[caption caption="Pertunjukan Tari Kecak "][/caption]Salah satu acara wisata ke Bali adalah menonton pertunjukan tari Bali. Tarian Bali dikenal di mana-mana dan pertunjukan tari Bali termasuk dalam salah satu destinasi wisata turis domestik maupun mancanegara. Apabila datang ke Bali dengan mengikuti group tour bisa dipastikan akan digiring menonton pertunjukan tari bali, ada Tari Kecak, Tari Barong, dan Tari Sanghyang. Kunjungan saya kali ini bersama para pemenang blogtrip Pesona Budaya, salah satunya juga menonton pertunjukan tari Kecak dan tari Sanghyang Jaran di Sahadewa yang berlokasi di Batubulan –Gianyar Bali.
Sekitar jam 18.30 WITA, seorang laki-laki memakai baju putih keluar dari balik panggung dan nampak mulai mengucapkan doa sambil memerciki air di beberapa sudut panggung. Beberapa saat kemudian para penari kecak yang berjumlah puluhan orang pria mengumandangkan suara “Cak-cak-cak...” keluar dari panggung dan membentuk suatu formasi. Jika didengarkan dengan seksama, meski bunyi suara mereka didominasi oleh kata “Cak-cak-cak...”, tetapi saya perhatikan ada juga suara yang lain, seperti “tho,tho,tho ......” Sampai saya cari siapa yang mengucapkannya. Dan juga ada suara-suara lainnya sebagai penyeimbang.
[caption caption="Ketut Sutapa, sang penari Sanghyang Jaran"]
Tari Kecak dibawakan dengan formasi duduk berkeliling sambil penarinya menggerak-gerakkan tangan dan lengan ke atas, ke samping dengan telapak tangan dilambai-lambaikan. Tarian dan lagu yang dinyanyikan dalam tari Kecak terkesan religius, karena alunan suara dan tariannya merupakan sarana bagi para Dewa dalam menyampaikan sabdanya melalui para penari tersebut. Oleh sebab itu Tari Kecak tergolong tari yang sakral bagi masyarakat Hindu Bali.
Pertunjukan tari ini juga disisipi cerita Epos Ramayana, sehingga dalam pertunjukan Tari Kecak akan muncul tokoh Rama, Sinta, Kijang Emas, Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Meganada dan Garuda. Selama pertunjukan hanya diiringi oleh suara penari Kecak, tanpa gamelan sama sekali. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan penampilan Tari Sanghyang Jaran, pada tari ini sang penari mempertontonkan gaya kesurupan sambil berjingkrak-jingkrak seperti tingkah laku seekor kuda. Ia menari di atas bara api yang terbuat dari sabut kelapa. Sungguh pertunjukan yang tampak spektakuler karena penari berjingkrak, berguling di atas bara api tanpa rasa takut terbakar.
[caption caption="Penampilan Ketut Sutapa pada Tari Sanghyang Jaran"]
Waktu pertunjukan yang berdurasi satu jam membuat penonton terpana dan puas dengan penampilan mereka. Saat itu penonton yang memenuhi panggung berkisar 100 orang, hanya sekitar sepertiga dari tempat duduk yang tersedia. Tetapi Sahadewa sudah mempunyai jadwal manggung yang rutin, sehingga berapapun penontonnya pertunjukan tetap berlangsung. Berbeda dengan kedatangan saya sebelumnya, dimana hampir seluruh panggung penuh. Mungkin karena saat di bulan Desember bersamaan dengan masa liburan, sehingga halaman parkir dipenuhi banyak bus.
Sesudah pertunjukan, kami diperkenankan untuk melakukan sesi wawancara. Melihat lebih dekat panggung pertunjukan dan wajah-wajah penarinya. Make up mereka benar-benar bagus, karenanya tampil menyala dari kejauhan. Bapak Ketut Sutapa (baca : Sutape) yang memerankan tari Sanghyang Jaran berkenan memberi informasi pada sesi wawancara peserta blogtrip. Bapak Ketut Sutapa menari sejak kelas 2 SD, sudah 25 tahun beliau bergelut menjadi seniman tari Bali. Dari gaya bicaranya yang penuh semangat terlihat sekali betapa hidupnya diabdikan sebagai seniman tari.
[caption caption="Ketut Sutapa berjingkrak-jingkrak di atas bara api"]
Melalui penjelasan beliau, bahwa Tari Kecak merupakan tari religi, dimana lagu dan gerakannya bertujuan untuk tolak bala. Aslinya Tari Kecak dipentaskan di pura. Sedang pertunjukan di Sahadewa adalah untuk keperluan komersial. Ada bedanya? Bedanya kalau pertunjukan di pura sesajen dan doa-doanya lebih lengkap. Meskipun begitu tetap ada ritual doa dan sesajen untuk pertunjukan komersial ini. Pada pementasan tari kecak di pura memang penari bisa sampai benar-benar kesurupan dan hilang kesadarannya.
[caption caption="Wajah para penari Sahadewa"]
Sedangkan untuk pertunjukan tari komersial, penari hanya memerankan orang kesurupan semaksimal mungkin. Namun tidak sampai hilang kesadaran. “Apakah ini kesurupan? Itu yang sulit saya jawab.” kata Ketut Sutapa. “Sudah 25 tahun saya menari, itu yang sulit saya terangkan. Kalau saya kesurupan, pasti saya tidak ingat kan! Tapi tadi saya masih bisa melihat Mbak ini!” lanjutnya sambil menunjuk Mbak Widha (admin Kompasiana yang mendampingi peserta blogtrip). Lalu beliau menjelaskan lagi,”Antara kesurupan dan tidak. Yang jelas saya menikmati, penuh ikhlas, resiko orang main api pasti terbakar! Meski begitu tak sampai melukai, karena harus tetap manggung keesokan harinya”
Sahadewa adalah yayasan yang mewadahi penari Bali untuk pertunjukan komersial. Jumlah penari inti sekitar 15 orang. Sedangkan penari Kecak sekitar 100 orang. Ketut Sutapa pernah melakukan pementasan di luar negeri, yaitu di Singapura. Memang ada banyak permintaan untuk manggung di luar negeri, tetapi dia terikat adat Bali, dimana laki-laki yang sudah menikah harus menjaga keluarganya sehingga tidak diperkenankan sering-sering bepergian jauh.
