Mohon tunggu...
Main Fals
Main Fals Mohon Tunggu... wiraswasta -

●Bukan blogger pemula, tapi bukan juga seorang blogger master. Akoe hanyalah seorang pengangguran yang senang mempelajari hal-hal baru seputar BLOG, SEO dan internet marketing.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Menelusuri Jejak Ibu Sunan Giri di Lamongan

21 Oktober 2014   02:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berwisata religi bisa dilakukan dengan banyak cara. Mengunjungi makam-makam para pendahulu yang berjasa dalam penyebaran agama Islam, misalnya. Jika selama ini kita sering berziarah  ke makam-makam sunan, bagaimana jika sekali-kali kita berziarah ke makam-makam ibu para sunan, orang yang berjasa melahirkan mereka.

Di Lamongan kita bisa melakukan hal ini. Bukan di makam ibu Sunan Drajat, satu-satunya Wali Songo di Lamongan, bukan juga ke makam ibu Sunan Sendang Duwur, melainkan ke makam ibu dari Sunan Giri, sunan yang menyebarkan agama Islam di Gresik.

Loh, bagaimana sunan yang menyiarkan agama Islam di Gresik, makam ibunya bisa berada di Lamongan? Nah, jadi begini ceritanya.

Cerita berawal dari Kerajaan Blambangan di bawah pimpinan Raja Minyak Senguru yang didera sebuah musibah. Putri cantik raja, Dewi Sekardadu, mengidap penyakit ganas yang sukar disembuhkan. Meski imbalannya cukup mengiurkan, yakni kalau lelaki akan dinikahkan dengan putri cantik tersebut, dan apabila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu, namun, tidak ada seorang tabib pun yang bisa mengobati.

Hingga akhirnya datang Maulana Ishaq dari Lempo (Aceh). Sebelum mengobati Dewi Sekardadu, ia memberikan syarat kepada raja. Ia ingin seluruh kerajaan mengikuti agamanya, agama Islam.

Raja yang ingin anaknya sembuh mengiyakan saja. Dewi Sekardadu pun sembuh dan seperti janji raja, Maulana Ishaq menikah dengan putrinya itu.

Dua  tahun berselang, Dewi Sekardadu sedang hamil 4 bulan. Saat itu raja ingin mengusir Maulana Ishaq dari kerajaan. Rasa setengah hatinya menjadi muslim menjadi penyebabnya. Merasa tidak bisa melanjutkan siar sebebas dulu lagi, Maulana Ishaq pamit untuk siar agama ke arah timur.

Setelah 19 bulan 9 hari mengandung, Dewi Sekardadu melahirkan seorang bayi lelaki. Usia kandungannya memang tergolong lama. Saat itu di wilayah Blambangan sedang gempar-gemparnya pembunuhan bayi lelaki oleh kerajaan. Ini merupakan muslihat agar tidak ada keturunan dari Maulana Ishaq yang mewarisi tahta kerajaan. Agar tidak dibunuh, Dewi Sekardadu meminta pembantu kerajaan untuk menghanyutkan bayinya ke sungai.

Di Desa Dagang ibu dan anaknya bertemu

Sudah 15 tahun berlalu, Dewi Sekardadu pergi meninggalkan kerajaan untuk mencari Maulana Ishaq dan anaknya. Selain itu, ia juga tidak mau dinikahkan dengan anak Mahapati.  Dewi Sekardadu berangkat ditemani dua orang pembantu kerajaan.

Dari sini banyak versi cerita bermunculan. Salah satunya versi yang mengatakan bahwa bayi Dewi Sekardadu tidak dihanyutkan di sungai, tapi dihanyutkan di laut. Lalu ia terdampar di pantai Gresik dan dipungut oleh warga sekitar. Dewi Sekardadu yang pergi mencarinya meninggal, jasadnya terdampar di pantai Buduran, Sidoarjo. Inilah cerita yang meyakinkan banyak orang bahwa jasad Dewi Sekardadu dimakamkan di Sidoarjo.

Sedangkan dalam buku dongeng yang disimpan oleh juru kunci makam Dewi Sekardadu di Lamongan, menceritakan rombongan Dewi Sekardadu berjalan menuju ke Gresik hingga sampai di Desa Dagang dan bertemu dengan anaknya yang sudah beranjak dewasa dan kelak menjadi Sunan Giri itu.

Dari Desa Dagang, rombongan Dewi Sekardadu melanjutkan perjalanan mencari Maulana Ishaq ke arah barat melewati hutan penuh gelagah (saat ini bernama Desa Glagah). Kebetulan hutan tersebut dekat dengan tempat tinggal Mbah Lamong (tokoh yang kelak namanya diabadikan menjadi nama kota ini, Lamongan) Sehingga tempat tinggal Mbah Lamong diberi nama Desa Deket.

Perjalanan dilanjutkan, kali ini rombongan sampai di hutan kelapa yang sangat singit. Singit dalam bahasa jawa artinya keramat (saat ini bernama Desa Keramat).

Keluar dari hutan kelapa, rombongan melewati hutan kembang. Kembang dalam bahasa jawa berarti bunga (saat ini bernama Desa Bunga). Beranjak dari sana, rombongan tersesat. Mereka berputar-putar di suatu tempat dan tak bisa menemukan jalan keluar. Sekarang tempat ini bernama Desa Puter Kembangbahu. Mereka mencoba peruntungan ke arah barat tapi malah mentok (bertemu jalan buntu), dihadang oleh sebuah gunung besar. Tempat mereka mentok ini sekarang bernama Desa Mantup. Merasa bingung, rombongan naik ke atas gunung dan beristirahat.

Cukup beristirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini mereka berhenti di daerah bekas Kerajaan Jonggolok. Dewi Sekardadu yang merupakan putri Kerajaan Blambangan dan seorang yang dermawan, dianggap sebagai orang yang berderajat oleh penduduk sekitar. Daerah ini sekarang bernama Desa Deket Agung, artinya dekat dengan orang yang berderajat.

Dari sana, Dewi Sekardadu dan rombongannya pergi ke arah utara sungai. Di tempat ini Dewi Sekardadu dijuluki Mbok Rondo Gondang. Mbok dalam bahasa jawa biasa digunakan untuk sapaan ibu. Rondo artinya janda, meskipun sebenarnya Dewi Sekardadu memiliki suami, namun karena mereka terpisah, maka orang sekitar tetap menyebut Dewi Sekardadu rondo. Sedangkan gondang artinya terusir, mungkin penduduk sekitar mengira Dewi Sekardadu pergi jauh meninggalkan Kerajaan Blambangan karena diusir. Istilah terakhir ini juga yang diabadikan sebagai nama desa tempat tinggal Dewi Sekardadu ini, yakni Desa Gondang.

Tak lama tinggal di sana, Dewi Sekardadu meninggal. Ia pun dimakamkan.

Siratkan tanah ke makam

Tentu, kita tidak bisa menyebut dongeng ini sebagai kisah perjalanan hidup Dewi Sekardadu yang sebenarnya. Namun, jika menilik napak tilas perjalanan Dewi Sekardadu yang didukung dengan diabadikan menjadi nama-nama desa, dongeng ini bisa dijadikan bahan pengkajian.

Di makam Dewi Sekardadu di Lamongan, pada hari-hari biasa terlihat cukup sepi. Jika sedang tidak ada pengunjung, yang menonjol hanya bangunan bercat putih dengan lantai keramik putih. Luas bangunannya sekitar 64 meter persegi, berada di tengah-tengah tanah seluas kira-kira 144 meter persegi yang dikelilingi pagar bata. Makam ini jauh lebih kecil dan lebih sederhana jika dibandingkan dengan makam Dewi Sekardadu di Sidoarjo.

Jika Anda akan berkunjung ke makam Dewi Sekardadu ini, jangan lupa untuk mendatangi dulu juru kuncinya, Pak Yasak. Apalagi jika Anda ingin melihat makamnya secara langsung, hukum bertemu Pak Yasak malah wajib. Bukan apa-apa, tapi makamnya itu dikunci. Lah, Pak Yasak yang pegang kuncinya.

Konon, Dewi Sekardadu dikuburkan bersama dengan gamelannya, dua piring guritan, dan sebuah tombak. Ini merupakan salah satu wasiatnya sebelum meninggal. Wasiat lainnya, ia meminta bagi siapa saja yang ingin berbalas budi terhadap dirinya, cukup menyiratkan tanah di atas makamnya. Jika Anda ingin melakukannya, silahkan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun