“Mel sudahlah, Mel.”
Beberapa orang tetangga yang mengetahui kejadian ini mencoba meleraiku dari belakang tapi tak aku sedikit pun gentar.
“Mel, sudah cukup!” kali ini Cik Maya sambil mencoba meraih lenganku dari belakang, tapi tetap gagang sapuku masih terayun kasar ke tubuh si tua yang berlagak tanpa dosa.
“Mel! Kau ini kesetanan apa?” Cik Maya merangsek menghadang tubuh yang kini meringkuk di sudut itu lalu dengan paksa merebut sapuku sambil membentak keras, amat keras. Seumur tinggal bersamanya baru kali ini kulihat Cik Maya melotot penuh marah.
“Cik Maya lihat, legitku berantakan. Padahal ini sudah sore dan acara akan dimulai esok pagi,” aku masih terengah menahan emosi yang belum tuntas.
“Mel kau keterlaluan. Tidak sopan. Lihatlah di rumah kita ini sedang banyak orang. Malu!"
“Kenapa Cik Maya bela dia terus, hah? Dia merepotkan, Cik. Dia mau menghancurkan acaraku!” sungguh suara kerasku pada Cik Maya tak pernah kuduga. Beberapa saat kemudian aku sadar ketika melihat wajah Cik Maya memerah redup dan jarinya yang menggenggam sapu gemetaran.
Aku tak kuat menahan semuanya. Aku berada di puncak kesal dan jadilah air mata tumpah di hadapan Cik Maya. Aku tergugu beberapa saat dan Cik Maya hanya memandangku saja, tajam.
Cik Maya memapah Pak Jang –si laki-laki tua pengidap demensia- untuk berdiri. Tubuh kuyu setelah menjadi samsak emosiku itu bergetar. Pak Jang menatapku takut.
“Mel, cium tangan sekarang, minta maaf sama Bapakmu,” Cik Maya mengulurkan tangan kanan Pak Jang sedikit maju ke depan.
“Bapakku?”