Mohon tunggu...
Maik Zambeck
Maik Zambeck Mohon Tunggu... Ahli Gizi - corat coret

semoga menjadi orang yang sadar sesadar-sadarnya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Indonesia Selalu Kalah Dalam Negosiasi?

11 April 2015   16:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri  langsung terkait dengan diplomasi internasional yang mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis yaitu diplomatie.

Diplomasi, dalam praktiknya bersenjatakan negosiasi adalah cara lain untuk memperoleh sesuatu secara halus tanpa harus ada perang. Syarat bernegosiasi pada dasarnya, ada pihak yang akan bernegosiasi dan ada objek yang akan dinegosiasikan. Pihak yang saling bernegosiasi paham dan mengerti tentang hal apa yang harus mereka pertahankan sekaligus juga berkemauan besar untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Sebagaimana disebutkan di atas, para penegosiasi menggunakan kata-kata yang halus untuk menarik hati lawan bicaranya, berarti penguasaan bahasa adalah kunci utama untuk menang dalam bernegosiasi. Maka, para penegosiasi diharuskan mengerti dan tahu banyak bahasa untuk bernegosiasi agar lebih diterima oleh lawan negosiasi. Sebagai contoh kalau kita bernegosiasi dengan orang Perancis, lalu kita menggunakan bahasa Perancis, kemungkinan kita bisa melunakkan hati lawan bicara akan semakin besar, karena itu berarti kita menghargai mereka hingga mereka juga wajib menghargai kita dengan mendengarkan apa-apa yang kita inginkan.

Selain itu, penegosiasi juga harus memiliki wawasan yang luas, pandai bersilat lidah, tahu kapan harus memuji lawan bicara hingga mereka lupa diri melambung kelangit, juga tahu kapan memukul lawan bicara dengan kata-kata yang halus tapi mengena.

Penampilan dan cara berpakaian juga tidak kalah penting, apalagi jika penegosiasi adalah orang yang rupawan. Dengan penampilan, penegosiasi secara tidak langsung sudah menunjukkan, oraganisasi atau negara macam apa yang akan dia bela. Jika, penegosiasi berperawakan bagus, kemungkinan untuk melunakkan hati lawan bicara semakin besar, namun jika berperawakan seadaanya, jangankan lawan bicara akan mendengar apa perkataan yang disampaikan, melihat saja sudah pasti enggan.

Cuma sayangnya, pemerintah negara kita tercinta Indonesia tidak melihat betapa pentingnya peran penegosiasi ini. "Penegosiasi" yang kita miliki sekarang adalah para pejabat dengan latar belakang pendidikan luar negeri, yang di kepalanya sudah luar biasa banyak ilmu pengetahuan dan di mukanya melekat kaca mata tebal. Mereka mendapat jabatan tinggi misalnya Eselon I atau Eselon II karena latar belakang pendidikannya yang tinggi itu, hingga merekapun terjebak dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, lalu lupa bagaimana caranya bergaul secara elegan. Lebih tepat kalau orang-orang seperti ini cukup ditempatkan saja sebagai staf ahli yang akan diminta pertimbangannya oleh penegosiasi yang sesungguhnya.

Sebagai contoh kasus, bagaimana mungkin para "penegosiasi" kita ini menghabiskan waktu hingga berlarut-larut malam sampai pagi, padahal mereka baru saja turun pesawat dari perjalanan jauh hanya untuk membahas tata cara penulisan surat perjanjian, yang tidak lebih penting daripada isinya, lalu paginya mereka akan bernegosiasi dengan lawan bicara yang sesungguhnya. Padahal jika sedikit lebih bijak, masalah penulisan itu bisa mereka persiapkan jauh-jauh hari selagi masih di tanah air. Bisa ditebak, "penegosiasi" kita pasti akan terlihat kuyu, yang akan memperparah penampilannya yang sudah linglung. Ini adalah santapan empuk bagi lawan bicaranya karena "penegosiasi" kita, jangankan akan membela kepentingan negara, menjaga wibawanya sendiri saja mungkin sudah tidak bisa.

Sangat berlainan dengan diplomat ulung yang pernah kita miliki sewaktu masa awal kemerdekaan, yang kisahnya selalu jadi buah mulut orang-orang, H. Agus Salim. Salah satunya, ketika dia aktif sebagai anggota Volksraad pada kurun 1921-1923 menggantikan Tjokroaminoto mewakili PSII. Saat itu dia menjadi anggota Volksraad pertama yang menggunakan bahasa Indonesia. Haji Agus Salim lebih sering bertindak sebagai oposisi di Volksraad atau Dewan Rakyat. Suatu ketika Haji Agus Salim berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia (dulu Melayu).Di dalam pidato tersebut ada perkataan "ekonomi". Kemudian ditanya oleh Bergmeyer (wakil dari Zending di Volksraad): "Apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?" sambil mengejek kepada salim. Dijawabnya "Coba tuan sebutkan apa Belandanya".Padahal, dalam bahasa Belanda istilah ekonomi juga tidak ada, Bergmeyer pun tertohok. Secara lembut Agus Salim menang.




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun