Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kiprah Mahasiswa Merawat Budaya di Festival Kampung Pecinan Malang

11 April 2016   12:04 Diperbarui: 11 April 2016   13:27 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Talkshow dengan narasumber Suk Toni. Warga Jalan Wiromargo Malang"][/caption]Di setiap negara boleh dikatakan kita akan selalu menemukan “China Town”, yaitu suatu daerah permukiman peranakan Tionghoa. Rata-rata pemukiman itu tak lepas dari perdagangan. Mayoritas daerah tersebut menjadi urat nadi perdagangan, karena kemahiran peranakan Tionghoa adalah berdagang. Begitu pun di Kota Malang. 

Jalan Pasar Besar dan sekitarnya lebih dikenal dengan nama “Pecinan” yaitu tempat pemukiman orang-orang Tionghoa peranakan. Walaupun sejalan dengan bergulirnya waktu, faktor keturunan itu justru sudah tidak murni lagi. Pasti terjadi pembauran melalui perkawinan, atau pun akulturasi budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. 

Apalagi rata-rata orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia sudah WNI. Di dekat situ juga ada Jalan Embong Arab, sejak dulu menjadi permukiman orang-orang peranakan Arab. Di permukiman ini dulunya orang-orang Arab lebih banyak membuka usaha mebel dan minyak wangi, tapi sekarang berbagai usaha ada di sana. Mungkin saat mereka baru datang di Malang, dengan bermukim di tempat yang berdekatan mereka bisa saling membantu satu sama lain. Namun sekarang tempat itu sehari-hari juga sudah menjadi menjadi tempat masyarakat berkegiatan dari segala lapisan. Meskipun nama jalan-jalan itu sudah berubah, tetapi masyarakat masih mengenal daerah tersebut sebagai daerah “Pecinan” dan “Embong Arab”.

Sebagai warga Malang yang usia saya menjelang 50 tahun, saya mengenal sepotong-sepotong sejarah Malang yang memang saya alami. Bagaimana dengan generasi muda sekarang, mereka akan tahu kalau orang tuanya mau bertutur ke mereka. Itu pun mungkin tidak lengkap, apalagi yang acuh tak acuh. Lama kelamaan petilasan sejarah akan lenyap oleh waktu.

Pada Hari Minggu, 10 April 2016 ada kegiatan Festival Kampung Pecinan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Ma Chung, Malang. Acara ini berlangsung mulai pukul 16.00 sampai dengan 22.00, bertempat di sepanjang Jalan Wiromargo atau juga dikenal dengan nama Jalan Petjinan Cilik atau Petjinan Kecil. Hanya berlangsung sehari saja. Jika Jalan Pasar Besar dikenal dengan sebutan Jalan Pecinan, maka Jalan Petjinan Kecil terletak di sebelah selatannya, jalannya juga tak begitu lebar, masih banyak rumah-rumah bergaya kuno bertahan di sana. Di jalan ini pula terletak Museum Bentoel, yang pada acara ini panggung ditempatkan di sana.

[caption caption="Jalan Wiromargo ditutup untuk stand bazaar makanan. Pengunjung ramai memadatinya."]

[/caption]Festival Kampung Pecinan sudah diadakakan untuk kedua kalinya. Keberhasilan penyelenggaraan tahun sebelumnya membuat panitia menyelenggarakan kembali karena sambutan masyarakat Malang sangat bagus. Acara ini menampilkan pertunjukan budaya seperti arak-arakan Barongsai, tari-tarian, nyanyi, talkshow, peragaan Wushu, kaligrafi Tiongkok dan seni teater. Tentunya bazaar makanan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Pada acara talkshow, sebagai pembicara adalah Suk Toni mewakili warga Jalan Wiromargo.  “Suk” adalah sebutan untuk laki-laki dewasa seperti panggilan “bapak”. Sejarah Jalan Wiromargo adalah berasal dari nama Mbah Wiro, seseorang yang menjadi perintis Jalan Petjinan Kecil. Sampai saat ini pesarean (makam) beliau berada di daerah tersebut.

Ketika nama Petjinan Kecil diubah maka jalan itu berubah menjadi nama Wiromargo. Yang artinya karena Mbah Wiro jalan itu ada. Sampai saat ini makam Mbah Wiro masih banyak dikunjungi orang untuk berziarah, tetapi Suk Toni berharap bahwa kedatangan peziarah bukan untuk mengharapkan sesuatu, akan lebih baik bila sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Wiro. 

Dalam kesehariannya sepanjang jalan ini banyak dihuni warga Tionghoa, yang sebagian juga masih berdagang. Di malam hari banyak pedagang berjualan bunga tabur untuk pemakaman, apakah mungkin dulu begitu banyak orang yang berziarah sehingga pedagang bunga banyak mangkal di situ.

[caption caption="Tarian Musim Semi, penampilan Mahasiswi Universitas Brawijaya"]

[/caption]Acara tari-tarian juga melibatkan mahasiswa Universitas Brawijaya yang menampilkan Tarian Musim Semi. Meski mereka membawakannya tanpa menggunakan busana khas Tiongkok, bahkan ada yang berjilbab. Tetapi kipas, lambaian tangan dan lagu pengiringnya menunjukkan bahwa mereka sedang membawakan tarian yang bernuansa Tiongkok. 

Pertunjukan kaligrafi Tiongkok adalah salah satu seni menulis huruf-huruf yang memukau juga ditampilkan. Bazaar makanan memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Ada sate babi, bakcang dan kue cang, sosis home made, lumpia adalah makanan-makanan khas Tiongkok. Namun begitu berbaur juga dengan makanan Jepang dan Korea yang ikut membuka stand di sana. Bahkan produk makanan dari UKM juga turut serta. Nasi liwet, nasi campur, pangsit mie juga bisa dijumpai.

[caption caption="Bakcang, kue cang dan sosis, menjadi penganan khas Tiongkok bisa ditemui di festival ini"]

[/caption]Festival Kampung Pecinan sungguh ramai pengunjung malam itu, selain merupakan acara budaya festival ini sekaligus memberi edukasi sejarah kepada masyarakat. Pengunjung yang datang dari berbagai kalangan, ikut menikmati suasana budaya Tiongkok pada festival ini. Di kesempatan ini pula pengunjung bisa saling bertemu dengan teman, kerabat dan kenalan. Bukankah sekarang sudah jarang juga saling beranjang sana, acara-acara seperti ini menjadi ajang kita saling bertemu dan berbincang sejenak satu sama lain.

[caption caption="Stand bazaar yang laris manis dipesan pengunjung"]

[/caption]Generasi muda adalah penerus tongkat estafet budaya sebuah bangsa. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku sangat kaya akan budaya. Ketika generasi muda mau peduli akan budaya leluhurnya maka kelestarian budaya akan berkelanjutan. 

Festival Kampung Pecinan adalah salah satu upaya pelestarian budaya yang patut didukung karena menjadi sarana edukasi budaya dan edukasi sejarah bagi generasi saat ini. Penyelenggaraan acara seperti ini juga membuka wawasan banyak pihak untuk lebih memahami, dan mempunyai rasa ketertarikan yang dapat dialami secara langsung. Efeknya lebih mengena dibandingkan dengan belajar sejarah di sekolah.

[caption caption="Tak ketinggalan peserta UKM ikut berpartisipasi dengan mie biting dan macaroninya"]

[/caption]Dengan kesuksesan event ini untuk kedua kalinya, tentunya panitia perlu memikirkan untuk menyelenggarakan event ini tahun depan dengan lebih semarak dan lebih dikenal masyarakat di luar Malang. Melibatkan beberapa instansi terkait dan mahasiswa dari universitas lain. Festival ini bisa menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisata budaya. 

Penyelenggaraan kali ini sudah cukup sukses, tetapi penataan stand bazaar makanan saja yang terkesan kurang rapi. Panggung acara sudah bagus dan cukup menarik. Susunan acara juga mengesankan. Semoga akan ada banyak acara yang mengusung budaya dari daerah-daerah lain yang diangkat oleh generasi muda kita. Sampai jumpa di Festival Kampung Pecinan 2017.

Oleh: Majawati Oen
Semua foto dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun