Disusul kemudian peserta terakhir, Bapak Moch. Arief Fatchieudin, berasal dari devisi Pelatihan dan Sertifikasi di Jakarta. Dalam menyampaikan presentasinya Pak Arief memang terlihat sedikit tegang. Baginya saat ini menulis itu bukanlah hal yang gampang. Beliau harus benar-benar konsentrasi dalam membuat tulisan, memang terasa dari hasil tulisanya yang diposting di Kompasiana Pak Arief masih menggunakan bahasa yang begitu teknis dalam menyampaikan informasi tentang PLN. Akibatnya membaca tulisan beliau tentang informasi PLN membutuhkan pengulangan untuk bisa menangkap maksudnya.
Hampir sebagian besar tampilan presentasi dari para pemagang mendapat kritikan dari juri Bpk. Ridho Utomo yang menilai para pemagang kurang bisa menampilkan visualisasi yang menarik meskipun esensinya sudah mengena. Sementara Juri Mas Nurulloh berkesan para pemagang masih kurang bisa membedakan antara tulisan opini dan liputan pada tulisan yang diposting. Sebagian dari pemagang juga masih menggunakan gaya bahasa berita dalam tulisannya.
Mungkin selama ini sebagai Humas PLN, mereka lebih banyak memberi informasi searah kepada wartawan. Meskipun tidak mudah dan berlatih singkat, para pemagang sudah bisa menampilkan video dari presentasinya. Tanggapan dari Mas Roderick tentang video yang ditampilkan pemagang adalah perlunya menajamkan pesan dari video yang ditayangkan, sehingga penonton bisa lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan. Di sesi penjurian, ada pertanyaan dari Bapak Okto Rinaldi, "Selama ini masyarakat lebih suka mengeluh tentang kelistrikan di radio seperti Elsinta dan Suara Surabaya, melaporkan pemadaman dan uneg-unegnya tentang PLN justru di radio.
Mengapa mereka lebih memilih lapor ke radio daripada callcenter PLN 123?" Dari pertanyaan ini, Pak Okto ingin menyampaikan fakta bahwa terdapat jarak antara PLN dengan masyarakat. Mengapa masyarakat lebih memilih radio? Karena keluhannya lebih ditanggapi dan akan lebih cepat tertangani. Inilah salah satu tantangan dari para humas PLN yaitu harus lebih mendengar pelanggannya.
Di sesi tanya jawab, kompasianer yang hadir diperkenankan memberi pertanyaan kepada peserta magang. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh para kompasianer kepada peserta magang. Pertanyaan kompasianer merupakan cerminan aspirasi masyarakat. Dari beberapa pertanyaan yang terlontar juga ditanggapi oleh juri dari PLN. Melalui pertanyaan ini, secara tidak langsung PLN juga mendapat kritik dan saran dari masyarakat yang diwakili oleh kompasianer. Pada sesi tanya jawab, saya sempat bertanya kepada Ibu Arustie Utami, “
Bila humas PLN menulis di Kompasiana info-info apa saja yang ingin ibu sebarkan untuk memberi image positif PLN kepada masyarakat?” Jawaban beliau adalah,”Saya bertugas di jaringan transmisi, sehingga saya akan menyebarkan informasi yang benar seputar pembangunan sutet dan efeknya bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Selama ini masih banyak asumsi negatif dari masyarakat yang berakibat pembebasan lahan untuk transmisi jaringan sering mendapat kendala. Saya buktinya, juga tinggal di bawah sutet!" Begitulah tegasnya mengakhiri jawaban atas pertanyaan saya.
Kepada keempat peserta magang, saya salut karena dengan pelatihan singkat dan padat selama 4 hari sebelumnya dan check point di hari kelima benar-benar menuntut para pemagang berdaya upaya mencapai target pelatihannya secara maksimal. Apalagi mereka juga sudah langsung praktek memposting tulisan di Kompasiana. Usaha keras mereka dalam mengikuti pelatihan memang menghasilkan artikel yang beragam. Keempat peserta benar-benar menunjukkan antusiasme untuk terjun di sosial media.
Nama Pepih Nugraha berkali-kali disebutkan oleh para peserta, menunjukkan bahwa pelatihan yang dibawakan Kang Pepih berhasil membangkitkan semangat mereka untuk berkiprah di media digital, seperti Kompasiana. Para pemagang telah menuliskan artikel yang berhubungan dengan kinerja PLN membuat pembaca tahu bahwa cara kerja PLN tidak se-simple yang dipikirkan orang awam. Memang informasi yang disampaikan masih terikat dengan bahasa yang bersifat teknis. Apalagi sebagian benar-benar masih baru memulai aktivitas bersosial media. Tiap-tiap peserta juga dilatih membuat artikel yang ditulis berdasarkan pengamatan di lapangan, hal ini dimaksudkan untuk berlatih membuat tulisan berdasarkan pengamatan di lapangan. Membuat video yang menjadi bahan pelatihan termasuk salah satu materi yang sulit bagi peserta.
Beberapa suaranya terdengar lirih, ada pula yang video dibuat dari kumpulan foto. Sungguh tak mudah dalam waktu singkat harus menyerap banyak ilmu, sekaligus praktek. Kagok itu adalah lumrah. Mungkin bila sudah terbiasa malah akan ketagihan. Pelatihan 4 hari dari Akademi Menulis Kompasiana adalah sebagai pintu gerbang untuk memasuki dunia sosial media. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah keaktifan dari masing-masing peserta untuk intens berinteraksi di sosial media. Yang perlu disadari bahwa terjun di sosial media menuntut interaksi dalam bentuk komunikasi dua arah. Berbeda dengan media mainstream yang berbentuk komunikasi searah. Setelah saya kunjungi lapak mereka, saya melihat ada peserta yang sudah berinteraksi dengan menjawab komentar yang masuk, namun juga ada peserta yang tak bereaksi hanya sebatas memposting tulisan. Tidak menanggapi komentar yang masuk di lapaknya.