Shangkia tak ingin lagi berbicara pada orang lain. Seisi dunianya terganti, ia telah menemukan. Bagi Shangkia penemuan ini adalah maha indah yang tak pernah ada pada hidup sebelumnya.
***
“Shangkia kau marahkah padaku?”
Dunna mengkhawatirkan Shangkia akhir-akhir ini. Mereka hidup berdua, namun Dunna merasa selalu sendiri. Sampai-sampai tumbuh di dalam kepalanya penyesalan atas sikap pada Shangkia di waktu yang lewat.
Shangkia adalah anak yang mungil dulu, dilahirkan Dunna tanpa suami. Bukan karena Dunna hamil oleh mukjizat, tapi karena lelaki yang pernah sedikit dipercayanya itu kemudian pergi. Begitupun, Dunna bukan perempuan lunak, ia tetap keras. Sekeras sikapnya yang terus menumbuk lelaki itu kala bersama hingga tak tahan dan lebih memilih melepas ikatannya dengan Dunna. Bersama perutnya yang kian membesar Dunna menantang hidup dan memang Tuhan menyayangnya, ia bertahan hingga Shangkia tumbuh dan menjelma gadis cantik nyaris sempurna.
Tak ada yang menyaingi tubuh semampai indah Shangkia di desa mereka. Wajah bulat telur dengan dagu menggantung dan hidung kurus mancung, mata bulat cerah berlindung di bawah bulu mata lentik dan bibir penuh bikin mabuk kala dibentuk lengkung senyum, juga gerai rambut menutup punggung hingga pinggang yang selalu harum di hidung siapa saja manakala berpapasan tubuh dengan Shangkia. Betul-betul kebanggaan tiada tara bagi Dunna. Semua orang tahu bahwa ia adalah Dunna, wanita yang melahirkan bidadari Shangkia.
Lengkap saat keceriaan Shangkia menjadi magnet bagi setiap orang yang melihatnya. Shangkia kecil amat cerewet, juga menggemaskan, ia bertanya apapun yang dilihat. Dunna memamerkan Shangkia pada siapa saja, dan mereka menggeleng takjub juga senang pada Shangkia yang lincah. Shangkia diperhatikan dan disayang semua orang. Kebanggaan itu mengganti kecewanya pada hidup dan membuatnya kembali merasa berharga, sekalipun masih Dunna hanya mampu melindungi Shangkia dalam sepetak rumah yang cukup terdiri dari tembok dan atap saja.
“Apa kau tak ingat cara berkata-kata?” nihil. Tetap Dunna tak beroleh jawaban, Shangkia seolah tak mendengar pertanyaannya.
Berbulan-bulan sudah dihabiskan Dunna dalam sesal karena sesuatu yang telah terjadi pada satu siang terik di pasar. Sesuatu terjadi yang telah merenggut Shangkia darinya dan kini gadis itu hanya banyak diam di kamarnya, mengacuhkan segala yang ada, termasuk Dunna.
Dunna berpikir bahwa orang-orang di pasar harus tahu kecantikan Shangkia, sebab semenjak remaja hingga dewasa belum sekali juga Dunna membawa Shangkia pergi ke sana. Maka berdua siang itu mereka menyusur setiap sekat dan petak toko pedagang. Dan tentu benar saja, banyak orang terpana pada bidadari yang tengah digamit tangan Dunna dan memuji kecantikannya.
“Usiamu dua puluh satu, Shangkia. Pilihlah barang apa yang kau ingin, biar kubelikan untukmu.” Dunna telah merencanakan hari ini sejak lama, termasuk giat menyisihkan uang-uangnya untuk membelikan barang pada hari ulang tahun gadisnya.
Shangkia hanya tersenyum. Lama mereka menyusuri pasar, tak jua Shangkia menunjuk yang diminatinya. Hingga kemudian langkah Shangkia terhenti pada sebuah petak, mulutnya nganga pada keindahan yang dilihatnya. Melihat tatapan Shangkia yang tak putus, Dunna tahu dan segera dihitungnya uang untuk ditukarkan pada pedagang.
“Kau sudah besar memang rupanya, Shangkia.” penuh senyum Dunna mengangsurkan benda itu pada Shangkia yang terus mendekapnya hingga pulang ke rumah.
Petakalah itu, benar-benar petaka. Barang yang baru pertamakali hadir di rumah mereka itu menyita segala perhatian Shangkia. Manalagi Dunna benar-benar mengizinkan Shangkia memilikinya sendiri dan membawanya ke kamar. Bidadarinya tak pernah lagi peduli apapun. Barang kesayangan barunya telah cukup bagi Shangkia, seolah ia tak butuh orang lain lagi dalam hidup.
Shangkia memandangi benda itu amat lekat, setiap saat sepanjang hari berbulan-bulan hingga nyaris mencapai hitungan tahun, dengan tatap takjub dan penuh kekaguman. Betul-betul merepotkan Dunna sebab ia harus terus menyuapi Shangkia jika tiba waktu makan atau keras membujuk kala tiba saat mandi. Benar-benar Shangkia tak ingin lagi beranjak dari benda di hadapannya. Manakala sekali waktu Dunna membuang benda itu, segera Shangkia mengamuk tiada kira.
Demi cantik kebanggaanya itu tak lagi menjadi berang, Dunna memilih mengendap pada suatu malam untuk mengambil benda keparat yang telah menghisap semata wayangnya dan menjadikannya bagai hidup sendirian. Setelah masuk dengan mengendap dan menutup pintu perlahan, Dunna mengambil dan membungkus benda itu, lalu berjalan dalam gelap demi membuangnya jauh. Sepenuh harap Dunna agar Shangkia tak lagi akan menemukannya.
Namun pagi tiba tak didapati miliknya di sana, Shangkia kembali berteriak dan kebingungan. Bingung yang juga membingungkan Dunna, sebab Shangkia menangis terus menerus seolah airmatanya tak akan dapat menjadi kering. Dunna benar-benar hilang akal demi mengalihkan kehilangan Shangkia.
“Shangkia sudah, tak dapatkah kau lupakan saja benda itu? Aku telah membuangnya saat kau tidur.” Dunna menyerah akhirnya.
Seketika mata Shangkia melebar dan menajam, menyayat Dunna di hadapannya tanpa ampun.
“Mama adalah orang yang tidak pernah mengerti jatuh cinta!” bentaknya di wajah Dunna sebelum pergi kemudian.
Dunna tertegun. Akhirnya Shangkia bicara, namun terasa amat berat baginya mencerna perkataan Shangkia. Dengan airmata berlelehan, berkali digumamkan lirih dari bibir yang mulai luntur rona merahnya sebab usia tua,
“bagaimana bisa seseorang jatuh cinta pada cermin?”
Dunna tidak mengerti.
[-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H