Dari penjelasannya pula, kami mengetahui bahwa pada awalnya Tari Kecak tercipta dari kebiasaan masyarakat Bali yang suka kumpul-kumpul. Daripada hanya diisi dengan kegiatan ngrumpi maka mereka mulai mencoba untuk memanfaatkan kebersamaan itu menjadi sebuah kesenian yang kemudian berkembang menjadi seni budaya masyarakat Bali yang dikenal dengan Tari Kecak. Tari Kecak yang sepintas terdengar hanya menyuarakan kata “Cak-cak-cak....” yang diulang-ulang oleh penarinya ternyata tidaklah semudah itu. Irama tersebut ada urutannya, ada mat-nya (polanya). Jadi penyanyi yang mengerluarkan suara “Tho-tho-tho....” berperan sebagai pemegang kendali.
“Kalau sampai dia salah, maka buyarlah semuanya!” jelas Ketut Sutapa. Para penari kecak juga bukan sekedar menyanyi, suara mereka adalah suara perut sehingga ada tekanan-tekanan tertentu pada saat mengucapkannya. “Mereka menyanyi dan menari selama satu jam itu sama dengan yoga,” kata Ketut Sutapa. Menjadi penari Kecak mereka harus belajar, karena pertunjukan selama satu jam itu ada urutannya dalam menyanyikan. Kalau dulu banyak orang yang berminat untuk menjadi penari kecak, kalau sekarang sudah berubah minat mereka. Oleh sebab itu regenerasi terus dilakukan. Saya perhatikan memang sebagian besar penari kecak yang tampil bukanlah orang muda.
Ketut Sutapa mengakui sebelum menarikan tari Sanghyang Jaran beliau melakukan ritual doa dan membacakan mantra-mantra. Ada peserta blogtrip yang menanyakan apa bedanya Sanggar Sahadewa dengan lainnya, karena sanggar ini termasuk yang selalu jadi jujugan turis dan dikenal sebagai tarian yang terbaik. “Wah, kalau saya jawab artinya saya sombong!” jawabnya dengan rendah hati. “Kalau perbedaan mungkin hanya di liriknya saja, tapi untuk irama lagu sama dengan yang lain. Tarian Sanghyang Jaran memang ada perubahan dari sebelumnya, kalau dulu memakai kuda dari bambu (seperti kuda lumping) sekarang dari untaian janur. Ya itu hanya bagian dari inovasi,” lanjut Ketut Sutapa.
“Dulu tari kecak yang terkenal adalah Kecak Bono. Perkembangan Tari Kecak dan Sanghyang sudah berubah dari waktu ke waktu. Ini saya tekuni, saya pelajari, dan make up selalu diperbarui, begitu juga kostumnya. Saya juga suka menonton pertunjukan tari lainnya. Inovasi-inovasi itu selalu kami lakukan, seperti tari api ini saya ingin beda. Sekarang saya sudah bisa menampilkan pertunjukan makan api. Bagaimanapun performance di panggung itu penting. Saya merasa disupport dengan aplause dari penonton atas penampilan kami, “ ujar Ketut Sutapa mengakhiri wawancara malam itu.
Mereka adalah penari profesional. Melalui Yayasan Sahadewa para penari itu menampilkan kebudayaan Bali sebagai pertunjukan budaya yang memukau penonton. Melalui pekerjaannya mereka berperan dalam melestarikan budaya Indonesia. Ternyata pertunjukan tari Bali tidaklah mudah dan sesederhana yang kita lihat. Mereka juga bukan menarikan tarian yang selalu sama dari waktu ke waktu. Ada upaya-upaya untuk melakukan inovasi dan perbaikan di sana-sini agar penampilan mereka selalu berdaya tarik dari waktu ke waktu. Para penari ini selalu berinovasi dan mengikuti perkembangan zaman agar tarian mereka selalu bisa memukau penontonnya dan menjadi pertunjukan yang selalu dicari oleh penikmatnya.
[caption caption="Souvenir yang dijual setelah menonton pertunjukan di Sahadewa"]
Hari sudah malam, kami keluar dari tempat pertunjukan menuju pelataran parkir, Ternyata sebuah souvenir sudah terpampang area pintu keluar. Ada foto saya dan peserta lainnya diantara kedua penari yang cantik terbingkai di piring bernuansa khas Bali. Sungguh strategi penjualan souvenir yang jitu. Harga yang dipatok Rp 80.000,00. Kami pun menawar dimana akhirnya cukup membayar Rp 50.000,00 saja. Saya sendiri tak merasa kapan mereka menfoto saya, tahu-tahu sudah jadi souvenirnya. Sungguh luluh hati wisatawan apabila fotonya sebagai kenang-kenangan menonton tari Bali tidak ikut dibawa pulang. Piring yang ada foto saya bersama kedua penari Bali itu adalah kenang-kenangan bahwa saya pernah melihat pertunjukan tari Bali di Sahadewa.
Oleh : Majawati Oen
Catatan : Seluruh foto adalah dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H