[caption caption="Beragam Kuliner Tradisional Indonesia"][/caption]
Ketika anak saya masih usia TK hingga SD dia selalu tidak enak hati kalau kami mengajak makan di luar dan memilih kuliner tradisional, seperti soto, rawon, rujak dan sebagainya. Dia lebih condong ingin makan di tempat kuliner waralaba dari luar negeri. Akibatnya setiap kali makan di luar agak sulit mencapai kesepakatan. Sementara suami saya itu “lidah Jawa”, jadi dia sangat suka dengan masakan Jawa,sehingga bagi dia pun makanan yang asing kurang disukainya. Sedangkan anak saya “lidah fast food”. Sampai terjadi salah satu dari mereka akan mogok makan ketika memilih tempat makan yang tidak sesuai dengan selera mereka, atau makan sambil ngomel. Saya sendiri tidak pernah bermasalah, karena doyan semua he he he....
Hanya saya selalu menekankan pada anak saya untuk mau mencoba makanan baru yang dikenalnya, belum tentu tidak enak. “Ayo dicoba, kalau memang tidak doyan ya jangan dimakan! Tapi cobalah, mungkin kamu suka!” kata saya. Awalnya agak sulit, karena ketika pikirannya sudah tidak minat, semangat untuk mencicipi pun sudah tidak ada. Meskipun di rumah juga mau kalau diberi makanan tradisional, tetapi ketika kita mau makan di luar daya tariknya selalu pada waralaba asing. Makanan yang berbau internasional, seperti pizza, steak, burger, sushi, udon dan lain-lain, ketertarikannya lebih besar. Rata-rata anak-anak seusia mereka juga begitu. Menginjak remaja, mereka jutru lebih tahu tempat makan yang baru-baru dan berbau asing, daripada kita.
Di pikiran mereka makanan tradisional dipandang lebih rendah, tidak enak, kurang menarik, makanan orang dewasa dan kurang bergengsi. Terutama anak-anak di perkotaan yang selalu melihat gerai baru tempat makan di mall-mall, tak bisa dipungkiri bahwa gerai mereka lebih terkesan modern dan menarik minat pembeli karena memang desain gerai itu diserahkan pada konsultan. Ada riset untuk bisa menarik pelanggan ada uji coba taste nya agar bisa diterima pasar. Belum lagi semua pada posting di sosial media. Makin menyebarlah promosinya.
Pada usia anak-anak TK sampai SD, mereka sering saling mengundang temannya merayakan ulang tahun. Di mana tempat yang biasanya dipilih orang tua? Sebagian besar adalah di gerai waralaba internasional yang memang menawarkan paket ulang tahun, lengkap dengan MC, souvenir, badut dan perlengkapan ulang tahun yang meriah dan disukai anak-anak. Biayanya pun terjangkau! Praktis, meriah dan terkesan elegan merayakan ulang tahun di gerai tersebut. Sementara resto tradisional lebih terkesan formal dan konvensional. Boleh dibilang saya belum pernah menemukan resto tradisonal yang menawarkan paket ulang tahun anak-anak kepada pelanggannya. Mereka rata-rata lebih menyajikan menunya dalam sajian yang cocok untuk orang-orang dewasa saja. Penampilannya juga kaku, kesannya konvensional sekali. Bahkan banyak yang ala kadarnya, padahal pelanggannya berjubel. Kehadiran anak-anak di resto tradisional hanya sebagai pelengkap, berbeda dengan dengan gerai waralaba internasional yang memperlakukan mereka dengan lebih ramah dengan taste yang sesuai dengan selera anak dan porsi yang sesuai dengan ukuran anak. Oleh sebab itu resto tradisional lebih banyak dikunjungi orang dewasa atau keluarga. Jarang sekali anak-anak muda nongkrong di sana, apalagi anak-anak kecil yang sedang berulang tahun.
Apa jadinya bila berkelanjutan, makanan tradisonal hanya digemari orang-orang yang dulunya pernah makan kuliner ini, seiring berjalannya waktu mungkin peminatnya makin lama makin berkurang karena menua dan mengandalkan turis yang ingin mencicipi saja. Padahal kuliner tradisional adalah salah satu warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Memang benar, saat ini masih banyak resto kuliner tradisional yang tetap berjaya dan dicari orang. Tetapi lidah generasi muda kita juga perlu diajak untuk mencintai kuliner tradisional dengan mau mencoba merasakannya, bisa menikmati enaknya, menggemarinya dan menjadikan kuliner tradisional sebagai jujugan di akhir pekan bersama keluarga dan sahabat. Harapannya, dengan pernah merasakan lalu menemukan sensasinya. Mungkin sekarang belum menjadi kuliner favorit, tetapi seiring dengan perjalanan umur biasanya mereka akan menyadari rasa kebangsaannya melalui kulinar tradisional. Suatu saat di masa dewasanyanya, kuliner itu akan jadi jujugannya kembali dan ada rasa kerinduan untuk menikmatinya.
Kelestarian kuliner tradisional bergantung pada pelanggannya serta generasi sekarang yang melanjutkan usaha kuliner tersebut. Ketika peluang berkembang dianggap sudah tidak berprospek, maka generasi selanjutnya akan mencari pekerjaan lain dan memilih untuk tidak menggeluti usaha itu lagi. Sejalan kemudian perlahan-lahan kuliner tersebut akan menjadi hilang. Saat ini saja, kita sudah mulai merasakan, ketika pulang ke daerah dan mencari makanan masa kecil kita sudah tidak semuanya lengkap. Sebagian penganan tradisional sudah tidak kita temukan lagi. Tidak ada lagi yang menjualnya, orang tua kita juga tak bisa membuatnya sendiri.
Keluarga sangat berperan dalam mengenalkan anak-anak pada kuliner tradisional, sehingga lidah mereka familiar dengan penganan-penganan tersebut. Dari mengenal, mereka akan merasakan nikmatnya. Bisa merasakan mana yang enak dan kurang disukai. Dari sanalah akan muncul ketagihan untuk mengecapnya lagi. Setelah mereka besar, kebanggaan dan kecintaan akan kuliner tradisional dengan sendirinya muncul dari sanubarinya.
Para pengusaha kuliner tradisional mungkin juga perlu berinovasi untuk menciptakan menu-menu yang sesuai dengan selera dan ukuran anak-anak. Menyediakan paket ulang tahun untuk menarik orang tua mengadakan acara anak-anak di tempat tersebut. Selain sebagai peluang usaha juga menjadi salah satu bentuk upaya pengenalan sejak dini kuliner tradisional kepada generasi muda.
Indonesia sangat kaya budaya, salah bentuknya kuliner tradisional. Makanan tradisional tidak hanya dikenal karena enak dan keunikannya, tetapi melalui kuliner ada pijakan sejarah yang berhubungan dengan pengolahan makanan. Nilai-nilai luhur budaya juga diajarkan dan disematkan dalam bentuk makanan. Sungguh sayang apabila kekayaan kuliner bangsa Indonesia menjadi asing di lidah generasi muda, sementara penganan asing yang lebih digandrungi.
Bukan berarti kuliner asing harus dijauhi, dibilang menjajah kuliner tradisional. Lidah kita tentunya juga akan objektif. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa pelayanan dan penanganan konsumen di gerai kuliner asing lebih gesit, tatanannya lebih nyaman untuk nongkrong, kebersihannya lebih terjamin. Tetapi sebagai bangsa, kita punya kewajiban melanjutkan estafet budaya pada generasi selanjutnya. Sungguh disayangkan apabila satu demi satu kuliner tradisional bangsa Indonesia menghilang.
Bila dulu, para orang tua masih punya waktu mengolah sendiri makanan tradisional untuk dijadikan jamuan makan di dalam keluarga atau acara keluarga, maka unsur kerinduan pada masakan ibu memang menumbuhkan ikatan batin. Di zaman sekarang, sudah jarang ibu memasak sendiri di rumah. Kalaupun masak juga banyak yang tidak memasak masakan tradisional, karena pengolahan masakan tradisional ribet, memakan waktu lama dan meninggalkan cucian peralatan yang banyak. Oleh sebab itu mengajak anak-anak sesekali mengunjungi gerai makanan tradisional menjadi salah satu upaya mengenalkan masakan tradisional kepada anak-anak. Makanan tradisional beragam bentuknya, ada makanan ringan, kue-kue, masakan dan olahan-olahan khusus yang berhubungan dengan upacara adat.
Sekarang anak saya sudah mahasiswi, kalau diajak makan di gerai makanan tradisional sudah tidak ada penolakan. Dia juga sudah bisa merasakan sensasi nikmat makanan tradisional, makanan tertentu justru jadi favoritnya. Pada suatu kesempatan berkunjung ke Bandung dengan teman-temannya, dia bercerita kepada saya bahwa mereka makan batagor khas Bandung. Tentu saja saya ikut senang, karena kesadaran anak-anak muda ini untuk mencicipi makanan tradisional di suatu tempat yang dikunjunginya merupakan salah satu bentuk kecintaan pada kuliner tradisional. Rasa cinta dan bangga pada budaya tidak terbentuk dengan sendirinya, dimulai dari pengenalan yang mungkin juga disertai penolakan pada awalnya. Namun tanpa ada upaya pengenalan, jangan harap mereka akan cinta dan bangga.
Oleh : Majawati Oen
Sumber Gambar : Pempek Palembang , Soto Lamongan , Brem Madiun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H