"Bu Ayu, tolong ayam-ayamnya dijagain. Sering buang air besar di teras kami," kata Teguh pada tetangganya yang cantik.
"Namanya juga ayam, Pak. Suka-suka dia, lah," sahut Ayu santai. Tangannya sibuk mengguntingi daun-daun aglonema yang menguning.
"Makanya diurus, dong, Bu. Jangan dibiarkan seenaknya saja," balas Teguh sewot.
"Lah, kan, sudah saya urus. Setiap hari dikasih makan," sahut Ayu lagi.
"Maksud saya dikandangi ayamnya, Bu."
"Repot, Pak. Siapa yang membersihkan kandangnya? Saya kerja, Dena sekolah."
"Kalau gitu, nggak usah pelihara ayam!" sergah Teguh kesal.
"Loh, kok, malah nyolot? Ayam, ayam saya, kenapa situ yang repot?" Ayu meletakkan guntingnya dan membelalak marah.
"Saya cuma mengingatkan, Bu," tukas Teguh mengangkat bahu. "Jangan salahkan saya kalau ayam ibu nggak selamat."
Ayu mengangkat alis, menantang. "Bapak mengancam saya?"
Teguh balas melotot. Ia memajukan kepalanya melintasi pagar daun mangkokan yang membatasi tanah mereka. "Saya tidak mengancam siapa-siapa. Hanya saja bila ada apa-apa dengan ayam Ibu, jangan katakan saya tidak memperingatkan." Ia melempar tatapan sinis dan berbalik.