Sebagaimana kita telah ketahui, perpindahan ilmu itu dimulai dari penginderaan  diteruskan, dirasakan oleh hati lalu ditelaah oleh akal.Â
Adakalanya orang hanya merespon penginderaan itu cukup sampai di hati saja, lalu ia sudah memberi tanggapan dari ransangan yang diterima. Pada dasarnya cara seperti ini tidak sempurna untuk proses pengambilan keputusan karena memberi tanggapan ke luar diri terlalu dini, Â tidak mengikut sertakan fungsi akal pemilah secara logika. Umumnya cara pengambil keputusan seperti ini terjadi pada kaum wanita dan anak balita.Â
Pada balita hal ini sangat dimaklumi, karena fungsi kerja akalnya belum  terbentuk secara sempurna. Balita cepat bereaksi jika dia merasakan sesuatu yang tidak beres, lapar, kencing, jengkel, senang.  Reaksi yang dilakukannya tanpa mengikut sertakan akal untuk berlogika.Â
Sedang pada wanita, memang beitu lah kodratnya, ia akan mudah mengambil keputusan jika persaaannya sudah senang tidak peduli apapun yang terjadi setelah keputusan itu di ambil. Â
Begitu dirayu-rayu kekasihnya, dia akan menyetujui apapun ajakannya. Saat melihat berlian, emas, di pusat perbelanjaan dia segera merengek untuk dbelikan . Jika tidak , dia akan merajuk. Itulah tabiat dasar perempuan, mengambil keputusan cukup mengikutsertakan perasaannya saja. Tapi orang bijak bilang, itu baik dan wajar. Â
Tidak dipungkiri hal ini terjadi juga pada sebagian kaum laki-laki yang memang telah mengenyampingkan fungsi akalnya. Seperti saat dia mabuk, atau dalam tekanan. Akalnya akan tidak berfungsi dengan baik.Â
Betapa fungsi adab sangat berharga. Bagaimana ia dengan keluhuran budi, sopan santun, penyanjung, kerendahan hati dan tidak sombong, membuat orang dalam proses pengambilan keputusan cukup terhenti sampai di hati saja tidak berlanjut ke akal. Yang berarti penyederhanaan proses pengambilan keputusan.Â
Hal-hal seperti ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berprofesi sebagai marketing. Mereka memanfaatkan kelemahan hati orang lain untuk mengambil keuntungan. Pada prinsipnya ini tidak jelek, namun jika digunakan secara berlebihan bisa membuat orang lain itu buta hingga menyerahkan seluruh hidupnya ke marketing tersebut karena sudah tertipu.Â
Ada lagi, orang dalam proses pengambilan keputusannya, dari penginderaan meloncat langsung ke akal, tanpa merasakannya dulu di hati apa yang telah ia terima dari indera. Dia beranggapan semuanya bisa diselesaikan dengan berlogika. Karena menurutnya logika lebih dapat menghasilkan keputusan dengan pasti dan dapat dipertanggung jawabkan.
Manurut mereka, sekali penginderaan menyampaikan satu hasil  pengamatan rangsangan ke akal, mereka yakin di masa yang lain jika pengulangan itu terjadi lagi, maka hasilnya akan tetap sama. Maka mulailah semua hasil pengamatan itu dikumpulkan agar mereka dapat di suatu saat nanti menentukan hasil keputusannya dengan mudah. Tapi sayangnya, orang-orang seperti ini tidak menyadari sesungguhnya mereka juga sedang tertipu oleh penginderaan dan akalnya.Â
Karena tidak semua kejadian berulang itu menghasilkan suatu hasil yang sama di masa depan. Bagaimanapun setiap kejadian itu sebenarnya adalah unik, akan berbeda hasil kejadian satu dengan yang lain meski se per sekian detik atau se per takaran-takaran yang lainnya. Tapi para pemuja logika itu dengan dada yang membusung akan berkata api kompor yang kuning itu sama dengan sinar matahari yang kuning. Padahal kalau diteliti lagi tidaklah sama karena yang satu suhunya 100 derajat celsius, yang satunya lagi bisa jutaan derajat celcius. Atau mengatakan laki-laki sama hak dan kewajibannya dengan perempuan, ya pasti tidak sama, yang satu bisa melahirkan yang satu lagi tidak. Begitulah pemuja logika terus tertipu dengan kesimpulan-kesimpulannya.Â