Mohon tunggu...
Maimanah 567
Maimanah 567 Mohon Tunggu... Lainnya - STAI AL-ANWAR

هذا سيمر

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Wisata Alam, antara "Maslahah" dan Masalah

7 Juli 2024   00:51 Diperbarui: 9 Juli 2024   12:02 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: wisata alam Curug Cikuluwung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (DOK. Shutterstock via kompas.com) 

Mendaki gunung merupakan salah satu rekreasi yang akhir-akhir ini sangat popular di kalangan Masyarakat, terutama di kalangan muda mudi. 

Jika dulu aktifitas mendaki gunung identik dilakukan oleh para pencinta alam, sebagai ekspresi atas kecintaanya tehadap alam atau tujuan-tujuan lain, seperti eksplorasi atau pemetaan atas gunung, maka sekarang tujuan wisata/rekreasi lebih menonjol. 

Ditambah lagi munculnya beragam media sosial, seperti youtube, facebook, Instagram, dan sebagainya, menjadikan tren pendakian gunung semakin marak. 

Bahkan terkadang alasan pendakian gunung hanya dilakukan untuk sekedar membuat dokumentasi agar bisa dipamerkan di media social, baik dalam bentuk foto-foto maupun video.

Pada dasarnya sah-sah saja dan tidak ada salahnya membuat foto, vlog, atau lainnya dan menggunggah sebagai konten di media social dengan tujuan edukasi ataupun promosi pariwisata, bahkan bisa menjadi salah satu cara untuk mengimbangi konten-konten negative yang luar biasa banyak. 

Kegiatan dokumentasi dengan tujuan promosi tersebut juga bisa memberikan banyak "maslahah" untuk Masyarakat di sekitar pegunungan. 

Asumsinya, bahwa semakin banyak konten positif terhadap suatu tempat wisata (gunung) maka akan semakin banyak pengunjung, dan tentu saja akan semakin banyak meningkatkan ekonomi warga sekitar.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa aktifitas wisata gunung yang tidak terkendali juga akan membawa masalah tersendiri, terutama masalah lingkungan. Jika kita baca kanal-kanal berita, maka kita akan mendapati banyak sekali aktifitas pendakian yang meninggalkan jejak sampah yang luar biasa. 

Sedangkan di Gunung Rinjani, misalnya, menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB, Firmansyah, diperkirakan ada potensi 100 ton sampah per tahun dari aktifitas pendakian (Sumber: rri.co.id). 

Bahkan, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) harus mengambil langkah tegas dengan menutup aktivitas wisata di Gunung Bromo pada tanggal 25-26 April 2024 akibat masalah pelestarian lingkungan (Sumber: harianmerahputih.id).

Masalah sampah dan pelestarian lingkungan tersebut harus menjadi perhatian kita semua, masalah seperti ini tidak akan selesai jika semua elemen, baik pengelola wisata gunung maupun pengunjung/pendaki. 

Semua pihak harus membangun kesadaran untuk mengurangi pemakaian barang-barang yang meninggalkan sampah. Sampah yang ditinggalkan di gunung atau tempat wisata alam memiliki dampak negative yang tidak bisa diremehkan.

Sampah plastik/bekas botol yang tidak terurai akan mencemari tanah dan air sehingga mengganggu kehidupan ekosistem, terutama mikro organisme dan biota air. 

Itu tentu saja bisa menyebabkan erosi tanah dan dapat mengancam wilayah sekitar gunung, jika erosi tersebut menimbulkan dampak banjir. 

Sampah-sampah organik yang membusuk juga dapat menghasilkan gas metana yang berpengaruh terhadap perubahan iklim secara global. 

Polusi udara ini juga dapat mengancam Kesehatan manusia dan hewan di sekitarnya.Problem-problem terkait masalah sampah dan lingkungan di wisata gunung tidak dapat diselesaikan hanya oleh salah satu elemen masyarakat. 

Kesadaran individu-individu yang melakukan aktifitas pendakian harus penting untuk ditumbuhkan. Kesadaran bahwa gunung merupakan tempat tinggal makhluk hidup yang memiliki hak yang sama dengan manusia yang harus dilindungi dan dihormati. 

Kesadaran seperti ini bisa dilakukan melalui edukasi keagamaan. Dalam Islam, misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Qur`an, menyatakan bahwa Binatang-binatang, baik yang melata maupun yang berterbangan di langit, semuanya adalah "umat-umat" seperti manusia (QS. Al-An'am, ayat 38).

Selain kesadaran individu para pendaki, pihak pengelola juga perlu menegakkan hukum yang konsisten dan tidak pandang bulu. 

Para pengelola wisata alam harus membuat regulasi-regulasi yang dapat mencegah dan meminimalisir tindakan perusakan atau kegiatan yang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Meskipun sebenarnya regulasi-regulasi tersebut sudah  ada, namun penegakkan hukuman/sanksi terhadap para pelanggar masih sanagat minim.

Terakhir, perlu adanya pengembangan ekowisata yang meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan. Pengembangan ekowisata dapat membantu meningkatkan nilai ekonomi dan edukasi serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam. 

Pengembangan ekowisata juga dapat membantu mengurangi ancaman terhadap alam sekaligus memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat. 

Maka, dengan adanya ekowisata ini, kegiatan wisata alam tidak sekedar mengeksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi, namun justru akan meningkatkan kelestarian alam. 

Dengan demikian, anugerah alam yang telah diberikan oleh Tuhan kepada bangsa ini (Indonesia) benar-benar memberikan "maslahah", bukan malah menambah "masalah" kepada rakyatnya.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun