Kau menyalakan kompor dan memanaskan sepanci air. Kau ambil satu kantong teh celup dari dalam kotaknya dan memasukkan ke dalam teko porselen berwarna pastel dengan motif bunga-bunga yang indah. Kau tambahkan tiga sendok gula pasir. Lalu kau menunggu hingga air mendidih kemudian dengan hati-hati kau menuangkannya ke dalam teko itu. Kau tambahkan beberapa bongkah batu es dan sebungkus kecil serbuk kristal.
"Bu, Kakak mau es teh manis," seru Tania dari pintu dapur. Usianya delapan tahun.
Kau mengangguk. "Sabar, Sayang," jawabmu lembut, "Dek Marni juga mau es teh?"
"Iya, Bu," jawab Marni sambil terus memainkan boneka barbie miliknya. Usianya lima tahun.
Kau mengangguk dan mengambil sebuah nampan porselen cantik dari dalam lemari piring. Kau taruh teko teh dan dua buah cangkir yang serasi. Kau tambahkan satu stoples berisi kue soes kering rasa keju, kesukaan kedua gadis kecil itu.
Kau membawanya ke ruang bermain. "Ayo, kita minum teh sore," ajakmu sambil meletakkan nampan di meja bulat yang rendah.
"Gelas, Ibu, mana?" tanya Tania penuh perhatian.
Kau menggeleng. "Ibu baru minum kopi, tadi," katamu sambil membuka stoples. "Ini, pakai kue soes biar tambah enak."
Kau menatap kakak beradik yang cantik itu. Mereka anak perempuan yang menggemaskan, berkulit putih bersih dan rambut hitam sepinggang. Kau menghela nafas dan berdiri.
"Tambah tehnya, Kak?" tanyamu.
Si sulung menggeleng. "Kakak ngantuk, Bu," katanya sambil menguap.
"Tidur saja. Ayo," ajakmu lembut dan menuntun mereka ke kamar.
Kau membaringkan mereka bersisian di atas tempat tidur lalu duduk di kursi rotan yang terletak di sebelah tempat tidur mereka. Kau usap kepala mereka bergantian. Hembusan nafas mereka perlahan mulai melambat lalu tersekat dan akhirnya berhenti.
Kau tersenyum miring. "Selamat jalan, anak-anak. Semoga papa kalian sadar akibatnya bila berselingkuh dariku," ucapmu lirih.
Kau selimuti tubuh kedua anak tirimu. Kau mengecup kening mereka dan mengambil koper yang sudah kau siapkan.
Kau berhenti sejenak untuk merapikan mainan anak-anak yang berserakan. Kau memang tidak suka dengan segala sesuatu yang berantakan. Kau ambil teko dan cangkir porselen itu. Kau cuci bersih dengan sabun yang banyak kemudian kau siram dengan cuka untuk menghilangkan sisa racun yang mungkin mengendap. Kau ambil sebuah serbet dan sambil bersenandung kecil, kau mulai mengeringkannya. Lalu kau kembalikan pada tempatnya semula.
Kau menatap ke sekeliling untuk terakhir kalinya sebelum menyeret kopermu dan melangkah pergi.
Fin.
Kotabaru, 3 Juli 2022
Catatan: Naskah ini pernah tayang di wall FB Penulis dan grup literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H