"Harusnya kita main bola di lapangan balai desa saja tadi. Enggak terlalu jauh, kok," kata Timo sambil berjalan.
"Iya," ujar Farid setuju. "Kalau di sana, mungkin aku nggak akan kena apes begini."
"Ah, sudahlah, Far, yang penting kita nggak dilaporin," sahut Joko berusaha menghibur.
Malik mengangguk. "Untungnya bapak itu baik. Aku sempat takut tadi melihat kumisnya. Kukira dia orang jahat."
Timo tertawa kecil. "Apalagi aku, Mal. Aku takut bolaku nggak dipulanginnya. Bisa dimarahi ayah, bola ini baru dibeli."
"Kukira kita mau dibawa ke kantor polisi tadi," ujar Kevin menambahi.
"Makanya kata bu guru, kita nggak boleh menilai orang dari penampilan saja. Buktinya Pak Kumis itu baik. Kita cuma disuruh nyabut rumput di rumahnya," kata Yono bijaksana.
"Ah, kamu takut juga tadi, kan, Yon," ledek Akbar menyikut lengan temannya.
"Iya juga, sih. Aku hampir terkencing-kencing tadi. Ha...ha...ha...." Yono tertawa geli.
"Besok kita kumpul di sini saja dulu. Kita pergi bersama-sama ke rumah Pak Kumis. Bagaimana?" tanya Malik sambil duduk di kursi rotan. Mereka sudah tiba di teras rumahnya yang luas.
Farid mengangguk. "Oke. Jam berapa?"
"Bagaimana kalau setelah pulang sekolah," usul Yono, "lebih cepat lebih baik."