Mohon tunggu...
Maimun Ridwan Mukaris
Maimun Ridwan Mukaris Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pernah beberapa kali bekerja sebagai HRD dan GA Manager di beberapa perusahaan, menjadi anggota Dewan Pengupahan dan Pengurus APINDO. Sekarang aktif sebagai Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation. e-mail : maimunaster@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money featured Pilihan

Dilema Upah Buruh

27 November 2019   11:25 Diperbarui: 27 Desember 2019   11:19 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teatrikal buruh dengan memakai kostum pocong menolak kenaikan premi BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen di depan Kantor DPRD Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/11/2019) KOMPAS.com/Labib Zamani

Bagi pekerja/buruh, upah adalah sumber penghasilan untuk mengidupi diri dan keluarga. Semakin banyak upah diterima maka akan semakin meningkat tingkat kesejehateraan mereka.

Apalagi bila upah tersebut adalah satu-satunya sumber penghasilan maka tidak ada solusi lain untuk meningkatkan kesejahteraan selain menuntut kenaikan upah dan berhemat. Selain berfungsi ekonomi, upah juga berfungsi sosial, upah akan menunjukkan eksistensi pekerja/buruh dihadapan teman dan masyarakat.

Demikian juga bagi serikat pekerja/serikat buruh, upah pekerja/buruh merupakan sumber dana utama untuk menjalankan roda organisasi. Keuangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh didasarkan pada iuran keanggotaan yang dipotong langsung dari upah dengan prosentase tertentu sesuai AD/ART.

Mekanisme iuran dengan cara memotong upah (atau Check Off System) telah diatur dalam Kepmenakertrans No. KEP.187/MEN IX/20014. Dengan demikian adalah hal yang bisa dimengerti jika para aktivis perburuhan, bersuara lebih lantang dalam menuntut kenaikan upah minimum karena semakin tinggi upah minimum  ditetapkan akan semakin besar pula iuran keanggotaan didapatkan dari pekerja/buruh yang menjadi anggotanya.

Pada sisi lain, upah bagi pengusaha adalah beban perusahaan. Semakin besar upah dikeluarkan akan semakin berat beban perusahaan. Untuk perusahaan padat karya seperti garment, alas kaki, rokok, mini market dan lainnya kenaikan upah walaupun sedikit akan sangat terasa membebani perusahaan. 

Hal ini karena selain jumlah karyawan yang biasanya banyak (ribuan), juga disebabkan karena upah pekerja/buruh prosentasenya cukup tinggi bisa mencapai hingga 20% (dua puluh persen) atau lebih dari faktor produksi. 

Berbeda halnya bagi perusahaan padat modal yang beban upahnya hanya sekitar 2% hingga 3% dari faktor produksi, kenaikan upah yang mencapai diatas 10% masih belum berdampak secara significant bagi beban perusahaan. 

Oleh karena itu adalah wajar bagi perusahaan padat karya bila memutuskan untuk menutup usaha atau merelokasi usaha ke daerah yang tingkat upah minimumnya lebih rendah apabila upah minimum di daerah tempat berusaha sekarang dirasa sudah tidak terjangkau lagi.  

Pemerintah selaku pengelola negara, memandang upah bukan hanya sebagai hak buruh semata atas pekerjaan yang telah dilakukannya tetapi juga melihat bahwa upah adalah sebagai salah satu sarana untuk memutar roda perekonomian nasional.

Upah buruh tidak hanya dimanfaatkan untuk menafkahi diri dan keluarga serta mendidik anak-anaknya tetapi juga digunakan untuk membeli barang dan jasa hasil produksi pengusaha.

Apabila upah buruh atau pendapatan masyarakat berada di bawah kemampuan untuk hidup layak, maka tidak ada kemampuan bagi buruh atau masyarakat untuk membeli barang dan jasa hasil produksi pengusaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun