"Biarin saja, Pa. Hari panas terik begini, lagipula kita cuma sebentar," ujarku malas bergerak.
Mas Pur mengangkat bahu dan masuk ke belakang kemudi. Ia menyalakan mobil.
"Nanti kalau tiba-tiba hujan, repot, Ma. Jemurannya banyak, pakaian kerja kita juga ada."
"Enggak akan hujan, Pa. Hari Minggu, kan, banyak pawang hujan yang beraksi," sahutku tak sabar, "ayolah, teman-teman Mama sudah pada sampai. Nggak enak kalau kita belakangan."
Mas Pur menoleh dan menatapku sekilas, lalu mengoper gigi dan menekan pedal gas.
Kami tiba di gedung resepsi satu jam kemudian. Di luar dugaan, jalanan sangat macet karena ada kecelakaan. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh lima belas menit itu menjadi lebih lama karena mengendarai mobil. Aku mengomel kesal.
"Sabar, Ma," begitu suamiku menghibur dengan pandangan tetap berkonsentrasi ke jalan raya.
Teman-temanku sebagian sudah pulang, karena ada yang masih harus ke resepsi lain dan ada yang buru-buru pulang untuk menghindari hujan. Entah kenapa, langit menjadi mendung saat kami tiba di gedung. Aku dan Mas Pur langsung menuju ke meja makan prasmanan. Setelah itu, kami menyalami sang pengantin, yang kebetulan adalah anak teman kerjaku.
"Terima kasih, Heni, sudah datang," kata temanku itu ketika berjabat tangan. Aku mengangguk dan tersenyum.
"Selamat ya, Nia, semoga langgeng sampai anak cucu," ujarku pada sang pengantin yang tampak berseri-seri.
Saat kami keluar gedung, hujan turun sangat deras. Bagaikan air tumpah dari langit. Para penerima tamu berlari kelabakan menggeser meja dan kotak amplop.
"Bagaimana ini, Ma? Hujan lebat, mobil kita parkirnya agak jauh pula," keluh Mas Pur menatapku.
"Kita sewa ojek payung saja, Pa," ucapku menunjuk beberapa bocah yang entah muncul dari mana sambil menenteng payung. Mas Pur memanggil anak-anak itu dan meminta sebuah payung yang besar. Suamiku ini memang cepat tanggap, aku sangat menyayanginya.