Jangan Bangga Dulu Kalau Nilai Putra-Putri Anda Melangit!
Oleh : Majawati Oen
Beberapa hari terakhir ini saya disibukkan dengan aktivitas rutin, yaitu mempersiapkan murid-murid saya menghadapi UTS (Ulangan Tengah Semester). Sejak beberapa tahun belakangan pelaksanaan UTS berbeda-beda antar sekolah. Saya mengelola bimbel dengan murid dari berbagai sekolah, jadwal UTS antar sekolah waktunya berbeda sehingga praktis dari awal sampai akhir satu setengah bulan baru selesai. Perkembangan pelaksanaan UTS dari tahun ke tahun juga makin menunjukkan gejala tidak tertib. Ada beberapa sekolah (saya khususkan di SD) yang pemberitahun UTS disampaikan sehari sebelum UTS. Ada yang orang tua tidak tahu materi UTS anaknya yang mana, karena tidak ada pemberitahuan. “Ya pokoknya tematik!” begitu tuturnya. Lho memang tematik, tetapi kan juga ada pelajaran agama, SBK dan PJOK. Yang bisa saja dibarengkan waktu UTS-nya. Ada yang keesokan harinya UTS, buku bahan UTS-nya sedang dikumpulkan. Saya sampai geleng-geleng kepala. Ini seperti maju perang tanpa persiapan.
Apalagi untuk materi tematik, bahannya kan luar biasa banyak. Pada saat UTS, materi tematik diujikan bersama yang meliputi bidang studi : PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Soal yang bisa merangkum itu semua bisa mencapai 80 soal. Jumlah soal sampai sekitar 6 halaman folio. Belajar sebanyak itu benar-benar lebih berat dibandingkan kurikulum sebelumnya.
Terjadi pula kasus diluar dugaan, ada beberapa anak yang dengan polosnya menyampaikan ke saya bahwa dia gembira bisa menjawab soal-soal UTS-nya dengan bisa semua. Sayangnya dengan embel-embel...”Enak, tadi dibantu guruku!” Saya tercenung. Kok dibantu? Maka saya tanya lebih lanjut, “Dibantu bagaimana?” Maka anak-anak ini menjawab dengan polosnya,”Ya dibantu, kalau nggak bisa boleh tanya. Nanti diberitahu. Kalau tidak tahu caranya diberitahu, nanti aku tinggal menghitung saja!” JLEEEEB !!!! Tentu saja saya kecewa! Sedih dan nelangsa. Ini bukan pertama kalinya saya dengar, tahun lalu juga ada pernyataan yang sama dari sekolah yang berbeda. Lho, apa ini sudah menjadi modus ?
Salah seorang Ibu murid saya, yang anaknya memang pandai rasanya tidak terima. Dia merasa dirugikan, moralitas anaknya dirusak. “Percuma capek-capek belajar, kalau sistem evaluasinya seperti itu!” keluhnya. Anak yang pandai dan tidak pandai juga sama rata hasilnya. Apalagi pembuatan soal dibahas seperti mengajar. Lalu saya tanya ke Ibu itu, “Ibu berani untuk menyampaikan kasus ini ke Kepala Sekolah?” Ibu itu menjawab,”Saya tidak berani, nanti anak saya akan dibully!” Memang tidak asal berani saja mengungkapkan fakta buruk ini. Tentunya resikonya yang tidak sanggup ditanggung oleh orang tua dan terutama perlakuan guru dan sekolah kepada anak tersebut.
Apa jadinya lembaga sekolah kalau praktik-praktik seperti ini masih saja berlangsung? Apa benar anak-anak seusia SD itu tidak paham, tidak mengerti kalau gurunya melakukan tindakan tidak benar? Pada kenyataannya, mereka mengerti lho! Pada kasus ini, saat hari pertama dan kedua UTS, anak-anak pada kelas yang sama mengaku bahwa ada bantuan guru. Pada hari ketiga, ada anak yang mengaku dan ada yang tidak. Dari sinilah terlihat bahwa mereka juga ingin menutupi aksi ini karena memang bagi anak-anak ini menguntungkan kalau “dibantu”. Mereka ingin juga mendapat nilai bagus, tanpa bersusah payah. Bukankah hasil belajar patokannya nilai di hasil ulangan dan raport.
Saya tak mengecek, apakah pola-pola seperti ini memang hanya terjadi pada sebagian kecil sekolah saja atau sudah pada skala yang lebih luas. Saya tidak pernah mengadakan penelitian untuk ini. Tetapi karena kasus ini sudah pernah saya alami tahun yang lalu dan terjadi lagi di tahun ini serta pada sekolah yang berbeda-beda, inilah yang menimbulkan kecurigaan di hati saya. Melalui tulisan ini pula, saya ingin mengajak para pembaca, baik dari kalangan pendidik dan terutama orang tua untuk mulai introspeksi diri. Apa yang saya paparkan di atas adalah tindakan kejahatan dalam pendidikan, pembohongan yang akan punya pengaruh negatif di kemudian hari bagi anak didik. Sulit mengungkapkan kasus ini, tetapi paling tidak kita perlu tahu seberapa kemampuan anak kita. Jangan-jangan nilai yang terpajang tidak murni, kenaikan kelasnya rekayasa.
Bersyukurlah kalau anak-anak kita ini berada di sekolah yang mau jujur atas prestasi murid-muridnya. Kalau pandai, ya memang nilainya bagus. Kalau jelek, ya berani menunjukkan fakta itu kepada murid. Bukan gengsi sekolah yang dikedepankan. Di dalam pengajaran, akan terlihat berapa prosentase murid berhasil dan gagalnya. Faktor kegagalan belajar bisa disebabkan karena sulitnya materi, luasnya materi, juga faktor guru dalam mengajarkannya. Semua itu ada cara mengatasinya, memang tidak mudah, bahkan melalui remidipun belum tentu menyelesaikan masalah. Membuat anak menjadi paham itu tidak mudah, apalagi melalui pengajaran secara klasikal. Tetapi jangan malah ditambah dengan cara-cara yang tidak jujur. Anak-anak itu akan jadi korban yang belum tentu tertebus di pelajaran berikutnya.
Dampak buruk ketidakjujuran dalam evaluasi :
- Anak meremehkan belajar, karena merasa ada bantuan yang siap menolongnya. Kemampuannya cenderung stagnan, karena tidak ada tuntutan untuk memahami dengan lebih baik
- Mengajarkan kebohongan, hal ini akan selalu diingat oleh anak. Guru sebagai panutan saja melakukan cara-cara yang tidak jujur, sehingga hal ini bisa menginspirasi si murid melakukan hal yang sama.
- Pemahaman yang rapuh. Bantuan yang diberikan guru membuat anak memahami sebuah materi pelajaran setengah-setengah. Terutama untuk pelajaran matematika yang memang kemampuan sebelumnya mendukung kemampuan pada materi berikutnya membuat anak mengalami kesulitan belajar yang berjenjang.
- Tidak dapat menyelesaikan masalah yang sulit. Anak-anak pada kasus ini hanya bisa menyelesaikan soal-soal yang mudah dan pendek-pendek. Tantangan soal sulit sudah membuatnya patah semangat.
Nilai bagus memang menjadi idaman anak dan orang tua. Tetapi apa gunanya nilai bagus hasil rekayasa. Sebagai orang tua memang perlu bangga kalau anak kita bernilai bagus, karena itu adalah bentuk hasil belajar anaknya. Tetapi janganlah orang tua ikut mendukung anak-anak mendapat nilai bagus dengan cara-cara yang merugikan anak sendiri. Nilai murni adalah bentuk prestasi yang sesungguhnya sehingga orang tua jadi tahu kemampuan anak sesungguhnya dan dilakukan upaya untuk bisa memperbaiki cara belajarnya. Jangan terkecoh dengan nilai yang melangit, sebaiknya orang tua paham kemampuan anak sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H