***
Liam Hartawan Soe berdiri di depan cermin. Ia beserta orangtuanya baru saja tiba di Jakarta. Dari bandara mereka naik taksi online menuju hotel yang sudah dipesannya. Dengan rasa enggan, ia berganti pakaian. Ditanggalkannya kaus polo dan celana jins berganti dengan kemeja berwarna merah. Papa sudah mewanti-wanti agar mereka segera ke rumah Om Wirawan Tan. Mereka akan meminang Wei Yin untuknya.
Ia menghela napas panjang. Sudah hampir tiga bulan masalah pertunangan ini didengungkan Papa dan Mama. Dirinya sudah berulangkali menolak. Bagaimana mungkin di zaman serba modern ini masih ada perjodohan? Sungguh tak masuk akal.
Lagi pula ia sudah bertahun-tahun tidak bertemu Wei Yin. Apakah ia masih imut dan menggemaskan seperti dahulu? Ingatannya kembali pada pada gadis kecil berkepang dua yang kemana-mana selalu membawa boneka barbie. Anak itu cengeng dan penakut. Sangat gampang membuatnya menangis. Tangannya selalu gatal ingin menarik kepangnya.
Kata Papa, Wei Yin sekarang sangat cantik. Entah kapan pria tua itu bertemu dengannya. Papa memberikan nomor telepon gadis itu dan menyuruhnya untuk menghubungi. Namun, sampai sekarang ia tak juga melakukan. Diam-diam ia takut ditolak.
Terdengar ketukan ringan di pintu kamar. Ia menoleh. Papa berjalan masuk. Di belakangnya Mama tampak cantik dengan pakaian cheongsam sutra merah bergambar merak.
"Ayo, Liam. Jangan berlama-lama lagi. Keluarga Wirawan sudah menunggu kedatangan kita." Mama mendesak seperti biasa. Papa tidak berkomentar. Ia hanya melayangkan pandangan ke seputar kamar dan pada laptop yang terbuka di atas tempat tidur. Tadi ia menyempatkan diri untuk mengecek pasar.
"Apakah masih bisa mundur, Ma?" gumamnya enggan.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H