Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suami Tiri

1 Oktober 2016   20:27 Diperbarui: 1 Oktober 2016   20:43 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://bali.tribunnews.com/

Dua minggu setelah kepulangan dari proyek yang diperjuangkannya, ia tiga kali mengalami demam. Sesekali mengeluhkan sesak pada napas, panas perut, juga yang utama, nyeri pada organ vital. Tidak aku faham sebenarnya sakit apa yang dideritanya. Yang aku tahu, tiga tahun tidur disampingnya sebagai istri cukup bagiku menghitung dengan jari berapa kali ia pernah membelai tubuhku. Hanya membelai, tak pernah lebih.

Ia mengeluhkan sekujur tubuhnya ngilu hebat. Keringat membanjir di tubuhnya yang terbaring biru pucat, mual, muntah, menggigil. Tak lama berselang, ia mengejang. Saat itu aku sadar, bukan hanya cinta yang mati dalam diriku, tapi juga rasa peduli sebagai manusia. Sebab dalam raung sakit segetas sembilu, tidak satupun jemariku menyentuh tubuhnya. Aku hanya sekedar berbaik hati mengambilkan air minum, juga obat dalam botol putih tanpa keterangan yang belakangan dijejalkan dalam tubuhnya tanpa dosis dan aturan.  

Dan di sanalah ia siang hari menyengat itu, menyudahi pergumulan maut sebagai yang kalah dan menyerah. Ia selesai.

***

“Selama di Jogja beliau masih baik-baik saja, Bu,” kata Putra, penjenguk pertamaku.

“Kami masih membicarakan lanjutan proyek penelitian yang kami garap di Bali.”

Putra menatapku setelah menunduk, mengambil napas panjang. Aku bahkan tak lagi mampu membaca reaksi di wajahnya. Mungkin ia sedih karna dosen pembimbingnya meninggal sebelum proyek tuntas selesai. Atau barangkali tengah berbela sungkawa atas apa yang terjadi. Entahlah. Tak ada yang bisa kuhidangkan untuk menghangatkan temu kami di tengah ruang jenguk yang dingin dan sepi.

“Keracunan mercury, ada dalam pil yang digunakannya sebagai obat. Siphilis. Tapi aku bersumpah semua ini bukan aku. ” kemampuan bicara yang sungguh diluar dugaan, meski suaraku jauh lebih lirih dan datar.

Putra tersenyum. Mungkinlah suamiku lebih terbuka pada mahasiswanya tinimbang aku, istri yang tak pernah dicintai dalam perjodohan konyol keluarga. Hingga aku habis kata, Putra bersedia menungguku meski diam. Tak banyak warna dalam jenguknya, hanya tatap yang tak sediktpun aku mampu terjemahkan.

“Ah, sebaiknya saya pamit sekarang, Bu.” Putra berdiri, menembak mataku dengan matanya dan menghipnotisku mengikut arah geraknya.

Diraih tanganku dalam jabat, lalu spontan Putra memeluk tubuhku. Dingin. Masih juga aku tak tahu harus bermimik wajah bagaimana atau menanggapi seperti apa. Kemudian, pelan tangannya membelai rambutku. Ini tak semestinya, tapi apa berdaya aku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun