"Ayo, Pa. Kita sudah kesiangan," ujarku sambil meraih sandal berwarna emas dari rak sepatu.Mas Pur yang sedang menutup jendela ruang tamu menoleh pada jam di dinding.
"Masih jam setengah dua, Ma. Resepsi di gedung biasanya sampai jam empat sore. Masih lama," sahutnya.
"Iya, tapi Mama sudah janji dengan teman-teman kantor untuk datang barengan. Lagi pula Mama sudah lapar," jawabku lagi.
"Kenapa nggak makan saja dulu? Ntar di jalan macet, loh," ujar suamiku itu.
Aku menggeleng. "Tanggung, ntar kekenyangan. Kan, gedungnya enggak jauh. Cuma beberapa kilometer."
Mas Pur memasang gerendel pada pintu ruang tamu dan mengambil kunci dari gantungan di atas mesin cuci. "Kita pakai motor saja ya, biar lebih cepat?"
Aku menggeleng. "Jangan dong, Pa! Di luar panas banget, ntar bedak Mama bisa luntur! Lagi pula Mama pakai gaun, repot naik di belakang jok motor," ujarku merajuk.
"Ya, sudah. Mama keluar dulu ya, biar Papa mengunci pintu garasi," jawabnya sambil meraih kunci mobil keluarga.
Suamiku memang tidak banyak berbicara, ia tidak suka berdebat. Ia seringkali mengalah padaku yang kadang kolokan. Mungkin karena perbedaan usia kami cukup jauh.
Aku meraih tas mungil yang serasi dengan sandalku lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di parkir di depan rumah. Sambil menunggu suamiku mengunci pintu, aku membuka ponsel dan berseluncur di sosial media. Ada sebuah kiriman foto dari temanku, Atika. Ternyata dia sudah sampai di tempat resepsi. Aku lalu membuka status whatsapp milik teman-teman yang lain. Waduh ternyata sudah banyak yang tiba.
"Ma, jemuran masih di luar. Kamu ambil dulu, deh," kata suamiku dari jendela mobil yang terbuka. Pandangannya tertuju pada jemuran lipat yang terbuat dari alumunium di sebelah garasi.