"Kau sudah melihat wajahku. Sekarang, aku tidak bisa meninggalkanmu," sesal pria itu menutupkan kembali kerudungnya.Aku masih terpaku. Akan tetapi, lebih baik pergi bersama makhluk ini daripada sendirian di kegelapan. Aku menggigil.
Pria itu melepaskan lapisan terluar dari jubahnya dan menyelimuti punggungku. "Kau kedinginan. Pakailah," ujarnya dengan suara rendah bergemuruh.
Tanpa banyak komentar, kumasukkan kedua tanganku ke dalam jubah dan mengikatnya di pinggang. Kugulung beberapa kali agar tak terinjak saat melangkah.
"Ayo, cepat! Kita harus segera pergi. Perjalanan masih jauh," desak makhluk itu mendorongku. Diangkatnya tubuhku ke atas kuda, lalu ia menyusul duduk di belakangku.
Kami berkuda dalam diam. Aku tak tahu sudah berapa lama kami berjalan. Aku tertidur beberapa kali karena kelelahan. Tiba-tiba kuda melambat dan berhenti. Makhluk di belakangku meluruskan tubuh dan melompat turun. Ia menjulurkan tangan untuk membantuku turun.
"Kita istirahat sebentar," ujarnya mengikat kudanya ke sebatang pohon besar.
Aku melayangkan pandangan. Cahaya temaram yang tak tahu berasal dari mana menerangi tempat kami berhenti. Daerah ini seperti sebuah oasis dibandingkan padang pasir yang telah kami tinggalkan.
"Di mana kita sekarang?" tanyaku parau. Tenggorokanku terasa kering, seolah sudah berhari-hari tidak dilewati air.
Makhluk itu tidak segera menjawab. Ia mengeluarkan sebuah waterskin dari pelana kuda lalu minum. Aku memandangnya terbelalak, air tidak tampak membasahi jubahnya. Bagaimana tubuh berupa tengkorak itu bisa minum?
Setelah puas minum, ia memberikannya padaku. "Minumlah, kau pasti haus," ucapnya seraya duduk di atas rerumputan.
Aku hendak menggeleng menolak, tapi takut melukai perasaannya. Kuraih waterskin itu dan minum. Airnya terasa sejuk dan enak. Aku meminumnya dengan rakus.