sebenarnya telah cukup memberikan dasar bagi majelis hakim untuk tidak menolak tuntuan upah proses dengan alasan tidak adanya surat skorsing. Permenaker tersebut walaupun ditetapkan sebelum lahirnya Paket tiga (3) Undang-undang baru di bidang ketenagakerjaan di era reformasi, masih tetap berlaku sepanjang belum ada aturan baru yang mencabut atau mengatur hal yang sama. Semua peraturan dianggap masih berlaku sepanjang belum diatur atau belum dicabut oleh peraturan baru atau sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan baru yang ditetapkan kemudian. Hal ini sudah merupakan hal yang lumrah dalam dunia hukum karena merupakan azas yang berlaku umum.
Sebelumnya Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah mengabulkan tuntutan upah proses sebanyak 30 X upah per bulan dan 36 X upah per bulan dalam Putusan Nomor 167/PHI.G/2011/PN.JKT.PST. Putusan serupa juga pernah dilakukan oleh Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Medan dalam Perkara Nomor 145/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn. yang mengabulkan diberikannya upah proses kepada pekerja/buruh atas dilakukannya PHK sepihak oleh pengusaha.
Pengadilan Negeri Jayapura dalam Putusan Nomor 13/G/2009/PHI.JPR pada tanggal 15 Maret 2010, memutuskan bahwa PHK sepihak yang dilakukan pengusaha tidak sah serta memerintahkan kembali pengusaha selaku Tergugat untuk mempekerjakan kembali pekerja/buruh selaku penggugat serta memberikan hak-hak penggugat berupa upah proses per bulan terhitung sejak bulan Januari 2009 hingga adanya putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung pada pada Putusan tingkat kasasi Nomor : 582K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 September 2010 Â menolak permohonan kasasi pengusaha/tergugat dan tetap memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja/buruh selaku penggugat dan membayar upah proses sebagaimana diputuskan oleh Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Jayapura tersebut hingga adanya putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap. Mengingat pengusaha tidak segera melaksanakan putusan tersebut maka kemudian dieksekusi oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jayapura pada tanggal 21 Mei 2012 sehingga upah proses yang dibayar pada eksekusi tersebut membengkak menjadi sebesar 39 bulan upah terhitung sejak upah bulan Januari 2009 hingga April 2012.
Pada kasus lain, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tingkat kasasi Nomor : 241K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016 telah menganulir atau mengubah upah proses yang telah diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor : 129/Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Mdn yang memberikan upah proses dari 12 (dua belas) bulan menjadi 6 (enam) bulan dengan pertimbangan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 paling lama hanya 6 (enam) bulan. Pertimbangan ini menurut hemat penulis sangatlah tidak tepat mengingat :
- UU No. 2 tahun 2004 tidak memberikan batas waktu penyelesaian maksimal selama 6 (enam) bulan tetapi 140 hari kerja yang tentu pasti lebih dari 6 bulan kalender apalagi bila banyak libur nasionalnya dalam periode penyelesaian tersebut;
- Dalam prakteknya proses beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI) hingga tingkat kasasi selalu lebih dari setahun dan yang paling lama adalah proses di tingkat kasasi yang selalu memerlukan waktu sekitar setahun. Padahal sesuai ketentuan pasal 115 UU No. 2 tahun 2004 tersebut, MA harus memberikan putusan di tingkat kasasi paling lambat 30 hari kerja sejak menerima permohonan kasasi.
- Pekerja/Buruh yang menjalani proses PHK hingga tingkat kasasi selama lebih dari satu tahun tersebut, harus tetap memberikan nafkah pada keluarga dan membiayai pendidikan  anak-anaknya sehingga jika pekerjaan tersebut adalah satu-satunya sumber nafkah keluarga maka selama itu pula keluarga tidak dapat dinafkahi
Hendaknya MA tidak menjadikan pertimbangan tersebut secara tetap dalam kasus berikutnya karena upah adalah hak buruh yang penuntutannya tidak mengenal daluwarsa sebagaimana putusan  Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012. Akan lebih bijak jika yang dilakukan oleh MA adalah membenahi proses beracara PHI agar sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang yaitu selama 140 hari kalender sehingga tercipta kepastian hukum dalam proses beracara PHI dan tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu bagi para pencari keadilan.     Â
Majelis Hakim yang tidak memberikan putusan upah proses berarti telah tidak memberikan kepastian kelangsungan penghasilan kepada pekerja/buruh untuk menafkahi keluarganya sehingga bisa dikatagorikan juga telah melanggar hak konstitusional pekerja dan keluarganya, sebagaimana diatur pasal 28D Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Bagi perusahaan/pengusaha harus pula hati-hati dalam mengambil keputusan di bidang ketenagakerjaan agar tidak menimbulkan kerugian yang sebenarnya bisa dihindari bila mengerti dan memahami peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan yang berlaku. Pemimpin perusahaan (Direktur) dituntut harus bisa memahami secara komprehensif peraturan yang ada, bila tidak faham maka harus mempunyai staff yang mempunyai kapasitas yang mencukupi dalam pengelolaan sumber daya manusia di perusahaan agar bisa memberikan masukan-masukan yang benar sebelum memutuskan sehingga tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu di kelak kemudian hari.
It doesn't make sense to hire smart people and tell them what to do, we hire smart people so they can tell us what to do.
Adalah suatu ketololan bila kita mempekerjakan orang pandai kemudian menyuruhnya untuk melakukan apa-apa yang harus dikerjakannya, kita mempekerjakan orang pandai adalah agar mereka memberi masukkan apa-apa yang harus kita kerjakan. (Alm. Steve Jobs).
#upah proses