"Shh, ini keajaiban," hibur Papa.
"Berapa lama aku mati, Pa?" tanyaku bingung.
"Sekitar delapan jam, Sayang," ujar papa mengusap pipiku. "Tak usah dipikirkan, Nak."
Pelayat yang tadinya ramai berkerumun sudah berkurang karena dibubarkan Om Kevin. Sebagian masih tetap duduk di kursi yang disusun berderet di depan peti jenazah. Aku tiba-tiba teringat dengan Finn. Apakah dia nyata? Atau hanya imajinasiku? Aku menangis, aku patah hati dengan makhluk khayalan. Aku terisak sedih.
Mama menghibur dengan memijat kaki dan tanganku. "Sudah, Sayang. Semua akan baik-baik saja," bujuknya lembut.
Aku menggeleng. 'Mama tidak mengerti!' jeritku dalam hati.
Papa menepuk tanganku. "Setelah kamu kuat, kita bisa segera pulang, Sayang," bujuknya sambil menyandarkan punggungku di dadanya.
Aku mengangguk lemah dan menatap ke sekeliling ruangan putih yang luas itu. Lagu-lagu  penghiburan telah berhenti. Tampak beberapa karangan bunga yang didominasi mawar putih. Dengungan suara tamu yang saling berbicara dalam nada rendah mengisi kesunyian. Aku menghela napas panjang dan menatap ke deretan tamu.
Pandanganku tertumbuk pada seorang pria yang duduk di antara pelayat. Ia tampak mengamati fotoku di depan peti. Posturnya tinggi besar memakai kemeja putih. Wajahnya persegi dengan rahang yang kokoh. Rambut ikalnya dipangkas pendek. Aku menatap tak berkedip, sesuatu padanya mengingatkanku pada seseorang. Aku mengernyit. Apakah dia ...? Mungkin, kah?
Tiba-tiba pria itu menoleh dan tersenyum padaku. Ia mengedipkan kedua matanya.Â
Aku terkesiap nyaris tak percaya. Bola mata itu berpendar merah!