"Kau lebih membutuhkan. Pakailah," katanya sambil berjalan menghampiri kakiku. Dipasangkannya ke telapak kakiku yang melepuh. Sandal itu kebesaran, tetapi terasa empuk.
"Ayo, kita harus terus bergerak. Waktu kita pendek." Finn meraih tanganku dan menggiring kudanya.
Kami berjalan beberapa kilometer lalu Finn mulai kepayahan. Ia beberapa kali tersandung. Aku mencengkram lengannya untuk menahannya tetap di sisiku.
"Apakah kau mau beristirahat sebentar?" tawarku.
Finn menggeleng. "Kita harus tetap berjalan," tegasnya.
"Kau sudah lelah. Apakah kau ingin minum?" bujukku lagi.
"Tidak usah, Zoya, aku tidak lelah!"
"Kau sudah hampir tumbang tadi, Finn!" balasku berteriak.
Pria itu berhenti dan menatapku lama. "Ini bukan lelah. Kekuatanku berkurang karena berbuat kebaikan. Dalam pekerjaanku tidak boleh ada kebajikan, semua dilakukan dengan kejam. Aku seharusnya memasukkan jiwamu ke dalam karung dan menyeretnya di belakang kuda. Aku tidak boleh berbicara apalagi berteman dengan jiwa yang kutangkap. Belas kasihan adalah kelemahan. Aku belum pernah begini sebelumnya. Kurasa, kau adalah kelemahanku, Zoya."
Aku menatapnya dengan perasaan yang berkecamuk. "Kalau begitu, berhentilah berbuat baik padaku, Fin. Aku tak ingin kau mati," bisikku tersekat.
Pria itu menggeleng. "Aku tak bisa, Zoya. Aku terpesona sejak melihatmu di gurun itu. Mungkin ini takdirku. Biarlah aku menanggung kelemahanku ini."