasi lewat sosial media. Para humas diharapkan menjadi corong informasi sekaligus penampung aspirasi masyarakat dengan berinteraksi di sosial media. Yang sangat patut disadari oleh para peserta pelatihan ini adalah bahwa terjun di sosial media tak cukup hanya dipelajari, namun menuntut peserta untuk berinteraksi dinamis di dunia maya dengan membawa bendera PLN, agar jarak antara PLN dan masyarakat dapat terjembatani. Sharing and Connecting sebagaimana motto Kompasiana sangat tepat untuk mereka terapkan setelah terjun di sosial media. Kekuatan pengaruh itu terletak pada interaksinya dan bukan sekedar penyebar informasi
Melalui sosial media, Humas PLN dapat menampung pendapat masyarakat terhadap suatu kasus, menampung masukan positif yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikirkan, persoalan yang harus segera ditangani. Bukankah keluhan masyarakat itu beragam, tak sekedar pemadaman saja? Bukankah informasi yang dibutuhkan masyarakat sehubungan dengan program dan kinerja PLN harus disosialisasikan dan di-update? Bagaimana cara masyarakat menyampaikan keluhan dan masukannya kepada PLN terbukti perlu terus-menerus disosialisasikan? Hal ini penting agar proyek PLN 35.000 WH mendapat dukungan dari masyarakat. Bukan saja sebagai pelanggan yang mengkonsumsi daya listrik tetapi juga pelanggan yang bisa hemat energi dan loyal agar target-target PLN dapat terpenuhi.
Dengan terjun di sosial media, para humas PLN juga harus siap menghadapi pro-kontra yang sering menjadi perbincangan hangat atas suatu issue tertentu. Bukan untuk ikut arus tentunya, tetapi bagaimana selaku Humas PLN bisa memberi jawaban yang benar dan akurat untuk bisa membuat masyarakat paham.
Bersosial media banyak pintunya, salah satunya ngeblog di Kompasiana. Masih ada facebook, twitter, instagram dan lain-lain yang juga menjadi pintu masuk untuk berinteraksi dengan masyarakat melalui sosial media. Dari check point pertama ini sangat terasa bahwa para pemagang di kelas Imam Bonjol masih terbelenggu dengan komunikasi searah dalam bentuk pemberian informasi kepada masyarakat. Setelah saya masuk di akun mereka dan memberi komentar di sana, tidak ada tanggapan sampai tulisan ini saya posting. Sementara bersosial media menuntut orang untuk senantiasa terhubung dan tanggap dengan informasi yang selalu masuk, memberi respon atas persoalan yang mengemuka dengan segera terjawab dan melakukan penanganan.
Sesuai kenyataannya, bersosial media menuntut waktu yang diluangkan dalam mengecek akun kita dan berinteraksi di dalamnya. Belajar menulis ibaratnya masih berdiri di depan pintu masuk, yang lebih penting apa yang harus dilakukan setelah masuk di dalamnya. Tidak ada teori yang benar-benar akurat untuk membangun citra diri di sosial media, apalagi dengan membawa bendera PLN. Berinteraksi dinamis justru akan membuat pelaku sosial media menemukan posisi dirinya di mata masyarakat dunia maya.
Dari check point pertama ini pula, Bapak Ridho Utomo sempat berpendapat bahwa rupanya para pemagang masih terjebak dengan batasan devisinya masing-masing. Padahal setelah mereka terjun di sosial media diharapkan akan menampung aspirasi masyarakat dari segala penjuru dan mampu menyalurkannya ke bagian yang berhubungan dengan masukan dari masyarakat. Dengan demikian Humas PLN dituntut mempunyai jaringan informasi dan koneksi dengan hal-hal yang diluar bidang dan tanggung jawabnya tetapi masih dalam lingkup PLN. Masyarakat seringkali tak banyak berpikir dalam berkeluh kesah dan bertanya, disinilah yang juga menjadi tantangan bagi para pemagang. Label Humas PLN yang melekat pada diri pemagang harusnya bisa mengatasi kendala ini.
Waktu sehari yang kami habiskan untuk kegiatan ini benar-benar tidak terasa, serunya diskusi di masing-masing kelas memberi wawasan bagi kami kompasianer yang turut hadir di acara penjurian Akademi Menulis Kompasiana - PLN. Ada banyak pelajaran tentang kepenulisan dan kesempatan berbagi kepada para pemagang tentang pengalaman kami sebagai blogger. Istirahat di sela-sela acara hanyalah saat makan siang dan sholat dhuhur.
Sekitar pukul 15.00 kelas Imam Bonjol telah berakhir, kami kembali ke Ruang Dewi Sartika untuk berkumpul dengan seluruh peserta acara ini. Setelah semua peserta berkumpul, acara penutupan yang dipandu oleh Mbak Widha Karina mempersilakan Bapak Ridho Utomo memberikan kesan dan pesannya di akhir acara, sekaligus pernyataan ucapan terima kasih kepada dewan juri, peserta magang dan Kompasianer. Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para Kompasianer memberikan masukan positif bagi PLN. Berikutnya Mas Nurulloh mewakili Kompasiana dan Mas Fikria Hidayat dari Kompas.com. memberi tanggapan atas hasil penjurian mereka.
Acara ditutup dengan pengumuman pemenang bagi 10 penanya terbaik dari Kompasianer dan 5 live tweet terbaik. Untuk presentasi terbaik dari para pemagang dimenangkan oleh Ibu Emmeilia Tobing dari PLN wilayah Sumatra Barat. Akhirnya, selamat datang di Kompasiana, selamat mengarungi dunia sosial media. Kami nantikan para humas PLN berinteraksi aktif dengan masyarakat melalui sosial media untuk dapat menyukseskan program-program PLN.
Oleh : Majawati Oen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H