Mohon tunggu...
Ronny Mailindra
Ronny Mailindra Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis

Penulis thriller, fantasi, dan silat. Bekerja sebagai programmer Blog: http://mailindra.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Spammer - Bab 1

1 Juni 2012   10:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tersebab apa pun waktu tak mungkin melambat dan itu membuat jantung Aven Dogoan ingin melompat saat menyadari satu jam telah berlalu dan dari pintu ruang kerjanya menghambur suara ketukan.

Pintu kayu berwarna coklat muda itu merupakan gerbang pertahanan terakhirnya. Jika gerbang itu bergerak membuka, itu berarti dia harus menghadapi langsung si marabahaya.

Aven belum sempat berkata sepatah pun ketika dari pintu itu muncul lima orang. Untungnya ia sempat menjauhkan tangan kanannya—yang sedikit bergetar—dari meja agar terhindar dari tatapan sinar-x para tamu itu.

Rombongan itu seragam memakai rompi berwarna krem dan itu membuat Aven merasa sulit bernapas. Meski tak punya fobia warna, Aven merasa debaran di dadanya mengila. Ia seolah sedang dibawa berputar oleh rolercoster sehingga tangan kanannya bergetar lebih dahsyat, untungnya secara refleks ia berhasil memegang vibrator-daging itu dengan tangan kirinya.

Seorang pria—yang tampaknya pimpinan rombongan itu—melangkah mantap menghampiri meja Aven. Pria itu bertubuh tegap dan rambutnya yang sedikit memutih dipotong pendek rapi. Ia menyodorkan senyum yang sangat ramah namun matanya yang sipit memancarkan hawa malam berangin di gurun Gobi.

“Selamat pagi, Pak Aven,“ kata lelaki itu sambil membetulkan lipatan amplop putih yang ada di tangannya. “Saya Priatna. KPK. Kami akan memeriksa kantor ini. Ini surat perintahnya, silakan!”


Aven tak tahu harus berkata apa, jadi ia berdiri dan mengulurkan tangan kanannya untuk menerima amplop itu. Ia menghela napas, bersyukur karena tangan kanannya sudah berhenti bergetar.

“Maaf, kami akan langsung mulai,” kata Priatna tanpa mengacuhkan kenyataan bahwa amplop itu belum dibuka apalagi dibaca.


Amplop tersebut tampak sangat rapi dan semua orang tahu bahwa amplop terbuat dari kertas dan sampai saat ini tak ada satu lembaga pun yang memberikan pernyataan bahwa amplop bisa dipakai sebagai senjata, namun Aven punya pendapat berbeda. Di matanya benda itu terlihat seperti bom plastik dengan detonator yang telah diaktifkan. Aven menabahkan diri dan dengan sangat hati-hati membuka benda berbahaya itu, mengeluarkan isinya, membacanya, lalu mendesah.

Dua orang anak buah Priatna ke luar dari ruangan  saat Aven masih membaca surat itu. Peringatan dan gerak gerik para tamu itu membuat Aven jadi teringat akan cerita teman-temannya. Rombongan aparat yang satu itu selalu tergesa-gesa dan tak bisa dibantah. Sedikit penyesalan menyembul di hatinya karena lupa mempelajari bagaimana seharusnya bereaksi ketika kantormu digeledah oleh KPK.

Tak ada waktu lagi. Apa boleh buat, siap atau tidak ia akan menjalankan rencana yang telah ia susun.

BERSAMBUNG...

Cerita ini juga dimuat di blog saya: http://cerbung.com/category/spammer/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun