"Wei Yin!" Chen berteriak gusar melihat adiknya yang diam mematung di karpet. Gadis itu tampak melamun menekuri jemari kakinya.
"Wei, kamu dengar nggak, sih? Aku sudah capek, tau!" serunya lagi lebih keras.
Gadis itu terkejut. "Oh-eh. Apa, Ko?" Ia menengadah menatap pada pria di ujung tangga.
"Gorden itu ulurkan kemari!"
"Oh, iya. Tunggu, Ko." Wei Yin meraup gorden warna merah hati bergaris keemasan dari tumpukan di sofa dan membawanya ke atas tangga. "Ini, Ko."
"Hm." Chen Hwa meraih ujung gorden dan memasukkannya satu-persatu ke tiang berulir keemasan. Gorden model smoke ring dengan poni indah. "Kamu melamunkan apa tadi?" ujarnya.
Wei Yin menunduk tak menyahut. Ia duduk di kaki tangga.
"Kamu masih memikirkan rencana pertunangan itu?"
"Bagaimana Koko bisa tahu?" gadis berambut lurus sebahu itu mengangkat kepala. Ia menatap abangnya yang cekatan melakukan pekerjaan dadakan ini. Biasanya ada tukang-tukang mereka yang melakukan tugas lapangan seperti ini. Namun, Alpian, Tomi, Hans dan Jondis juga sedang memasang pernak-pernik di rumah pelanggan lain. Menjelang tahun baru memang banyak pesanan interior dan gorden. Barangkali karena status waspada Covid-19 yang sudah diturunkan sehingga tahun baru kali ini dirayakan lebih semarak.
Chen merapikan pinggiran kain lalu menatap puas. Ia mengantongi obeng dan perlahan turun.