Seorang anak balita memegang pisau, dia senang dengan warna mengkilapnya. Dia menimang-nimang pisau itu, Ibunya yang baru saja melihat, tersentak, khawatir kalau sang anak terluka karenanya. Ibu itu berpikir kalau dia memintanya secara paksa, anaknya akan meronta-ronta, mungkin pisau itu akan benar-benar melukainya.
Sang Ibu mencari akal, mungkin dengan dia menyuguhkan sesuatu, si anak akan memberikan pisaunya.  Akhirnya si Ibu menyuguhinya sebuah permen warna-warni. Si anak tertarik dengan warnanya, mencoba meraih permen itu. Tapi si Ibu sengaja memperlihatkan permen itu agak berjarak darinya, agar si anak berusaha bergerak meraih permennya. Dan benar saja si anak mengulurkan tangannya untuk meraih permen. Begitu permen hampir diraih, ibunya menjauhkannya sedikit lagi. Si anak beringsut maju mendekati si Ibu  sedang pisau di tangan belum juga dia lepas. Sesekali jangkauan tangannya hampir mencapai permen, seketika itu juga  ibu menariknya.
Sampai si anak menyerah. Perlahan pegangannya pada pisau melemah, seiring hasratnya yang menjadi-jadi akan permen di tangan ibunya. Ibunya masih belum memberikannya permen, tetapi terus menarik ulur permen itu. Sampai dia benar-benar yakin si anak sudah melepaskan pisaunya, segera si ibu meraih pisau itu dan menyembunyikannya. Permen yang ditangannya pun seketika sudah berganti menjadi pisang. Anaknya terdiam, dia tidak mengerti kenapa permennya menjadi pisang. Saat itu  dia mulai sadarkan diri bahwa pisaunya pun sudah tidak ada. Merasa sudah dipermainkan, si anak  pun akhirnya menangis.
 Anak balita dengan taraf cara berfikir nya sebagai balita, dia merasa beruntung memiliki pisau yang mengkilap. Dalam pikirannya dengan batasannya sebagai balita dia berlogika, mungkin pisau ini enak kalau di makan atau kilapan besinya akan lebih bagus lagi kalau di tempelkan ke pipi. Namun itu semua tidak mungkin bagi Ibunya, apa saja yang ada dalam fikiran balita itu tantang pisau tidak satu peluang pun dapat dikatakan benar.
Karena keterbatasan pengetahuan balita akan sifat pisau, sang ibu harus bertindak cepat sebelum pisau itu benar-benar melukai anaknya. Dalam pikiran anak,  permen warna warni itu tidak terlalu bagus dibanding pisau, tapi  apa salahnya kalau ia memiliki kedua-duanya. Namun ibunya juga tidak mau kalau anaknya memiliki kedua-duanya. Dia ingin anaknya melepaskan pisau itu dan saat sang anak sudah melepas pisau,  dia pun tak ingin kalau sang anak mengambil permen lalu memakannya. Karena dalam pemahaman  ibu, permen tidak baik untuk pertumbuhan gigi sang anak. Maka permen pun akhirnya dia ganti menjadi pisang.
Pengalihan perhatian akan keadaan yang dilakukan Ibu ini masih bisa dikatakan baik, dilakukan dengan baik, bertujuan baik dan bersifat baik. Dimana dia menggunakan keterbatasan cara berpikir dan menganalisa keadaan pada anak balita untuk "mengelabuinya".
Demikian juga pesulap, illusioner.  Pesulap melakukan atraksi-atraksi unik yang hanya dia yang mengetahui prinsip kerjanya. Dengan kecepatan gerakannya dia memanfaatkan keterbatasan menganalisa dan kesilapan mata penonton yang biasanya menghadiri acara itu  memang hanya untuk bersenang-senang.Â
Marketing atau pebisnis juga menggunakan prinsip ini untuk "mengelabui" calon pelanggannya. Misalnya kalau dia menjual beras, dia tahu kalau beras itu dari petani yang sama, dari sawah yang sama, jenis padinya sama, dan waktu panennya sama.  Tapi, demi memperoleh keuntungan besar, dia mengarungkan beras itu dengan berbagai macam karung dengan warna dan merk yang berbeda. Kalau karungnya  tipis , warna tidak mencolok dan tidak ada merknya adalah yang paling murah, maka yang berkarung tebal, warnanya cerah, merknya dengan tulisan menarik adalah yang lebih mahal.Â
Â
Atau kondisi lain, saat harga kebutuhan pokok merangkak naik, orang mulai berfikir ada yang tidak beres dengan keadaan ekonomi, orang menyebutnya sebagai inflasi. Dimana, dalam kondisi normal, jika angka inflasi tinggi maka harga emas pun ikut naik yang disebabkan oleh berkurangnya kepercayaan publik dengan nilai uang di tangannya. Tapi aneh, saat inflasi naik, kenapa harga emas menjadi turun?! Â Apakah karena ada "sesuatu" Â yang mengendalikan harga emas?
Pejabat-pejabat publik juga melakukan hal serupa, supaya terpilih dia akan menggembar gemborkan berapa banyak kebaikan yang telah dilakukan, dia berjanji jika terpilih nanti akan lebih banyak melakukan kebaikan lagi. Mereka masing-masingnya membuat jargon-jargon unik agar nantinya murah dikenal orang, supaya peluang terpilihnya menjadi lebih besar lagi. Di saat yang sama, dia memerlukan modal untuk melakukan kampanye-kampanye nya yang tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Jawabannya adalah pada pebisnis yang memiliki modal. Tapi sebagai pebisnis, dia juga tidak mau kebaikannya hanya berupa hal yang sia-sia tanpa arti. Dia tidak mau uangnya lenyap begitu saja tanpa memberikan keuntungan daripadanya. Disinilah mereka melakukan deal-deal. Disaat calon pejabat ingin agar dia yang terpilih dalam pemilihan nanti, pebisnis juga ingin agar bisnisnya terus berkembang. Kedua-duanya telah dipasung oleh target masing-masing.
Tanpa disadari, ternyata kesepakatan mereka berdua telah membahayakan orang banyak di tempat pemilihan dimana calon pejabat ini di calonkan nantinya. Ternyata pebisnis ini tidak cukup uang untuk menanggung semua biaya yang diminta calon pejabat ini. Tapi dia punya relasi di negeri lain. Â Relasi dari pebisnis ini menyanggupi atas biaya yang disuguhkan dengan konsekuensi yang lebih besar lagi. Dia ingin area pertambangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan dalam prosesnya nanti dia tidak ingin ada orang-orang yang mengganggu pekerjaannya meski itu adalah masyarakat dimana calon pejabat ini memimpin nanti.
Demi ambisinya, si calon pejabat mengiyakan syarat yang diberikan si pemodal. Hingga si pemodal bisa dengan pongah mengatur si pejabat saat dia sudah terpilih. Sepertinya si pemodal tidak merasa cukup dengan menguasai perkebunan, pertambangan di sana. Dia ingin lebih. Dia inginkan semua wilayah itu menjadi miliknya, bahkan masyarakat disana yang sejak kakek buyutnya makan, minum, buang hajat, harus enyah.
Dibuatlah program pembodohan  yang komprehensif, pencucian otak, orang-orang dicekoki budaya-budaya hedon, dimana di saat yang sama aset mereka di jarah, di tebar rentenir dengan dalih cicilan rumah, cicilan mobil, cicilan motor, cicilan panci, cicilan dandang, cicilan kasur dan sebagainya. Sampai-sampai orang yang terjarahpun sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang lebih mahal harga dirinya ataukah harga beras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H