Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inovasi Mengantar Tari Bali Selalu Eksis

14 November 2015   09:36 Diperbarui: 14 November 2015   11:16 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan untuk pertunjukan tari komersial, penari hanya memerankan orang kesurupan semaksimal mungkin. Namun tidak sampai hilang kesadaran. “Apakah ini kesurupan? Itu yang sulit saya jawab.” kata Ketut Sutapa. “Sudah 25 tahun saya menari, itu yang sulit saya terangkan. Kalau saya kesurupan, pasti saya tidak ingat kan! Tapi tadi saya masih bisa melihat Mbak ini!” lanjutnya sambil menunjuk Mbak Widha (admin Kompasiana yang mendampingi peserta blogtrip). Lalu beliau menjelaskan lagi,”Antara kesurupan dan tidak. Yang jelas saya menikmati, penuh ikhlas, resiko orang main api pasti terbakar! Meski begitu tak sampai melukai, karena harus tetap manggung keesokan harinya”

Sahadewa adalah yayasan yang mewadahi penari Bali untuk pertunjukan komersial. Jumlah penari inti sekitar 15 orang. Sedangkan penari Kecak sekitar 100 orang. Ketut Sutapa pernah melakukan pementasan di luar negeri, yaitu di Singapura. Memang ada banyak permintaan untuk manggung di luar negeri, tetapi dia terikat adat Bali, dimana laki-laki yang sudah menikah harus menjaga keluarganya sehingga tidak diperkenankan sering-sering bepergian jauh.

Dari penjelasannya pula, kami mengetahui bahwa pada awalnya Tari Kecak tercipta dari kebiasaan masyarakat Bali yang suka kumpul-kumpul. Daripada hanya diisi dengan kegiatan ngrumpi maka mereka mulai mencoba untuk memanfaatkan kebersamaan itu menjadi sebuah kesenian yang kemudian berkembang menjadi seni budaya masyarakat Bali yang dikenal dengan Tari Kecak. Tari Kecak yang sepintas terdengar hanya menyuarakan kata “Cak-cak-cak....” yang diulang-ulang oleh penarinya ternyata tidaklah semudah itu. Irama tersebut ada urutannya, ada mat-nya (polanya). Jadi penyanyi yang mengerluarkan suara “Tho-tho-tho....” berperan sebagai pemegang kendali.

“Kalau sampai dia salah, maka buyarlah semuanya!” jelas Ketut Sutapa. Para penari kecak juga bukan sekedar menyanyi, suara mereka adalah suara perut sehingga ada tekanan-tekanan tertentu pada saat mengucapkannya. “Mereka menyanyi dan menari selama satu jam itu sama dengan yoga,” kata Ketut Sutapa. Menjadi penari Kecak mereka harus belajar, karena pertunjukan selama satu jam itu ada urutannya dalam menyanyikan. Kalau dulu banyak orang yang berminat untuk menjadi penari kecak, kalau sekarang sudah berubah minat mereka. Oleh sebab itu regenerasi terus dilakukan. Saya perhatikan memang sebagian besar penari kecak yang tampil bukanlah orang muda.

Ketut Sutapa mengakui sebelum menarikan tari Sanghyang Jaran beliau melakukan ritual doa dan membacakan mantra-mantra. Ada peserta blogtrip yang menanyakan apa bedanya Sanggar Sahadewa dengan lainnya, karena sanggar ini termasuk yang selalu jadi jujugan turis dan dikenal sebagai tarian yang terbaik. “Wah, kalau saya jawab artinya saya sombong!” jawabnya dengan rendah hati. “Kalau perbedaan mungkin hanya di liriknya saja, tapi untuk irama lagu sama dengan yang lain. Tarian Sanghyang Jaran memang ada perubahan dari sebelumnya, kalau dulu memakai kuda dari bambu (seperti kuda lumping) sekarang dari untaian janur. Ya itu hanya bagian dari inovasi,” lanjut Ketut Sutapa.

“Dulu tari kecak yang terkenal adalah Kecak Bono. Perkembangan Tari Kecak dan Sanghyang sudah berubah dari waktu ke waktu. Ini saya tekuni, saya pelajari, dan make up selalu diperbarui, begitu juga kostumnya. Saya juga suka menonton pertunjukan tari lainnya. Inovasi-inovasi itu selalu kami lakukan, seperti tari api ini saya ingin beda. Sekarang saya sudah bisa menampilkan pertunjukan makan api. Bagaimanapun performance di panggung itu penting. Saya merasa disupport dengan aplause dari penonton atas penampilan kami, “ ujar Ketut Sutapa mengakhiri wawancara malam itu.

Mereka adalah penari profesional. Melalui Yayasan Sahadewa para penari itu menampilkan kebudayaan Bali sebagai pertunjukan budaya yang memukau penonton. Melalui pekerjaannya mereka berperan dalam melestarikan budaya Indonesia. Ternyata pertunjukan tari Bali tidaklah mudah dan sesederhana yang kita lihat. Mereka juga bukan menarikan tarian yang selalu sama dari waktu ke waktu. Ada upaya-upaya untuk melakukan inovasi dan perbaikan di sana-sini agar penampilan mereka selalu berdaya tarik dari waktu ke waktu. Para penari ini selalu berinovasi dan mengikuti perkembangan zaman agar tarian mereka selalu bisa memukau penontonnya dan menjadi pertunjukan yang selalu dicari oleh penikmatnya.

[caption caption="Souvenir yang dijual setelah menonton pertunjukan di Sahadewa"]

[/caption]

Hari sudah malam, kami keluar dari tempat pertunjukan menuju pelataran parkir, Ternyata sebuah souvenir sudah terpampang area pintu keluar. Ada foto saya dan peserta lainnya diantara kedua penari yang cantik terbingkai di piring bernuansa khas Bali. Sungguh strategi penjualan souvenir yang jitu. Harga yang dipatok Rp 80.000,00. Kami pun menawar dimana akhirnya cukup membayar Rp 50.000,00 saja. Saya sendiri tak merasa kapan mereka menfoto saya, tahu-tahu sudah jadi souvenirnya. Sungguh luluh hati wisatawan apabila fotonya sebagai kenang-kenangan menonton tari Bali tidak ikut dibawa pulang. Piring yang ada foto saya bersama kedua penari Bali itu adalah kenang-kenangan bahwa saya pernah melihat pertunjukan tari Bali di Sahadewa.

Oleh : Majawati Oen

Catatan : Seluruh foto adalah dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun