Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengetuk Hati Guru Akan Panggilan Hidupnya

6 Agustus 2014   02:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:19 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengetuk Hati Guru Akan Panggilan Hidupnya

Oleh : Majawati Oen

[caption id="attachment_336478" align="aligncenter" width="480" caption="Buku Oase Pendidikan di Indonesia (dok. pribadi)"][/caption]

Judul Buku: Oase Pendidikan di Indonesia

Penulis: Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan

Pengantar: Dr. Zaim Uchrowi

Penerbit: Tanoto Foundation

Tebal: 260 halaman

Menjadi guru adalah panggilan hidup, sama halnya dengan profesi yang lain. Pada kenyataannya profesi guru juga banyak diduduki oleh orang-orang yang tidak terpanggil menjadi guru. Mereka bekerja sebagai tukang mengajar, menyampaikan materi pengajaran kepada para murid sesuai patokan kurikulum. Tidak salah, mereka sudah melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya. Ataupun terpanggil menjadi guru dan menjalani profesi guru, tetapi terkungkung dengan aturan kurikulum sehingga mengekang diri dalam pagar yang aman tetapi tidak merdeka. Sebagai tukang mengajar, bekerja dari pagi sampai siang, berlanjut hingga malam dengan desahan keluhan dan kering ide. Pada kenyataannya, justru ada banyak yang bukan guru malah bisa menjadi pendamping belajar para murid dan menjadi guru yang memberdayakan murid-muridnya serta begitu menikmati ladang pendidikan.

Dinamika dunia pendidikan yang ada dibalik dinding pendidikan formal justru menyuguhkan keberagaman yang mengasyikan di ladang pendidikan. Semua itu bisa ditemukan dari sebuah buku yang inspiratif Oase Pendidikan di Indonesia dari Penerbit Tanoto Foundation. Buku ini mengisahkan pengalaman 18 guru dan kepala sekolah di berbagai daerah di tanah air yang berjuang sepenuh hati untuk berkarya dan berani beda dalam mendidik murid-muridnya dengan sistem belajar yang nyaman tetapi mencapai tujuan pendidikan yang nyata dan bermanfaat bagi para murid.

Tanoto Foundation adalah adalah yayasan nirlaba yang didirikan oleh Bapak Sukanto Tanoto dan Ibu Tinah Bingei Tanoto yang begitu peduli akan pendidikan. Dimana dulu mereka merasakan harus putus sekolah karena keterbatasan kondisi ekonomi keluarganya. Dengan mendirikan Tanoto Foundation beliau ingin berkiprah mewujudkan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas, terutama untuk kalangan masyarakat di daerah pinggiran dan terpinggirkan. Buku Oase Pendidikan adalah salah satu karya dari Tanoto Foundation. Buku ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian pertama : Pembelajaran yang Memerdekakan, bagian kedua : Anak dan Komunitas Belajarnya, serta bagian ketiga : Membangun Profesionalisme Guru. Berikut cuplikan dari beberapa kisah para guru yang ada dalam buku ini.

Pada bagian pertama ada kisah Sri Waryaningsih dan kawan-kawan dari Sanggar Anak Alam di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta yang mengemas sebuah pembelajaran problem solving dari kasus gentong dan celengan. Inilah proses pembelajaran yang terintegrasi dan nyata dialami para murid. Dari gentong yang pecah dan celengan yang hilang mereka belajar kejujuran, sikap solider, merasa kehilangan, bermusyawarah dan tidak mudah putus asa. Pendidikan karakter benar-benar tersampaikan dengan apik, bukan teori.

Ada pula kisah Diyar Ginanjar, pengajar di Sekolah Semesta Hati, Cimahi, Jawa Barat. Begitu telaten mendampingi Gios, 8 tahun yang petentang-petenteng, maunya sendiri dalam belajar tetapi Sang Guru selalu berusaha menelusuri untuk mencari pintu masuk akan minatnya dalam belajar. Berbagai jurus dilakukan, tetapi hasilnya masih belum seperti yang diharapkan. Memang sekolah ini tidak mempermasalahkan nilai akademik, tetapi lebih menghargai perubahan karakter dan kebiasaan yang terjadi pada anak.

Kisah Retno Listyarti, Guru PKn di SMA Negeri 13, Jakarta Utara yang begitu jitunya melekatkan pemahaman materi “konflik” dengan melibatkan murid-muridnya sehingga mereka merasakan dan terjebak dalam situasi konflik yang sesungguhnya. Retno meminta seorang murid cowok untuk mengelap pipinya yang terkena spidol di depan pacarnya di kelas. Sontak seluruh kelas terlibat konflik. Begitu pula ia berhasil menjelaskan tentang tangga multikultural melalui permainan garis. Sungguh menarik karena lagi-lagi para murid terlibat di dalamnya. Retno menggunakan multi-metode dalam mengajarkan PKn sehingga penyampaian materi itu tidak membosankan dan dipahami karena mereka mengalaminya dengan mengangkat kasus-kasus yang terjadi pada siswa.

Ada pula Bambang Wisudo yang mengajar di Sanggar Akar di pinggiran Kalimalang, Jakarta Timur. Seorang guru amatir yang berani mengajar Bahasa Inggris dengan pendekatan yang berbeda. Hasilnya keajaiban terjadi, para muridnya yang anak pinggiran bukan sekedar belajar bahasa Inggris tetapi mereka bisa berbahasa Inggris praktis. Metode pengajarannya mampu menumbuhkan kepercayaan diri, membangun harapan dan mimpi, menjadi bahan diskusi dan menyadarkan anak bahwa hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Hebat sekali bukan!

Kisah-kisah di bagian pertama buku ini seolah mendobrak tembok yang mengungkung kebebasan anak dalam belajar. Mereka merdeka menentukan gaya belajarnya, dan dipraktekkan sesuai dengan kebutuhannya. Hal inilah yang menumbuhkan minat belajar anak dan mendorongnya untuk menggali lebih dalam potensi dirinya. Mereka tidak dipaksa belajar sesuai patokan yang merata berlaku bagi semua siswa. Mereka berhak memilih dan menentukan, bebas berpendapat dan dihargai kemajuan belajarnya.

Di bagian kedua, Tuti J. Rismarini menggerakkan para muridnya untuk berswadaya agar bisa sekolah. Caranya dengan menjadi rekanan dalam memproduksi jepit rambut. Hasil usaha itu untuk beli sepeda bagi para siswanya yang membutuhkan, karena banyak murid di sekolah yang tidak masuk sekolah karena kendala biaya transport. Sebuah kepedulian dan kreativitas seorang kepala sekolah yang memberdayakan para murid dengan sebuah kecakapan hidup melalui wirausaha.

Ibe Karyanto adalah pendiri dan Koordinator Sanggar Akar di Kalimalang, Jakarta Timur sanggup membangun sanggarnya dengan melibatkan para anggota sanggar yang anak pinggiran dengan berbagai latar belakang.Mereka nukang untuk membangun sanggar daripada uangnya untuk ongkos membangun. Anak-anak itu terlibat dan otomatis mereka merasa memiliki. Sanggar Akar adalah sekolah otonom yang mengatur sendiri sistem pembelajarannya. Di sana ada pengurus dan anggota sanggar. Mereka bukan belajar supaya pandai saja, tetapi supaya bisa menghargai kehidupan. Sanggar Akar jauh dari kesan formal, di situ anak mendapatkan ruang untuk membebaskan diri dari penindasan dan menemukan kebebasan untuk berusaha mewujudkan mimpi-mimpi terbaiknya. Mereka cukup fokus belajar pada bidang yang diminatinya, bukan pada banyak teori yang perlu dihafalkan.

Pada bagian ketiga, Ginanjar Hambali guru di SMA Negeri 7 Pandeglang berbagi tentang memaknai program sertifikasi guru seperti pedang bermata dua, dimana di satu sisi sertifikasi menciptakan kondisi konsumerisme bagi guru. Tetapi di sisi lain tunjangan yang didapat adalah kesempatan untuk guru memiliki dana meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya mengajar. Dana itu dapat untuk membeli buku-buku penunjang mengajar, mengikuti pelatihan ataupun pengembangan diri yang lain.

Sementara Ade Irawan, wakil Koordinator ICW dan Sekretaris Koalisi Pendidikan mendobrak guru dengan gerakan guru transformatif. Guru diajak berpikir kritis untuk membongkar kepentingan-kepentingan yang mendompleng di balik mata pelajaran yang diajarkan. Guru selama ini lebih banyak fokus pada kewajibannya dan tidak ada yang bicara hak, terutama hak menyuarakan kebenaran.

Kisah Gita Lestarini, fasilitator pelatihan guru dari Credo Jakarta dan Dewi Susanti yang pernah menjabat sebagai Direktur Program Tanoto Foundation yang mengisahkan tentang perjuangannya membangun perpustakaan kecil di sekolah-sekolah pedalaman yang buku-bukunya diberi dari Tanoto Foundation melalui Program Pelita Pustaka. Ada beberapa sekolah yang diikutsertakan dan antar perpustakaan menggunakan konsep bergulir, artinya setiap beberapa periode mereka saling menukar buku. Pelatihan diberikan dengan mengundang guru dan kepala sekolah dilatih mulai dari menentukan letak perpustakaan, penyimpanan buku, peraturan meminjam dan perawatan dan sanksi kalau buku hilang atau rusak. Pada awalnya ada banyak kendala dari program ini dari para guru, bahkan ada yang bertanya,”Bu, ada amplop?” Maksudnya apakah ada imbalan atas jerih payah mereka dilatih, tak salah biasanya kan begitu. Tanoto Foundation justru mendorong mereka berusaha sendiri untuk meningkatkan kemampuannya, pembentukan kesadaran seperti inilah yang membuat rasa tanggung jawab makin tumbuh dari para guru. Meminjam buku bayar Rp 1000,00, biaya itu untuk mengganti buku yang rusak dan hilang. Tetapi setiap sekolah dibebani untuk bisa merawat buku-buku tersebut sebagai tanggung jawab sekolah. Pada awalnya mereka menolak, karena dibebani harus merawat dan menanggung buku yang rusak. Tak disangka mereka haus buku, program ini dapat membuka wawasan anak-anak dan guru. Bukan hanya sekedar membuka perpustakaan sekolah, ternyata program ini membentuk sinergi dan pembelajaran di saat buku bergulir dan antar guru-guru di sekolah saling bertemu, itulah kesempatan mereka saling bertukar informasi dan pengalaman. Gemar membaca akan membuka wawasan dan mendorong orang menemukan inspirasi dan mendorong orang belajar secara otodidak. Inspiratif sekali!

Saya sebagai guru, judul buku ini benar-benar pas. Di saat dunia pendidikan di Indonesia terasa jalan di tempat dan berganti-ganti sistem, tetapi tidak jelas mau dibawa ke mana arahnya. Hati saya bergetar selama membaca kisah-kisah di atas. Muncul pula banyak ide yang terinspirasi dari buku ini untuk saya terapkan bagi murid-murid saya di Bimbingan belajar yang saya kelola saat ini. Ada rasa berdosa juga, karena tuntutan kurikulum saya memacu para murid untuk berprestasi demi mencapai nilai akademik yang tinggi. Membaca buku ini membuat saya merasa bahwa selama ini saya masih terkurung di dalam tembok tinggi yang penuh aturan yang memasung kreativitas saya dan murid-murid saya. Padahal, alangkah indahnya apabila mereka bisa belajar dengan bebas di ladang pendidikan yang bebas tetapi terfokus. Banyak guru di Indonesia saat ini yang kering inspirasi mengajar terkungkung oleh gemuknya kurikulum. Target-target pembelajaran yang harus diselesaikan, nilai standar ketuntasan belajar dan beban sertifikasi. Semua itu bisa membuat mereka masuk ke kelas tanpa persiapan matang. Sekedar menyampaikan materi sesuai jadwal. Kiranya buku ini akan mengetuk hati para guru akan panggilan hidupnya, menjadi guru yang namanya tak terlupakan adalah guru yang paling memberikan hati pada anak-anak didiknya, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Zaim Uchrowi, CEO Balai Pustaka di Pengantar buku ini. Begitu juga Prof. Anita Lie, Ed.D. yang pada prolog buku ini menuliskan bahwa Guru yang baik adalah para individu yang memahami mengapa mereka menjadi guru dan peduli pada peserta didik.

Salah satu hal yang menggelitik hati saya selama membaca buku ini, tidak ada satupun penulis yang membahas tentang sistem evaluasi selama proses belajar berlangsung. Begitu pula, bagaimana dengan Laporan Hasil Belajarnya, terutama untuk sekolah otonom dengan kurikulum sendiri. Evaluasi dan Laporan Hasil Belajar merupakan bagian dari proses belajar mengajar, yang merupakan bagian yang termasuk penting untuk mengevaluasi kinerja guru. Sayangnya tidak ada yang membahasnya di dalam kisah-kisah mereka.

Pada akhirnya guru adalah ujung tombak pembelajaran di kelas atau proses tatap muka. Sebagai ujung tombak, guru harus senantiasa mengasah diri. Guru harus berani memperjuangkan hak-hak para murid, selalu belajar, mau memahami perbedaan para murid dalam menyerap pelajaran, harus kreatif dan inovatif untuk bisa menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang menarik dan penuh kesan sehingga pemahaman didapat para muridnya. Kurikulum boleh berubah-ubah, sarana belajar bisa jadi tidak lengkap, atau tekanan dari pihak-pihak lain tetapi guru adalah manusia bebas yang berakal dan harus berani punya prinsip untuk membuka jalan bagi para murid memaknai kehidupan dengan pendampingannya. Memberi kebebasan kepada murid untuk berkreasi dan menemukan jalan atas permasalahannya. Sudah saatnya guru mendobrak segala hambatan di depannya dan tidak terjebak dalam keterbatasan semu.

Salam untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik dan teriring doa semoga Tanoto Foundation dapat menjadi organisasi yang sukses dengan visi dan misinya untuk mewujudkan akses pendidikan secara merata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun