[Dita, tolong panasi motor dan mobil papa, ya. Mamamu mungkin enggak sempat.]
[Dita, bilang ke adikmu, papa nggak bisa menghadiri pertandingan sepak bola itu. Besok tolong kamu yang temani Fino ke lapangan SSB, ya]
Gadis itu mengernyit. Rasanya tidak adil, ia memiliki orangtua lengkap, tapi tak pernah punya waktu untuknya dan Fino. Mereka selalu ditinggalkan di rumah, mengurus diri sendiri. Seolah mereka dilahirkan berdua hanya untuk saling menjaga. Dita menjalani peran ganda sebagai kakak dan orangtua bayangan bagi Fino. Kadang ia merasa iri dengan teman-teman sekolahnya yang diantar dan dijemput oleh orangtua mereka. Mereka sering bercerita pergi bertamasya ke kebun binatang dengan keluarga, berenang bersama orangtua.
Dita meringis. Mama hanya sekali setahun datang ke sekolahnya pada saat pembagian rapor, sedangkan papa tidak pernah sama sekali. Ia menggeleng sedih, harta yang ada tak mampu menggantikan kehadiran mereka yang tiada.
"Kak, Fino lapar," kata adiknya dari depan televisi.
Dita menghela napas dalam. Dikembalikannya ponsel itu ke atas kulkas. "Kakak buatin makan siang, kamu ganti baju dulu, ya. Biar kita makan bersama. Setelah itu, kakak mau menjemur baju," ujarnya berusaha ceria. 'Masih banyak pekerjaan rumah yang sudah menanti,' tambahnya dalam hati.
Tamat.
Kotabaru, 29 September 2022
Catatan: Cerpen ini pernah tayang di wall FB penulis dan grup literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H