"Nggak usah, nanti malah nggak dibolehin. Kita, kan, cuma sebentar," kata Ali sambil menggenggam tangan adiknya. Layangannya sudah disampirkan ke punggung.
"Baiklah," kata Kardi mengangkat bahu. Mereka berjalan beriringan menuju tanah kosong dekat balai desa. Letaknya tidak jauh dari rumah Ali dan Kardi.
Tiba di sana, sudah banyak anak-anak. Ada yang bermain layangan, ada yang berlari-lari dan ada juga yang bermain bola kaki. Ali berjalan ke pinggir lapangan. Diberikannya boneka mainan Tifa lalu mulai menganjung layangan. Kardi ikut menaikkan layangannya.
Semakin sore, tanah lapang itu kian ramai. Layang-layang Ali dan Kardi terbang tinggi di angkasa. Beberapa anak lain datang mendekati mereka dan menonton.
"Ali, kita adu layangan, yuk!" ajak Diki yang badannya lebih besar dari Ali. Mereka satu sekolah, tetapi Diki sudah kelas enam.
"Nggak usah, lah, Bang," jawab Ali, "kami sudah mau pulang."
"Sebentar saja," kata Diki lagi.
Ali menatap Kardi sekilas. Temannya itu mengangkat bahu. "Sebentar saja nggak apa-apa, Li."
"Tapi aku harus pulang. Sekarang sudah sore, nanti dicariin ibu," tolak Ali lagi.
"Halah, bilang saja kamu takut!" ejek Diki sambil menarik ulur benang. Ia mengarahkan layangannya mendekati milik Ali.
"Siapa bilang aku takut? Layanganku pakai benang kaca. Mana mungkin kalah!" balas Ali kesal.