Mohon tunggu...
MAITSAA ALIIFAH
MAITSAA ALIIFAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43221010100 - Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak - Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

A-403 TB 2: Pencegahan Korupsi dan Kejahatan Melalui Pendekatan Paideia

13 November 2022   22:43 Diperbarui: 13 November 2022   23:19 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                               Dokpri

Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

NIM                            : 43221010100

Nama                         : Maitsaa Aliifah

Jurusan                     : S1 Akuntansi

Kampus                    : Universitas Mercu Buana

2-63710c4808a8b51a0d6af502.jpg
2-63710c4808a8b51a0d6af502.jpg

                                                                                                                                  Dokpri

Apa Itu Korupsi?

Korupsi dari bahasa latin : corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.

Menurut Robert Klitgaard, “Korupsi adalah perbuatan menyimpang dari tugas resmi suatu instansi pemerintah atau melakukan perbuatan-perbuatan pribadi untuk keuntungan pribadi berupa kedudukan atau uang (perorangan, kerabat dekat, golongan sendiri) merupakan perbuatan yang  melanggar itu.

Robert Klitgaard, dalam hal ini, melihat korupsi tipikal pegawai negeri dan pejabat negara sebagai "menggunakan posisi seseorang untuk  keuntungan pribadi". Menurut Robert Klitgard, secara historis istilah tersebut merujuk pada tindakan politik. Menurutnya, kata korupsi menciptakan rangkaian citra jahat. Kata ini berarti segala sesuatu yang menghancurkan keutuhan.

Di sisi lain, menurut Jeremy Pope, “Korupsi mencakup perilaku  pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri. Mereka secara tidak pantas dan ilegal memperkaya diri mereka sendiri dan orang-orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.

Seorang filsuf yang melihat korupsi sebagai masalah umum daripada kejahatan adalah Thomas Hobbes. Korupsi itu wajar, menurut filosof ini. Korupsi  erat kaitannya dengan fitrah manusia itu sendiri. Kepribadian intrinsik seseorang mempengaruhi cara mereka memandang lingkungan dan masyarakatnya. Jika orang memiliki kepribadian penting, seperti orang-orang Hobbes yang hidup dalam suatu sistem, sistem tersebut secara otomatis terpengaruh.

Dari garis pemikiran inilah Hobbes membentuk suatu masyarakat yang menganut paham realisme, positivisme, dan materialisme. Oleh karena itu, manusia di dalam dirinya merupakan kontradiksi antara  yang baik dan yang jahat. Hobbes berargumen bahwa konsep ``baik'' dapat diterapkan pada objek kesenangan, dan bahwa konsep ``jahat'' dapat diterapkan pada penghindaran. Jadi keinginan adalah sifat manusia.

Aristoteles mengatakan bahwa manusia  adalah makhluk sosial dan politikon (makhluk sosial dan politik). Orang hidup dalam politik dengan budaya dan sistem sosial yang mengaturnya. Hal ini juga ditekankan oleh gurunya, Plato, bahwa masyarakat tidak akan terbayangkan tanpa seorang pemimpin. Jika Aristoteles dan Plato menginginkan para pemimpin polis untuk menciptakan masyarakat yang bijaksana, tercerahkan (aristokratis) dan damai, maka Hobbes sangat berbeda. Bagi Hobbes, isu pertama adalah ekonomi dan keberlangsungan hidup manusia.

Bagi Hobbes, masyarakat seperti tempat di mana orang-orang dengan berbagai ide, cara berpikir yang memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan, pada akhirnya, kebutuhan hidup  itu sendiri. Menurut Hobbes, masyarakat  adalah "sebuah perangkat buatan yang dirancang untuk mempromosikan kepentingan dasar semua manusia, suatu mekanisme yang bekerja berkat interaksi antara bagian-bagian  yang pada dasarnya independen dan terpisah. Melalui mekanisme yang ditetapkan pada tahun

Korupsi adalah kejahatan yang semakin meningkat. sulit untuk dikriminalisasi karena, karena  korupsi memiliki banyak segi yang membutuhkan kecerdasan penyidik dan aparat penegak hukum, dan dengan pola perilaku yang bersih, mengubah dan mengembangkan undang-undang adalah cara untuk mencegah korupsi.

Korupsi berkaitan dengan banyak persoalan kompleks seperti persoalan moral dan sikap, gaya hidup dan budaya, lingkungan sosial, sistem ekonomi dan politik. Mengatasi karakteristik ini adalah cara yang sudah lama dikenal untuk memberantas  korupsi dengan menggunakan instrumen hukum pidana sebagai alat kebijakan kriminal untuk mencegah atau menahan kejahatan.

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 (tiga) tahap yaitu elitis, endemic, dan sistematik :

  • Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat.
  • Pada tahap endemic, korupsi mewabah mengjakau lapisan masyarakat luas.
  • Lalu ditahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Penyakit korupsi di Indonesia ini telah sampai pada tahap sistematik. Perbuatan tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes). Dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dituntut caracara yang “luar biasa “ (extra-ordinary enforcement).

Apa itu Kejahatan?

Kejahatan menurut tata bahasa, merupakan perbuatan dan tindakan jahat seperti yang lazim orang ketahui atau dengarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan dimaksudkan sebagai suatu perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang telah disahkan oleh hukum tertulis.

Pengertian kriminologi berasal dari istilah Kriminologi itu sendiri yang secara etimologis berasal dari kata crimen yang artinya kejahatan, dan logos yang artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan sehingga kriminologi dapat diartikan ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Untuk pertama kalinya istilah kriminologi digunakan oleh P.Topinard (1830–1911) seorang ahli antropologi Perancis pada tahun 1879, sebelumnya istilah yang banyak dipakai adalah antropologi kriminal.

Namun, sebenarnya studi tentang kejahatan sudah lama dilakukan oleh filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dalam bukunya „Republiek‟, Plato menyatakan bahwa emas dan manusia merupakan sumber dari banyak kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam setiap negara yang terdapat banyak orang miskin, dengan diam-diam terdapat bajingan-bajingan, tukang copet, pemerkosa agama, dan penjahat dari bermacam-macam corak. Kemudian, dalam bukunya “De Wetten”, Plato juga menyatakan bahwa jika dalam suatu masyarakat tidak ada yang miskin dan tidak ada yang kaya, tentunya akan terdapat kesusilaan yang tinggi di sana karena di situ tidak akan terdapat ketakaburan, tidak pula kelaliman, juga tidak ada rasa iri hati dan benci. (Bonger. 1982: 44).

Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan. (Santoso dan Zulfa, 2001: 1).

Thomas van Aquino (1226-1274) memberikan beberapa pendapat tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hanya hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya jika pada suatu saat jatuh miskin, mudah menjadi pencuri. Kemiskinan biasanya memberi dorongan untuk mencuri. (Bonger. 1982: 45). Studi kejahatan secara ilmiah pada abad 19 di tandai dengan lahirnya statistik kriminal di Prancis pada tahun 1826 sebagai hasil penyelidikan awal yang dilakukan Adolphe Quetelet (1796–1874) dengan dihasilkannya statistik kesusilaan atau “moral statistics” (1842), dan diterbitkannya buku L’Uomodeliquente pada tahun 1876 oleh Cesare Lombroso (1835–1909).

Bonger mengatakan kejahatan adalah perbuatan antisosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan. (Topo Santoso dkk, 2010: 14).

Menurut Durkheim, mengartikan kejahatan sebagai gejala yang normal pada masyarakat, apabila tingkat keberadaannya tidak melampaui tingkat yang dapat dikendalikan lagi berdasarkan hukum yang berlaku (Bonger, W.A, 2012: 95).

Kejahatan dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undang-Undang yang berlaku di masyarakat. Pada hakikatnya suatu perbuatan melanggar hukum pidana atau Undang-Undang yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan yang bersangkutan. (Yesmil Anwar, 2010: 14).

Kejahatan yaitu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kejahatan sebagai suatu gejala dalam lingkup masyarakat (crime insociety), dan merupakan bagian dari keseluruhan proses-proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia (Yesmil Anwar : 2010,57).

Sutherland menekankan bahwa ciri-ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu, negara memberikan reaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas. Dilihat dari segi hukum, kejahatan dapat di definisikan, kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum, dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal (Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 2017: 29). 

Kenapa Seseorang Melakukan Kejahatan?

      Para filsuf Yunani kuno berspekulasi tentang kejahatan. Platon memandang pendidikan yang buruk sebagai penyebab pelanggaran hukum, dan dengan demikian mempromosikan sekolah yang baik sebagai cara untuk mencegahnya. Aristototle percaya hukuman yang tepat akan mencegah tindak pidana di masa depan.

      Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk mengetahui apa hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya sejak dulu manusia berusaha menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi penjahat. Pemikir terkemuka sering secara historis mengembangkan aliran pemikiran untuk menjelaskan dan memahami perilaku dan kegiatan kriminal, hanya untuk digantikan oleh aliran pemikiran lain di kemudian hari. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: teori biologi, teori psikologi, dan teori sosiologis.

Teori Biologi

      Teori Biologis;Teori Atavisme - Teori ini berkembang pada abad ke-19 pada masa-masa awal kriminologi sebagai penolakan terhadap teori klasik. Kriminolog Italia Ceasare Lombroso percaya perilaku kriminal dapat diprediksi oleh karakteristik fisiologis seseorang. Dia berpikir bahwa struktur wajah seseorang, posisi garis rambut, dan fitur biologis lainnya dapat menunjukkan kemungkinan tindakan anti-sosial. Karena sifat-sifat ini sering diwariskan, Lombroso menyimpulkan bahwa orang-orang ini "dilahirkan sebagai penjahat."

Teori Psikodinamik

      Teori ini didasarkan pada karya Sigmund Freud. Dia percaya bahwa kepribadian seseorang terdiri dari tiga komponen: id, ego, dan superego. Jika seseorang mengalami konflik antara ketiga elemen ini, itu menyebabkan ketidakseimbangan secara psikologis. Untuk mengatasi ketegangan ini, seseorang dapat mengadopsi mekanisme koping yang menyebabkannya bertindak secara kriminal. Kritik terhadap teori ini menunjukkan bahwa sulit untuk menguji melalui penelitian ilmiah yang objektif.

Teori Perilaku 

      Teori ini percaya perilaku kriminal disebabkan oleh belajar gaya hidup seperti itu dari lingkungan seseorang dan model peran kriminal. Edwin Sutherland, seorang sosiolog Amerika, adalah pendukung awal pendekatan semacam itu. Ada banyak penelitian dalam bidang pemikiran ini, yang telah menghasilkan banyak dukungan untuk pendekatan ini.

Teori Belajar Sosial 

      Robert Akers, seorang kriminolog Amerika, mengembangkan teori ini berdasarkan pada karya psikolog BF Skinner. Pendekatan ini menyatakan bahwa perilaku kriminal dipelajari dan didorong melalui hubungan dan pengaturan sosial, terutama melalui keluarga dan teman. Ada banyak dukungan dari penelitian untuk teori ini.

Teori Sosial 

       Menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan.

        Berbagai penjelasan teori kejahatan di atas dapat digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan dan keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan kejahatan sangat dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Dengan pemahaman tersebut, harapannya, juga bisa dipahami bagaimana masing-masing harus diperlakukan dan diberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.

Kenapa Seseorang Dapat Melakukan Korupsi dan Mengapa Korupsi Sulit Untuk di Berantas?

Teori GONE 

      Dalam Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.

Teori Fraud Triangle (TFT)

      Teori lainnya soal penyebab korupsi disampaikan oleh peneliti Donald R Cressey yang dikenal sebagai Teori Fraud Tiangle (TFT). Teori ini muncul setelah Cressey mewawancarai 250 orang terpidana kasus korupsi dalam waktu 5 bulan.

Dalam teori tersebut, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi).

  • Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, misalnya motif ekonomi yang menjadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini terkadang tidak benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan insentif, maka pelatuk pertama ini telah terpenuhi.
  • Kedua adalah kesempatan. Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya sistem pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Menurut Cressey, jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa dilakukan.
  • Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini setidaknya menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya "saya korupsi karena tidak digaji dengan layak" atau "keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak dibagi dengan adil".

Berikut ini disajikan beberapa hal yang bisa menjadi penyebab kenapa korupsi sangat sulit untuk diberantas:

  • Ketika hukum untuk pelaku korupsi lemah maka tersiptalah pemikiran bagi para oknum pelaku untuk melakukan tindak korupsi karena tidak adanya efek jera ataupun takut akan hukum serta penggunaan kekuasaan yang mengintervensi proses pengadilan membuat para koruptor semakin leluasa melakukan korupsi. Menjadi sebuah realitas kasus, secanggih apapun sistem jika masih ada KKN maka sistem akan menjadi mandul dan hukum menjadi pandang bulu.
  • Korupsi sangat sulit diberantas di Indonesia karena jika ditinjau dari sisi historisnya para penjajah dan pendahulu sudah menampilkan serta mengajarkan kita perilaku koruptif. Sistem Birokrasi yang lambat dan berbelit-belit menciptakan celah bagi para oknum untuk meraup keuntungan dengan meminta imbalan kepada masyarakat dalam upaya mempercepat urusan.

      Ketika para pelaku dan kejahatan korupsi ditumpas melalui penegakan hukum yang benar, maka tugas negara dan masyarakat selanjutnya adalah membina masyarakat melalui pendidikan formal, pendidikan masyarakat dan pendidikan rumah tangga untuk tidak dan terbiasa melakukan korupsi.

3-63710cbc1c59b736d2404bc2.jpg
3-63710cbc1c59b736d2404bc2.jpg

                                                                                                                                  Dokpri

Bagaimana Pencegahan Kejahatan dan Korupsi Melalui Pendekatan Paidea?

      Paideia, oleh Werner Jägers, adalah cita-cita budaya Yunani Inggris dan harus dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar dari kemanusiaan. Werner Jaegers dikenal di kalangan ahli sebagai penulis karya klasik tentang Aristoteles. Jaeger adalah seorang profesor di Berlin untuk bagian pertama dari "Paideia". Werner Jaegers kemudian bergabung dengan imigrasi dan sekarang menjadi profesor di Universitas Harvard. Di Amerika, dia menyelesaikan bagian kedua dan ketiga dari mahakaryanya.

      Paidea adalah sistem pendidikan dan pelatihan Yunani klasik yang meliputi senam, tata bahasa, retorika, puisi, musik, matematika, geografi, sejarah alam, astronomi dan ilmu alam, sejarah dan etika sosial, dan filsafat.

      Paideia dimulai dari ideal, bukan dari individu. Cita-cita manusia ini adalah pola dan model yang selalu dipertimbangkan oleh semua pendidik, penyair, seniman, dan filsuf Yunani. Ini adalah cita-cita universal, model kemanusiaan ini, yang harus ditiru oleh semua individu. Cita-cita ini harus diwujudkan dalam masyarakat, dan tujuan pendidikan adalah menjadikan setiap orang sebagai citra masyarakat.

      Arah utama Plato untuk filsafat berpusat pada perkembangan vital intelek, kehendak, dan tubuh, dan karena ingatan akan cita-cita adalah sarana dan tujuan dari pengetahuan sejati, kesatuan yang hilang dengan keabadian. keinginan untuk kembali. Oleh karena itu, bagi Plato pendidikan adalah pelayanan kepada jiwa dan Tuhan. Di bawah Plato, Paideia klasik mengambil dimensi metafisik yang lebih dalam di akademinya, melestarikan cita-cita kesempurnaan batin yang diwujudkan dalam pembentukan disiplin. , Bagaimana Plato mempertimbangkan model Paedia (pendidikan, peradaban) pada masanya dan mengusulkan model baru pendidikan?

      Plato mengulangi pentingnya waktunya yang dapat dilihat dalam konsep alegori matahari, alegori garis pemisah dan alegori gua, tanpa melupakan konsepsi khas Plato tentang memelihara jiwa. Dalam dua alegori ini, kita dapat melihat Plato mendekonstruksi model ideal (paradigma) Paideia pada masanya, terutama konsep Homer dan Sofis.

Paideia Homeros

      Paideia bagi Homeros adalah keteladanan atau meniru (mimesis) nilai yang pantas sebagai model ideal. Artinya paideia merupakan keteladanan dan peniruan sosok personal yang dapat dilihat dalam kidung kepahlawanan yang dikisahkan.

      Homeros memahami keutamaan (arete) manusia sebagai mahluk yang digdaya dan unggul. Ciri manusia utama ini bersifat “estesis kalos (indah-elok) dan etis agathos (baik)” dari mana muncul konsep kaloskagathos. Kaloskagathos tidak hanya menjadi milik kaum elitis aristokrat tetapi hendak bicara tentang nilai kemanusiaan ideal. Sehingga keutamaan seorang negarawan dalam konteks Arkhais masa Homeros tidak hanya soal keberanian di medan perang dan kehebatan di forum majelis, tempat para lelaki meraih kemasyuran. Homeros juga sama sekali tidak melihat keutamaan seorang negarawan kaloskagathos dalam sudut pandang eu –geneia (bibit) dan ploutos (bebet) dan bobot.

     Keutamaan dalam paideia Homeros ini memperlihatan bahwa sosok ideal negarawan kalokagathos bisa dilihat dalam kemampuannya sebagai seorang penyair “Sosok negarawan ideal diukur statusnya berdasarkan kapasitas kepenyairannya; atau sebaliknya, sosok penyair memiliki otoritas sebagai negarawan. Yang menyatukan kedua kapasitas ideal itu adalah perannya sebagai pendidik.”. Dalam konteks Homeros ini maka dapat dikatakan bahwa figur seorang negarawan kalokagathos itu terlihat pada diri seorang penyair, yang mampu untuk memberi solusi terhadap persoalan-persoalan polis.

Paidea Sofistik

      Kaum Sofis, merupakan kelompok intelektual Yunani yang melihat keutamaan (arete) kaloskagathos dalam sudut pandang yang baru terhadap konteksnya. Ketika keutamaan dipahami sebagai kedigdayaan dalam bertempur pra Homeros, maka kaum Sofis melihat keutamaan sebagai olah nalar.

      Konsep paideia kaum sofis ini menjadi konsep yang selalu bertumpu pada dua hal dasar yakni kemampuan personal seorang murid dan kemampuan pendidik dalam mendidik. Bahwa konsep paideia yang baik selalu diukur dalam polis. Ukuran ini bisa dilihat dalam kemampuan seseorang dalam memberi argumentasi (misalnya memberi pembelaan dalam ruang-ruang pengadilan). Sehingga seorang yang disebut berkeutamaan akan selalu diukur pada kemampuan rhetoric-nya. Sehingga untuk seorang negarawan kaloskagathos ukurannya adalah; apakah dia mempunyai ketangkasan dalam rhetoric atau tidak. Karena olah tubuh di dalam gimnastik, telah berubah menjadi olah nalar dalam ruang-ruang publik. Keutamaan tidak lagi bertumpu pada keberanian dimedan tempur, tetapi telah digantikan dengan kemampuan seseorang dalam memberi argumentasi. Konsep kaum sofis ini sangat perennialis.

Konsep Paideia Platon

      Begitu kita memahami konsep Plato tentang Paideia, kita dapat melihatnya dalam tiga konsep alegoris: Alegori Matahari, Alegori Garis Pembagi, dan Alegori Gua. Ketiga fabel ini digunakan oleh Plato untuk mengilustrasikannya. Pengetahuan (episteme) dan opini (doxa), logika (alasan) yang rasional dan dapat dipahami, dan thumos (harga diri, harga diri) dan epithumia (keinginan akan kekayaan, kependekan dari uang).

      Pertama, Plato, sebuah metafora untuk matahari, menjelaskan bahwa cahaya itu sendiri tidak otonom, tetapi berasal dari esensi Tuhan, kebaikan matahari. Matahari tentu tidak sama dengan mata sebagai penglihatan, karena mata tidak memancarkan cahaya seperti matahari. Namun, mata dapat melihat gambar tertentu dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu, indra tidak dapat melihat yang baik, karena yang baik hanya dapat dipahami dalam ranah pemahaman (logistik) dan dapat dipahami dengan bantuan gagasan. Dengan bantuan ide jiwa logistik, segala sesuatu dapat dipahami sebagai pengetahuan (episteme).

       Kedua, metafora garis terbagi dicirikan oleh garis pemisah horizontal yang terus menerus pada garis vertikal. Garis ini adalah tanda antara kewarasan dan kecerdasan. Jiwa berada pada tingkat opini (doxa) ketika ia hanya dapat mencapai sesuatu dalam keadaan yang terlihat. Dim Souls, di sisi lain, hanya ada di Realm of Shadows (Acacia). Jiwa yang disinari terang oleh cahaya (matahari) dipahami dalam keadaan beriman atau berkeyakinan (pistis). Pada tingkat pistis, pendapat mengandung kebenaran, tetapi status dan kualitasnya bersifat sementara, sehingga bersifat sementara, dan kebenaran yang terlihat selalu benar, pasti, dan abadi. Jiwa juga dapat memasuki alam pengertian dan membuka diri untuk memahami ilmu. Alam pemahaman ini berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada alam yang terlihat. Alam pemahaman ini tidak bergantung pada alam yang terlihat. Di alam ini jiwa memahami sesuatu dengan prinsip-prinsip dasar kebajikan tertinggi, pasti, abadi, abadi dan universal. Ranah pemahaman ini terdiri dari dua garis horizontal: penalaran matematis (dianoia) dan intuisi ilahi (noun/noesis). Dalam hal ini pengetahuan tidak lagi dibicarakan, tetapi muncul dalam arti yang seutuhnya.

       Ketiga, metafora gua. Alegori gua adalah alegori yang memungkinkan epistemologi digambarkan dari perspektif Plato tentang keadaan pengetahuan. Ketika tahanan masih di dalam gua, mereka hanya melihat bayangan di dinding gua, yang dianggap benar, tetapi jika dia bisa melarikan diri, dia akan terlihat oleh kenyataan di sekitarnya, batang api keliling. benda fisik yang telah dilemparkan Api sama dengan matahari karena terangnya, tetapi tetap padam. Tetapi ketika Anda melangkah keluar gua, Anda melihat kenyataan yang diterangi matahari seperti pepohonan. Perjalanan keluar gua adalah upaya jiwa untuk mencapai alam pengertian. Jadi ketika seorang tahanan dilepaskan di luar gua, ia melihat bayangan terlebih dahulu, lalu bayangan objek di atas air, lalu objek itu sendiri, dan kemudian cahaya dan cahaya yang memancar dari matahari. Matahari adalah gambaran dari sebuah ide atau produk yang memberikan cahaya.

       Ada yang mengatakan bahwa cara pemberantasan korupsi yang paling tepat adalah dengan menghukum seberat-beratnya para pelaku korupsi. Oleh karena itu, hukum, khususnya bidang hukum pidana, dipandang sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Memang berbagai instrumen hukum, peraturan perundang-undangan, sudah ada untuk memerangi korupsi. Kami memiliki lembaga dan lembaga penegak hukum yang didedikasikan untuk menegakkan peraturan ini, termasuk polisi, jaksa dan pengadilan. Ada juga badan independen bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang semuanya dibentuk untuk memberantas korupsi.

       Upaya pencegahan kejahatan dapat dibagi menjadi dua jalur: jalur kriminal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-pidana (menggunakan cara non-pidana untuk menyelesaikan masalah di luar hukum). Menurut Barda Nawawi Arief, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur pidana cenderung lebih menitikberatkan pada sifat represif pasca kejahatan (penindasan/penindasan/pemberantasan), sedangkan jalur non pidana cenderung lebih bersifat preventif. (pencegahan). Kasar karena tindakan represif dalam arti luas juga dapat dipandang sebagai tindakan preventif (Nawawi Arief: 2008). Karakter preventif bukanlah fokus pekerjaan petugas penjara. Namun, untuk mencegah korupsi, fungsi ini termasuk dalam salah satu tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki petugas pencegahan termasuk Dinas Pendidikan dan Dinas Pemda.

      Penanganan kasus korupsi harus mampu menjadi pencegah agar tidak terulang kembali. Tidak hanya itu, sebagai warga negara Indonesia, saya berkomitmen pada budaya malu agar korupsi dan perbuatan lain yang merusak bangsa dapat diminimalisir.  

      Negara kita adalah negara hukum. Semua warga negara Indonesia memperoleh derajat dan perlakuan yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, tidak boleh ada pilih kasih baik terhadap pejabat publik maupun masyarakat kecil dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi. Secara khusus, pemilihan PNS yang mewakili rakyat membutuhkan sikap hati-hati dari pemerintah dan rakyat, yang merupakan pemain utama dalam demokrasi Indonesia. Selanjutnya, semua lapisan masyarakat berhak untuk dipantau dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang jika terjadi indikasi korupsi. Korupsi harus dihukum mati agar koruptor lainnya berpikir matang sebelum melakukan korupsi.

Citasi

Apollo. (2022, Juli 27). Apa Itu Paideia Era Yunani. Retrieved from Kompasiana. Apa Itu Paideia Era Yunani Halaman all - Kompasiana.com 

Asmat, T. (2013, November 14). Korupsi dalam Tinjuan Filsafat Thomas Hobbes. Retrieved from Kompasiana. Korupsi dalam Tinjuan Filsafat Thomas Hobbes Halaman all - Kompasiana.com

Ivan. (2022, September 15). Paideia Platon: Menggali Konsep Pendidikan Platon. Retrieved from Tongkonan Indonesiana. Tongkonan Indonesiana: Paideia Platon: Menggali Konsep Pendidikan Platon

Korupsi, P. E. (2022, April 07). Kenapa Masih Banyak yang Korupsi? Ini Penyebabnya! Retrieved from aclc.kpk.go.id. Kenapa Masih Banyak yang Korupsi? Ini Penyebabnya! - ACLC KPK

Margaretha. (n.d.). Artikel – Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? Retrieved from psikologi.unair.ac.id. Artikel – Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? – Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (unair.ac.id)

Priyanto, A. (n.d.). Pengantar Kriminologi. repository.ut.ac.id. Retrieved from repository.ut.ac.id. MODUL 1 (ut.ac.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun