[Mudasiana] Dikenang Sebagai Sutradara Kentrung
Masa Muda takkan terlupakan. Masa Muda adalah masa-masa dimana saya punya kesibukan segudang. Banyak organisasi yang saya ikuti, di sanalah kesempatan untuk beraktualisasi diri terwadahkan. Meskipun sibuk luar biasa, tak pernah lelah. Semangatnya membara terus. Energinya tak pernah habis. Melalui organisasi mulai dari lingkungan RT, muda-mudi gereja, OSIS, Pramuka, Kemahasiswaan pernah saya ikuti. Belum lagi nyambi kerja sebagai guru les privat. Mengatur waktu dan istirahat benar-benar harus jitu. Tetapi syarat saya, di saat ujian stop semua. Alhasil saya lulus dengan nilai yang baik.
Suatu kali saya menghadiri reuni dengan teman-teman kuliah IKIP Malang, setelah hampir 20 tahun tidak bertemu. Begitu saya memasuki ruangan “Lha, iki sutradarane teko!” (Lha ini sutradaranya datang), kata salah seorang teman. Saya ketawa dengan sebutan itu. Tak disangka yang mereka ingat dari saya adalah sebagai sutradara kentrung di kampus dulu. Sejak sekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) kemampuan kepemimpinan saya terasah. Untuk bisa menghimpun teman-teman sekelas dan mengusulkan suatu kegiatan, saya sering mendapat dukungan. Pada saat acara inaugurasi adik angkatan saya mengusulkan kepada teman-teman kalau kami menampilkan kentrung saja, supaya banyak yang bisa tampil di panggung. Lha kalau menari atau menyanyi single paling hanya segelintir saja yang tampil di panggung. Sedangkan mau semacam koor, tidak bakat nyanyi semua punya. Latihannya juga lama. Akhirnya konsep saya jelaskan ke teman-teman. Setuju dan tertarik mereka. Disepakati latihan setelah maghrib di kampus, hanya perlu sekitar 4 kali latihan untuk seluruh peserta, sedangkan pemain utama : dalang dan lakon sekitar 6 – 8 kali latihan.
Apa itu kentrung? Kentrung adalah pertunjukan teater Jawa yang diiringi alat musik tradisional dengan alur cerita yang dibawakan oleh dalang dan dilakonkan oleh pemain. Saya pernah melihat modifikasi kentrung modern, dimana ditambah lakon penonton dan musik pengiring yang tidak sepenuhnya gamelan Jawa, hasilnya memukau. Seni ini juga menampilkan sisi humor yang menarik ditonton, apalagi ada penonton yang ada di panggung, Dari situlah ide muncul dan saya menyanggupi mementaskan kentrung modern ini bersama teman-teman. Alasan saya ingin menampilkan kentrung adalah karena kentrung merupakan seni tradisional yang sudah mulai kurang dikenal oleh kalangan muda saat itu. Kentrung bisa menampilkan semua teman seangkatan. Memberi kesempatan manggung itu pengalaman yang luar biasa bagi seseorang yang merasa malu dan tidak pede tampil di depan umum. Tapi kalau bareng-bareng begitu, rasa canggung itu akan teratasi.
Saya tidak punya banyak pengalaman jadi sutradara, jadi saat itu bondo nekad, he he he..... Pementasan serupa hanya pernah saya lakukan saat perpisahan di SPG. Kalau sudah ada maunya, pasti ada jalan, itu prinsip saya. Sebuah niatan tak cukup, tanpa pengelolaan dan koordinasi yang baik. Di saat saya mengusulkan ke teman-teman dan mereka menyetujui, saatnya saya harus tancap gas. Waktu yang tersedia sangat singkat. Konsep harus sudah matang dan tercetus dalam bentuk naskah drama. Jadwal latihan dan menuntut kedisiplinan latihan harus terbentuk sejak awal. Menggerakkan teman-teman itu tidak gampang, apalagi sekitar 60 orang. Saya butuh dukungan para provokator untuk bisa mendukung dan saling mengingatkan disiplin dalam latihan. Hunting musik pengiring, hunting kostum, semua itu membutuhkan kreativitas dan kecekatan yang smart. Itu tantangan yang selalu saya sukai. Pengalaman di berbagai organisasi dengan karakter yang beragam sangat membantu saya dalam bekerja.
Saya masih ingat konsep kostum dalangnya : gaya jas Michael Jackson yang ada slempang emasnya dan berkaca mata hitam lagi, tapi tetap sarungan. Itu malah didukung teman-teman. Lagu-lagu pengiring mulai dari gending Jawa, Lagu Barat dan dan Lagu Indonesia pakai semua. Saya memilih lagu yang lagi hits, untuk menarik penonton. Saat-saat menjelang pementasan memang paling deg-degan karena pasti ada kekurangan di sana-sini, yang sudah tidak bisa lagi ditunda, tetapi harus diakali saat itu. Problemnya pada Sang Dalang, yang diapun merasa dialek mendalangnya seringkali kurang lucu, masih kagok tidak sesuai dengan skenario. Di sinilah saya harus berperan untuk tidak makin menuntutnya, tetapi membesarkan hatinya, walaupun juga tidak berbohong atas kekurangannya. Menjelang pementasan semua persiapan teknis harus sudah matang. Para pemain harus rileks, lepas dari beban ini dan itu. Ini saya tekankan kepada mereka sejak awal. Biarlah proses itu mengalir karena bukan hafal teks yang penting, tetapi bagaimana dialog bisa nyambung dan dinikmati penonton.
Awal pementasan memang terasa agak tegang. Ya semua pemain baru. Sebagian besar baru kali ini tampil di pentas. Teman-teman seangkatan waktu itu tidak ada yang ikut kegiatan teater di kampus. Tapi berikutnya mereka sudah bisa melepas ketegangannya dan lancar berdialog. Sambutan penonton yang antusias membuat pemain makin percaya diri dan lancar memainkan lakonnya secara baik. Pemilihan musik pengiring dan lagu-lagu yang hits sangat membantu mendongkrak suasana.
Hasilnya happy ending. Semua senang, semua bangga bisa mementaskan kentrung dengan sukses. Penampilan kami saat itu adalah paling heboh, paling beda, paling menarik perhatian penonton. Sukses besar! “Kapan-kapan main lagi yuk!” sahut seorang teman “Iya-iya mau mau!” sahut yang lain. Beberapa hari setelah pementasan kami tak henti-hentinya masih memperbincangkan pementasan itu. Ketawa ngakak bersama lagi kalau membahas proses dan adanya keseleo di saat pementasan.
Seru..... benar-benar seru bisa kompak satu angkatan tampil bersama di acara inaugurasi itu. Meskipun kami hanya sekali itu saja mementaskan kentrung, ternyata kesan itu tak terlupakan. Ada pengalaman indah yang menambah keakraban diantara kami. Ada banyak kegiatan yang saya ikuti di kampus. Namun saat reuni justru saya di kenang sebagai sutradara kentrung. Bukan hanya di reuni IKIP, saat reuni dengan teman-teman SPG mereka pun memberi sebutan saya sutradara kentrung. Kebersamaan dalam menjalani suatu proses sungguh melekat di hati. Masa-masa di mana kami harus bersama-sama bekerja dan mengatasi kendala-kendalanya adalah pengalaman dan menjadi kenangan yang berarti dan tak terlupakan.
Setiap pengalaman selalu ada pembelajaran, dari menjadi sutradara, saya belajar untuk bisa mengendalikan diri. Mengatur, menggerakkan dan memberdayakan mereka agar dapat mencapai suatu tujuan adalah pembelajaran yang sangat berguna bagi saya. Di dunia kerja, hal itu bisa saya terapkan. Bekerja dalam tim harus ada yang bisa menjadi pengendali, terutama untuk posisi pimpinan. Emosi harus bisa terkendali, menjadi pendengar, pemberi motivasi, sekaligus penegak aturan harus ada dalam jiwa seorang pemimpin.
Oleh : Majawati Oen
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Mudasiana dan FB Mudasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H