Angin dingin menerpa wajahnya, bau melati kembali menyeruak hebat memenuhi ruangan. Gorden-gorden tebal bergoyang-goyang seolah diterpa angin kencang. Joni bergidik. Lampu kamar tiba-tiba padam. Kesunyian mencekam menusuk ke sumsum tulang. Ia berbalik, berjalan meraba-raba dan membuka pintu balkon. Cahaya pucat bulan purnama seketika menyusup menghalau kegelapan kamar.
"Joni ... aku datang menjemputmu ...."
Pria itu membeku. Tubuhnya menegang mendengar suara lembut Susan menyapu telinganya. Suhu di ruangan itu terasa begitu dingin, tetapi keringat mengucur di dahinya. Matanya belingsatan mencari dalam keremangan. "Siapa itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Aku ... Susan, kekasihmu."
Suara halus bagai embusan napas itu membuat Joni terperanjat. Bulu kuduknya seketika meremang. "Bagaimana mungkin. Susan sudah mati! Aku melihatnya sendiri!" desisnya ketakutan.
Tak ada sahutan. Joni berlari menuju tempat tidur. Ia hendak menelepon pihak hotel atas gangguan ini. Diraihnya gagang telepon dan mendekatkan ke telinga. Namun, tidak terdengar nada sambung. Ia teringat dengan Jiliana di kamar mandi, bergegas diketuknya pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan, diraihnya gagang pintu, ternyata terkunci dari dalam. Digedor-gedornya pintu itu, tetap tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi.
Bersambung.