Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapan Aku Bisa Baca Puisi Lagi?

8 Februari 2015   00:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Majawati Oen

Beberapa waktu terakhir ini, tiba-tiba ide saya untuk menulis puisi tak terbendung. Begitu muncul dalam pikiran, langsung mengalir terus. Di kala lagi sibuk, tak ada kesempatan menuliskannya rangkaian kata itu menancap terus di pikiran saya. Di saat sudah senggang barulah saya tuliskan. Cepat sekali kata demi kata meluncur, saling merangkai dan jadilah sebuah puisi. Terkadang mau ngempet posting pun tidak bisa, he he he... Puisi yang saya buat juga ada yang saya simpan di file, produktif banget pokoknya!

Tadinya saya anggap karena sedang menemukan ide saja, tetapi karena terus-menerus dan berkali-kali. Saya jadi heran! Seperti kembali ke masa-masa masih sekolah dan kuliah dulu. Kalau dulu ide menulis puisi, saya tulis di diary, sekarang langsung dalam bentuk file di laptop. Pada masa itu ide menulispuisi juga selalu ada. Dalam banyak kejadian bisa muncul begitu saja. Kesenangan menulis puisi berlangsung terus sampai selesai kuliah. Beberapa lomba membaca puisi pun pernah saya ikuti dan menang!

Beda Menulis Puisi dan Membaca Puisi

Menulis puisi adalah bentuk penuangan perasaan dan ide dalam untaian kata yang indah. Menulis puisi hanya berhubungan dengan ide, rasa dan penuangan dalam kata-kata. Sementara membaca puisi lebih menuntut pada penjiwaan dalam menyampaikan gagasan puisi itu agar dapat dipahami oleh pemirsanya. Bukan hanya suara, tetapi gerak tubuh sangat membantu keindahan puisi saat dibacakan. Intonasi suara, naik turunnya irama pembacaan dan penegasannya sungguh menjadi tantangan. Membacakan di depan banyak orang, apalagi di ajang lomba punya greget tersendiri. Ada tantangan dan rasa kebahagiaan ketika berkesempatan membacakan puisi di depan orang banyak. Saya merasa lebih komunikatif.

Kerinduan Membaca Puisi

Bergabung di Kompasiana membuat saya bisa menuangkan ide menulis di berbagai kanal. Salah satunya kanal Fiksiana, tempat saya menuangkan tulisan dalam bentuk puisi dan cerpen. Memposting tulisan fiksi di Kompasiana memang mengasyikan karena ada apresiasi dari pembacanya, sehingga komunikatif juga. Tetapi suatu saat saya membaca postingan Mbak Idamoerid Darmanto yang berjudul Dari Kompasiana Menjadi Penyair (Dadakan) . Membaca postingan itu saya benar-benar ngiri. Duh, betapa senangnya ya bisa baca puisi lagi! Selama ini memang saya juga tak tahu apakah di Malang ada komunitas penyair. Apalagi sudah nggak muda begini. He he he... Tetapi bukankah tidak ada batasan untuk berpuisi? Hanya wadah dan kesempatannya saja yang saya tak tahu.

Gaya Saya Berpuisi

Saya masih ingat betul, ketika suatu kali saya pulang dari lomba baca puisi dan menang. Sesampai di rumah almarhum ibu saya heran, ketika saya membawa piagam. “Kapan latihannya? Kok tiba-tiba menang?” begitu katanya sambil bernada heran. Selama ini saya memang tak pernah latihan sambil bersuara. Cukup saya baca dalam hati dan saya bayangkan ekspresinya saja. Dan saat tampil, lancar-lancar saja. Saya sampai ketawa mendapat tanggapan dari ibu saya. Apalagi kemudian berturut-turut mendapat kemenangan lagi. Tak terbayangkan oleh saya kalau latihan membaca di rumah dengan bersuara, apa nggak tetangga pada datang?

Para Penyair yang Menginspirasi

Gaya menulis puisi seseorang, pasti tak lepas dari karya-karya yang pernah dibacanya dan dikaguminya. Di Kompasiana sendiri ada banyak penulis puisi, salah satunya adalah Mas Rahab Ganendra. Puisi-puisi beliau sering mendapat posisi HL. Pemilihan kata-kata dan merangkainya benar-benar luar biasa. Suatu saat saya minta diajari menulis puisi di kolom komentar postingannya. Kira-kira jawabannya seperti ini : Seperti sedang duduk di atas gunung dan melihat hamparan di bawahnya . Sebuah kalimat yang sangat menginspirasi saya. Melalui jawaban itu saya lebih mudah mengasah diri dan menjadi mudah merangkai kata. Terima kasih, ya Mas Rahab! Penyair lainnya adalah Mas Tasch Taufan , yang gayanya berpuisi sangat menggelitik dan membutuhkan pemahaman tingkat tinggi.

Salah satu tokoh penyair yang gayanya sangat saya sukai adalah WS Rendra, kelugasan beliau dalam menuangkan ide dalam puisi sangat berkesan di hati saya. Sementara karya yang sering memberi perenungan adalah Khalil Gibran. Begitudalamnya puisi-puisi karya beliau membuat saya suka mengoleksinya.

Semoga suatu saat masih ada kesempatan bagi saya untuk membaca puisi lagi, meskipun sebatas menebus kerinduan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun