Mohon tunggu...
Majalah MAYAra
Majalah MAYAra Mohon Tunggu... -

Majalah Donasi Internasional, Sertailah Keyakinan Niscaya Bersama Allah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ramadhan Menangis

30 Agustus 2011   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:22 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bulan Ramadhan telah meninggalkan kita semua. Masih adakah yang tersisa dalam hidup kita nilai-nilai Ramadhan yang melekat? Boleh jadi, sudah lupa semua laku dan perilaku yang telah diamalkan selama Ramadhan. Masjid-masjid yang pengeras suaranya nyaring menyuarakan orang-orang mengaji sudah tidak lagi. Artis-artis yang berjilbab kini dibuka lagi. Baju-baju takwa kembali digantung dirak-rak almari. Pondok Ramadhan tidak lagi mampu merubah perilaku para shantri harian. Benar-benar cocok orang Jawa bilang, “Barji bar beh; bar poso bali maneh.”

Umat manusia kembali kepada nilai-nilai semula. Sebuah nilai yang sudah tercemari dengan materialisme dan kapitalisme. Bahkan, juga sangat kuat pengaruh hedonisme di kalangan kaum muslimin-mukmin dewasa ini. Amaliah instan begitu marak dan banyak digandrungi. Hampir semua pola kehidupan umat manusia disetting sedemikian rupa sehingga serba instan. Termasuk ibadah kepada Tuhan.

Keberadaan Tuhan tidak lagi menjadi sumber dan pusat kehidupan manusia modern. Tuhan tidak lagi mendapatkan posisi yang dinomor-satukan. Juga, Tuhan sudah tidak lagi di-Tuhan-kan. Benar-benar sila pertama dalam Pancasila, “Ke-Tuhan-an yang Maha-esa.” Tidak lagi mendapatkan tempat dalam hati sanubari orang-orang yang konon mengaku beriman dan percaya kepada-Nya.

Inilah era di mana manusia, tak terkecuali kaum muslimin, yang telah memposisikan Tuhansebagai tambel butuh di kehidupan mereka. Jika orang Islam menyebut Tuhan dengan Allah. Ada yang menulis dengan “Alloh”, supaya tidak sama dengan kaum Nashrani dalam menyebutnya. Sebenarnya, apa yang mereka lakukan masih jauh dari Cara Berpikir dan sikap mental “Meng-Allah-kan Allah”. Di banyak kejadian mereka telah berani meng-Allah-kan selain Allah.

Perhatikan di lingkungan kita, bagaimana hampir setiap orang sangat ketakutan jika tidak memiliki uang. Mereka sangat ketakutan jika tidak punya “rizeki”. Namun mereka tidak pernah mau mengimani lagi meyakini, bahwa semua itu adalah kewenangan Tuhan dalam memberikan ketetapan atas takdir-Nya. Maka, segenap prosesi ibadah yang disyariatkan dalam Islam tidak lagi mampu mengendalikan Cara Berpikir umat manusia yang sangat mengikuti hawa nafsunya. Akibatnya, umat manusia memiliki kecenderungan yang melawan dari fitrah kejadian. Maka, dijumpai di banyak tempat banyak orang yang mengalami stress, depresi, dan gila.

Momen Ramadhan sebenarnya merupakan grand design dari Tuhan. Supaya umat manusia kembali kepada fitrah kejadian. Yakni, manusia yang CC dengan kehidupan: Theologis-nya, Humanis-nya, dan Ekologis-nya. Jika hal itu tidak berhasil, maka bulan Ramadhan sebagai lembaga pendidikan ruhani dan sosial tidak mampu merubah perilaku kaum muslimin-mukmin utamanya. Semua itu terjadi karena para penyampai dan penyambung serta para penganjur Islam uncommited dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Bulan Ramadhan dikatakan menangis apabila umat Islam sudah menjadi latah, lupa terhadap diri mereka sendiri, tidak CC dengan ajaran Islam yang adi luhung, disebabkan umat Islam begitu giat beribadah ketika hanya bulan Ramadhan. Dan, tidak giat di bulan-bulan lain, begitu seterusnya. Mode ini telah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah, ketika seorang jamaah haji begitu giat beribadah ketika berada di Haramain. Akan tetapi kembali loyo, latah, dan malas di saat sudah berada di tanah air.

Bulan Ramadhan menangis karena kaum muslimin mayoritas beribadah karena pamrih duniawi. Sebagian besar mereka mengejar kedududkan-kedudukan yang dapat mendatangkan kenikmatan dunia. Tidak lagi menjadikan berkah Ramahan sebagai motivasi kecerdasan guna meraih ampunan dan kasih-sayang di sisi Tuhan.

Kaum muslimin benar-benar terjebak dengan hitung-hitungan yang mematikan. Mereka menjadi lupa bahwa hitung-hitungan itu sebenarnya tidak terhingga. Mereka begitu gemar dengan hitungan angka yang menjadikannya beruntung berlipat-lipat. Sehingga semua hal mereka lakukan demi mendapatkan keuntungan bendawi atau materi tersebut. Maka, segala cara mereka tempuh guna mendapatkan uang dan harta kekayaan yang melimpah. Ini yang mereka sebut dengan “berkah Ramadhan”.

Apabila Ramadhan tidak dapat menghasilkan banyak profit buat mereka. Maka, mereka menyebutnya dengan Ramadhan yang tidak berkah. Sebab, secara materi dan bendawi tidak dapat memberikan masukan finansial dalam kehidupan mereka. Celakanya Cara Berpikir seperti itu telah merata di kehidupan masyarakat Islam Indonesia.

Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi “madrasah ruhiah”, kini berubah menjadi “pasar swalayan” yang diharapkan dapat memberikan keuntungan yang tinggi. Ramadhan tidak lagi memberikan tampilan yang khusyuk lagi khudu’. Akan tetapi Ramadhan berubah menjadi bersuasana hingar-bingar dengan kesan yang wah. Maka, kaum fakir-miskin tidak mendapatkan tempat guna mengekspresikan eksistensinya di bulan Ramadhan. Di mana Ramadhan hanya dimiliki oleh mereka yang berduit dan memiliki status sosial. Mereka yang mlarat hanya dapat melihat, apabila mereka tidak kat, alias tergoda dengan kehidupan maka memaksakan diri mereka untuk mengemis.

Bulan Ramadhan yang seharus menjadi bulan pembebas. Kini berubah menjadi bulan yang mendorong kaum muslimin untuk hidup konsumtif, bermewah-mewah, dan bermegah-megah. Hidup kaum muslimin tidak lagi apa adanya. Sebaliknya mereka sungguh mengada-adakan guna mendapatkan kehidupan seolah serba ada, walau dipaksakan.

Perhatikan di masjid-masjid kita, shalat sunnah tarawih hanya ramai di awal dan di akhir bulan Ramadhan. Dengan berbagai alasan mereka melakukan pembenaran seolah yang mereka lakukan dapat dibenarkan.

Kita hanya dapat berharap, semoga diri kita tidak termasuk hamba Tuhan yang menjadikan bulan Ramadhan menangis. amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun