Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kode Keras Saat Imlek (Bagian 2)

2 Februari 2023   10:49 Diperbarui: 2 Februari 2023   10:55 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Pexels-sang-tran

"Papa sendiri yang mengatakannya. Aku juga sempat mempertanyakan keputusan mereka yang tiba-tiba. Menurutku agak aneh karena masalah ini nggak pernah dibicarakan sebelumnya." Chen melirik adiknya yang terduduk di pinggir sofa.

"Kata Papa, sebenarnya rencana ini sudah lama. Dulu sewaktu mama mengantarmu sekolah, ia selalu bertemu dengan Mama Liam. Mereka menjodoh-jodohkan kalian," lanjut Chen, ikut duduk di sebelah Wei Yin.

"Lalu keluarga Liam pindah karena toko mereka di Glodok habis dijarah massa pada saat kerusuhan. Rumah mereka turut dirusak warga. Om Piter bangkrut. Mereka melarikan diri ke Palembang. Kebetulan ada saudara mereka di sana. Setelah itu, Papa kehilangan kontak. Apalagi saat itu Papa berkonsentrasi untuk menyelamatkan usaha kita yang terimbas krisis moneter."

"Aku belum pernah lagi bertemu dengan Liam," gumam Wei Yin lirih. Di benaknya muncul bayangan samar-samar seorang bocah laki-laki gempal dengan mata cerdik dan pipi tembam. Dulu mereka sering diantar dan dijemput bersamaan. Keluarga mereka sering bersilaturahmi. Pernah beberapa kali keluarga mereka bertamasya ke pulau seribu. Kadang berlibur ke Ancol dan Kebun Binatang Ragunan.

Sebenarnya Liam baik. Ia menghibur saat Barbie miliknya jatuh ke got dan membelanya dari keisengan teman laki-laki di sekolah. Namun, kejahilan Liam yang paling diingatnya. Memang menyebalkan.

"Aku yakin Papa dan Mama nggak akan sembarangan memilihkan suami untuk putri kesayangannya."

Wei Yin merengut. "Ko Chen gampang aja ngomong. Mentang-mentang sudah married!"

Chen tersenyum lembut. "Kamu berusia tiga puluh satu tahun sebentar lagi. Mama cemas karena sampai sekarang belum ada lelaki yang kamu perkenalkan sebagai calon suami."

Gadis manis di sebelahnya menarik napas dalam. Beberapa tahun lalu, ia pernah menjalin hubungan serius dengan seorang pria, teman sekantornya. Mereka bahkan dijuluki sebagai pasangan sempurna oleh teman-temannya. Kisah asmara yang sempat berjalan dua tahun itu kandas saat ia memergoki Alan, pacarnya berselingkuh dengan seorang pria. Membuatnya syok dan trauma. 

Ia berhari-hari menghindari Alan. Akhirnya ia mengirimkan email pengunduran diri. Lalu memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan interior milik ayahnya. Saat itu Chen masih bekerja sebagai arsitek di perusahaan Megantara, yang bergerak di bidang konstruksi.

Tahun lalu saat Papa terkena stroke ringan, Chen mengundurkan diri dan mengambil alih tanggung jawab Papa. Sekarang, meski Papa sudah sehat, Chen masih setia mendampingi. Ia memang putra yang berbakti. Membuat Wei terbeban untuk turut berbakti. Namun, apakah menikah karena perjodohan adalah wujud bakti?

***

Liam Hartawan Soe berdiri di depan cermin. Ia beserta orangtuanya baru saja tiba di Jakarta. Dari bandara mereka naik taksi online menuju hotel yang sudah dipesannya. Dengan rasa enggan, ia berganti pakaian. Ditanggalkannya kaus polo dan celana jins berganti dengan kemeja berwarna merah. Papa sudah mewanti-wanti agar mereka segera ke rumah Om Wirawan Tan. Mereka akan meminang Wei Yin untuknya.

Ia menghela napas panjang. Sudah hampir tiga bulan masalah pertunangan ini didengungkan Papa dan Mama. Dirinya sudah berulangkali menolak. Bagaimana mungkin di zaman serba modern ini masih ada perjodohan? Sungguh tak masuk akal.
Lagi pula ia sudah bertahun-tahun tidak bertemu Wei Yin. Apakah ia masih imut dan menggemaskan seperti dahulu? Ingatannya kembali pada pada gadis kecil berkepang dua yang kemana-mana selalu membawa boneka barbie. Anak itu cengeng dan penakut. Sangat gampang membuatnya menangis. Tangannya selalu gatal ingin menarik kepangnya.

Kata Papa, Wei Yin sekarang sangat cantik. Entah kapan pria tua itu bertemu dengannya. Papa memberikan nomor telepon gadis itu dan menyuruhnya untuk menghubungi. Namun, sampai sekarang ia tak juga melakukan. Diam-diam ia takut ditolak.
Terdengar ketukan ringan di pintu kamar. Ia menoleh. Papa berjalan masuk. Di belakangnya Mama tampak cantik dengan pakaian cheongsam sutra merah bergambar merak.

"Ayo, Liam. Jangan berlama-lama lagi. Keluarga Wirawan sudah menunggu kedatangan kita." Mama mendesak seperti biasa. Papa tidak berkomentar. Ia hanya melayangkan pandangan ke seputar kamar dan pada laptop yang terbuka di atas tempat tidur. Tadi ia menyempatkan diri untuk mengecek pasar.

"Apakah masih bisa mundur, Ma?" gumamnya enggan.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun