Semakin dekat ke puri, hawa dingin berkurang. Tampak dua penjaga berbaju zirah berkilau menghadangku. Mereka menatap jubah hitamku sekilas. "Namamu tidak ada dalam daftar," kata penjaga sebelah kanan.
"Ya, tapi aku sudah berada di sini sekarang," jawabku menguatkan diri. "Aku ingin bertemu Tuan Hakim."
Penjaga sebelah kiri menggeleng. "Seharusnya kau kembali ke dunia. Waktumu belum tiba."
"Dia menyingkap tudungku dan melihat wajahku. Dia tidak bisa pulang tanpa restu Tuan Hakim," ujar Finn tersengal-sengal dari atas kuda, sepertinya berbicara menguras banyak tenaga. Kugenggam tangannya, sinar matanya kian meredup.
"Tolonglah, Tuan. Aku harus bertemu Tuan Hakim," desakku tak sabar. Aku sungguh takut Finn akan menghilang dan tak tertolong. Pria itu sudah semakin lemah.
Penjaga itu saling pandang. Lalu salah satu mengangguk. "Sepertinya Finn sudah banyak mengorbankan jiwanya untuk menolongmu," ujarnya sambil membuka gerbang tinggi. Temannya menahan tali kekang kuda Finn.
"Tidak, aku harus pergi bersamanya!" seruku merampas tali itu dari tangan penjaga.
"Dia tidak boleh pergi dengan kuda," jawab sang penjaga.
"Aku akan memapahnya," jawabku tegas berusaha menurunkan Finn dari punggung kuda.
Setelah beberapa saat, kedua penjaga itu membantuku. Aku berjalan tertatih-tatih memapah Finn. Tubuhnya yang tinggi besar bersandar padaku. Pria itu tidak terlalu berat, karena hanya rangka tengkorak tanpa otot dan lemak.
Kami tiba di sebuah ruangan putih yang luas, awan seputih kapas melapisi permukaan lantainya. Tampak sosok yang diliputi cahaya putih menyilaukan duduk di atas singgasana yang berkilauan. Aku menunduk tak sanggup memandangnya.