Tentang badai di puncak gulita waktu itu
Manakala sekedar meraba tak sedikit juga kuasa aku
Lalu tanganmu turun
Aku berjalan kau tuntun
R, lihatlah…
Seluruh dunia kutuk cintamu
Sebab manikam jelita itu cuma cuma kau hambur
Kau tabur pada onggok  sampah macamku
Sedang kau jauh berhak dapat lampaui itu
Butakah kau, pernah kumenduga
Atau pasti kau tak cukup pantas dikata waras
Tapi,
Cinta macam apa nan tak mengenal buta dan gila? Tanyamu
Lalu diamku
Kau bodoh, ketahuilah R
Atau barangkali aku yang tolol
Habiskan waktu mengenang luka-luka tak jua mengatup nganga
Bertanya dan seribu kali bertanya
Sedang kau,
Tiada berpikir apa
Kecuali asalku denganmu berjajar sama tinggi – kembali
Kau bisu, sadarilah R
Entah mungkin aku yang kemaruk
Ceracau igau hari hari lampau, meratap segala yang lesap lewat
Tapi kau,
Seribu bahasamu kau simpan
Kau pakai balut perihku, nyaman
Lalu puncak gulita selesai, badai telahpun usai
Mengenai menara yang kita susah berpeluh payah tegakkan
Telah matamu simak tanganku keduanya porak porandakan
Dan kau, R
Tidak ada tercatat hari yang akan selesai bagi cinta yang pantas tunai,
Jawabmu
Gagu aku
[-]
*pada Rizu, mendung sudah lagi menepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H