Sore itu, tak ada badai besar, juga tak sedang turun hujan. Seperti biasa, usai acara jumpa pers wartawan mengerubungi Edy. Dari satu isu loncat ke isu lainnya diajukan. Jendral bintang tiga ini pun baik hati, semua dijawab dengan lugas, meski terkadang, keseleo.Â
"Coba sekarang siapa pemain Indonesia yang main di Malaysia, terus permainannya jadi lebih baik?"Â
Ucap Edy Rahmayadi dalam wawancara eksklusif dengan TV One. Bisa jadi Edy jarang membaca, tetapi bisa pula Edy sudah terlanjut benci.Â
Kepergian Evan Dimas dan Ilham Udin Armayin ke Selangor FC memantik emosi calon Gubernur Sumut itu. Menurutnya, kepergian Evan (terkhusus), akan sangat mengganggu pemusatan latihan timnas Indonesia U-23, menatap Asian Games 2018, di mana Indonesia tuan rumah.Â
Terikat kontrak profesional dengan klub luar negeri, sama artinya tak bisa intervensi. Sebagai orang tertinggi di sepak bola Indonesia, Edy tak bisa lagi buat aturan yang bisa buat klub, dengan senang hati (lebih tepatnya terpaksa) lepas pemain andalan saat kompetisi sedang berlangsung.Â
Evan dipastikan absen dalam beberapa pemusatan latihan bersama Luis Milla. Pemain asal Surabaya hanya mungkin dilepas klub saat ada kalender FIFA. Itulah biang keladi kemarahan Edy. Timnas Indonesia U-23 akan intens gelar pemusatan latihan, tetapi Evan sudah pasti absen.Â
Nahasnya, Malaysia, meski merupakan negara serumpun Indonesia, punya rekam sejarah kelam dengan Indonesia. Masyarakat sipil mungkin punya amarah dalam beberapa kasus, tetapi bagi "tentara" lebih besar lagi gesekannya. Sejarah tak bisa menghapus sengketa.Â
Dalam hal ini Edy benar. Maksudnya, Edy punya niat baik, dengan mempersiapkan timnas untuk Asian Games 2018 dengan sebaik-baiknya. Kemampuan Luis Milla ingin dieksploitasi dengan terus tangani timnas meski kompetisi berjalan.Â
Terget masuk semifinal cabang olahraga sepak bola Asian Games 2018, benar-benar ingin dicapai. Selain untuk mengharumkan nama bangsa, tentu saja ada motif lain. Dan, motif politis kiranya tak bisa dijauhkan dari persoalan prestasi itu.Â
Sebagai calon Gubernur Sumatera Utara, elektabilitas Edy akan semakin terkatrol saat PSSI penuhi target. Kepemimpinannya akan ditandai dengan tinta emas oleh sejarah. Itu pula mengapa Edy rela lepas jawaban Pangkostrad, yang lebih bergengsi daripada sekedar ketua PSSI.Â
Soal nasionalisme, Edy tak bisa dibantah, tetapi atas nasionalisme tak selamanya benar. Soal Evan dan Ilham, Edy dalam posisi yang sulit untuk dibenarkan. Sebagai ketua federasi sepak bola, Edy harusnya tahu dasar kontrak profesional.Â
Tetapi setiap orang punya prediksi, termasuk Edy. Ia berhak membela ideologinya. Apalagi, Edy merupakan tokoh yang sedang punya banyak kepentingan, tentu saja presfektifnya bisa diperdebatkan, bahkan diperjuangkan.Â
Yang pasti, dalam pertarungan soal Evan, Edy akan kalah. Ia kali ini harus mengalah dari Malaysia, sebagai negara yang selalu punya sengketa dengan Indonesia. Bisa pula ini pukulan kekalahan pertama Edy sebelum menerima banyak kekalahan pada tahun 2018.Â
Atau bisa pula, kekalahan dalam pusaran Selangor FA, Muly Munial, Malaysia, dan Edy ini membuatnya bangkit. Kekalahan ini akan membimbingnya ke dalam kemenangan-kemenangan yang tak pernah diperhitungkan banyak orang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H