Mbah Paymun masih kelihatan gagah dan bersemangat meski usianya sudah 94 tahun. Teriakannya masih lantang dan matanya berbinar-binar ketika mengungkapkan pemikirannya. "Dari zaman pemerintah Belanda hingga sekarang, negara kita sudah terlihat makmur tapi adil masih jauh dari harapan," ungkapnya. Tentunya keadilan yang dimaksud Mbah Paymun, adalah perhatian pemerintah terhadap warganya. Apalagi kalau melihat iktikad baik pemerintah menyelesaikan kasus Talangsari, Lampung Timur. Hingga sekarang Mbah Paymun masih merasakan adanya diskriminasi. Padahal desanya hanya berjarak 8 KM dari Jalan Raya Lintas Timur Sumatera, tapi perasaannya ia masih terasa bak desa yang sulit dijangkau. Di sana-sini jauh dari layaknya sebuah desa yang ada pemerintahan. Jalan masuk ke desa yang masih tanah dan berlubang. Listrik yang seadanya, itupun menumpang saluran dari rumah-rumah desa tetangga dengan cara menarik kabel sepanjang 2 km. Air bersih yang didapat melalui sumur yang ditimba dengan ember dari kedalaman 6 meter. Puskesmas dan rumah sekolah yang jauh dari kawasan mereka. Bahkan pemerintahpun seakan tidak mengakui keberadaan Desa Talangsari, sekarang kawasan mereka disebut sebagai Desa Subeng Putra. Jadi secara administratif mereka adalah warga Subeng Putera. Jadi Talangsari hanya sebagai kenangan bagi mereka. Semua hal yang terjadi di depan mata Mbah Paymun hanya membuat ia semakin tidak mengerti. Ia sebagai warga menjadi bingung memikirkan hak dan kewajiban warga. Ia pun sulit membedakan apa ia sudah merdeka dari penjajahan atau belum. Bahkan 21 tahun lalu, tepatnya di tahun 1989, ketika terjadi penangkapan terhadap Warsidi yang dituduh makar terhadap pemerintahan Suharto karena menolak azaz Pancasila, peristiwa itu adalah puncak kebingungannya. Ia dan keluarga tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus itu, tapi ia harus lari meninggalkan desa itu. Rumahnya dibakar dan ternak sapinya pun ludes. Habis sudah hasil jerih payahnya dari tahun 1971 sejak ia pindah dari Jawa ke Talangsari itu. Itu hanya karena Pesantren Warsidi yang dituduh makar itu berbatasan dengan tanah miliknya. Sejak itu, berbagai teror dan diskriminasi menyelimuti kehidupan Mbah Paymun dan warga Talangsari. Ketika LKC Dompet Dhuafa bersama Kontras memberikan pengobatanan dan pemeriksaan kesehatan gratis dalam rangka Memperingati Hari HAM ke-62, Sabtu (11/12/2010) di kawasan itu ia merasa senang. Kendatipun yang diperiksa hanya pisik tapi Ia merasa terobati lahir dan bathin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H