Mohon tunggu...
Maichel Firmansyah
Maichel Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang hobby menulis dan menjadikan tulisan sebagai bentuk semangat juang dalam memberi kebermanfaatan

Hobi saya menulis, membaca dan bermain musik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skema Pemilu 2024 dengan Pengoptimalan Pendidikan Politik Pemilih

25 November 2022   13:56 Diperbarui: 25 November 2022   14:04 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu adalah pesta demokrasi yang kehadirannya dinanti rakyat karena hanya pada saat itu kedaulatan rakyat akan terlihat di mata para politikus dan rakyat juga dapat mengambil peran dalam menentukan arah negara ini, serta menyampaikan keinginannya kepada wakilnya nanti..

Indonesia adalah negara demokrasi yang mana kedaulatan berada ditangan rakyat. Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) bentuk perwujudannya tampak lewat pemilu kala rakyat memilih yang mewakilinya. 

Maka kedaulatan rakyat terlukis dari ikut andilnya rakyat dalam mengambil keputusan terhadap apa yang menjadi hajat hidupnya, baik hajat jangka panjang dan/atau hajat jangka pendek, serta pada kehidupannya sehari-hari pada pemilu.

Pemilu menjadi sangat penting karena menyangkut hajat orang banyak. Ikut sertanya rakyat menjadi penentu nasib dirinya dan bangsanya merupakan manifestasi dari bentuk negara demokrasi. Maka melalui pemilu inilah rakyat dapat berdaulat serta menentukan hajat, nasib dan bangsanya setiap per lima tahun ke depan.

Pelaksanaan pemilu berfungsi untuk memanajemen terhadap konflik yang didasari pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai manajer konflik, penyelenggara pemilu seyogianya tidak menjadi faktor dari penyebab konflik atau sumber konflik. Hal ini telah disampaikan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari yang mengingatkan kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk tidak menjadi bagian dari konflik saat Pemilu 2024.

Beberapa Minggu yang lalu penulis mengikuti kegiatan seminar dari Dr. Reno Fernandes., M.Pd, dosen sosiologi UNP. Melalui kegiatan itu penulis menemukan hal yang dapat dituliskan tentang persiapan penyelenggara pemilu. 

Ternyata, Pemilihan umum tidak sesederhana yang kita bayangkan, butuh persiapan yang panjang dan matang dari penyelenggara pemilu, sebab pemilu tidak semudah sekedar menghimbau masyarakat datang ke TPS lalu mencoblos. 

Pemilu yang dilaksanakan negara ternyata begitu rumit dan butuh persiapan yang matang dari berbagai elemen, tetapi di sini penulis memfokuskan pada persiapan dari Bawaslu, karena sekalipun pemilu 2024 dilakukan serentak, tetapi kompleksitas di 2024 akan lebih luas lantaran untuk pertama kali di tahun yang sama diselenggarakannya lagi pemilu dan pilkada serentak yang arena kontestasinya diprediksi lebih besar.

Pemilu serentak memiliki keuntungan dan kelebihannya, menurut MK (Mahkamah Konstitusi), sebagaimana yang dilaporkan Kompas.com (23/01/2014), pemilu serentak dianggap lebih efisien, baik dari sisi waktu dan juga anggaran dana, dengan pemilu serentak, uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil sumber daya alam serta sumber daya ekonomi, dapat lebih dihemat dalam pembiayaannya. 

Masih menurut MK, pemilu serentak dapat mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa pemilu. Selain itu, “Hanya dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien.”

Pernyataan MK ini dapat tersalurkan pada pemilu 2024, jika KPU dan Bawaslu mempersiapkan diri dalam menyambut pesta demokrasi ini dengan lebih awal. Seharusnya itu bisa dilakukan menimbang bahwa peraturan dasar penyelenggaraan pemilu masih sama dengan pemilu 2019, yakni UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pengalaman Pemilu 2019 sepatutnya menjadi pelajaran dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. 

Menurut penulis, peraturan KPU dan Bawaslu pada pemilu sebelumnya bisa digunakan lagi pada pemilu mendatang, tinggal dimaksimalkan. Tetapi, masih terdapat hal-hal yang kurang yang mesti tingkatkan, dan menurut penulis, dianya pendidikan politik bagi masyarakat. 

Bawaslu mesti memberikan pendidikan politik bagi pemilih agar pada pemilu serentak ini, masyarakat bisa membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial sesuai keyakinannya sendiri, seperti yang diharapkan MK.

Pendidikan Politik

Lahirnya Bawaslu dilatarbelakangi dari adanya pelanggaran yang terjadi pada pemilu sebelum berdirinya. Sudah sepatutnya Bawaslu jadi tampuk terpenting untuk memonitor akan jalannya pemilu 2024, agar tidak menjadi arena kontestasi politik yang penuh pelanggaran atau kecurangan. 

Membentuk arena politik 2024 yang sehat adalah dengan mengatasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran, mengatasi hal tersebut caranya dengan Bawaslu mesti memperbanyak unit pengawasnya, dan dianya adalah masyarakat. 

Mendapatkan unit pengawas ini dilakukan dengan membentuk masyarakat yang mampu mengawasi berjalanya pemilu serentak 2024 nanti, tentu masyarakat yang mampu mengawasi hal tersebut adalah mereka yang melek politik alias literasi politiknya tercukupi, maka Bawaslu hadir dengan memberikan pendidikan politik pada masyarakat hingga kepada level berpikir tingkat tinggi (high order thingking skill), sebab Bawaslu bertugas bukan hanya menjamin masyarakat untuk mau datang ke TPS lalu mencoblos, tetapi tugas Bawaslu adalah menciptakan masyarakat yang mampu membuat laporan terhadap pelanggaran yang terlihat oleh masyarakat melalui aplikasi Sigaplapor yang telah dikeluarkan Bawaslu. Masyarakat yang dapat mengakses aplikasi tersebut adalah mereka yang punya kemampuan literasi politik alias melek politik.

Lebih awal Bawaslu mempersiapkan diri untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat dengan proses berpikir tingkat tinggi. Jika ingin membuat masyarakat melaporkan terhadap pelanggaran pemilu yang terjadi di lapangan lewat aplikasi Sigaplapor, maka butuh masyarakat yang melek politik sehingga bisa mengawasi, menilai dan membuat laporan tersebut. 

Dalam mencapai tahapan itu, pendidikan politik masyarakat ini harus terpenuhi dengan memberikannya literasi politik, dilihat berdasarkan taksonomi bloom ia berada pada kerangka berpikir tingkat tinggi, yaitu 4C-6C.

Aplikasi sigap lapor Bawaslu bisa diakses oleh masyarakat yang partisipatif, yaitu masyarakat yang sudah terpenuhi literasi politiknya tadi, cara memberikan literasi politik hari ini juga mesti dilakukan karena era digitalisasi yang memasuki dunia masyarakat mesti dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan politik.

Caranya

Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia terbesar didominasi oleh Generasi Z, totalnya 74,93 juta atau 27,94% dari total penduduk Indonesia. Komposisi penduduk terbesar selanjutnya berada di usia produktif, yaitu Milenial sebanyak 69.38 juta atau 25,87%. Generasi Milenial dan Z adalah digital native. Digital native merupakan sebutan untuk orang yang lahir di era digital, alias hidup dan besar dalam situasi berkembangnya teknologi seperti komputer dan internet (Marc Prensky).

Penduduk Indonesia didominasi oleh digital native, sehingga memberikan pendidikan politik bagi mereka caranya adalah dengan memanfaatkan media sosial sebagai saluran penghubung antara KPU, Bawaslu dan masyarakat. 

Platform media sosial seperti tiktok, Twitter, Facebook dan platform media lainnya bisa dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan politik bagi generasi Milenial dan Z. Karena media sosial banyak di gandrungi oleh generasi tersebut. 

Laporan We Are Social mengungkapkan bahwa jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia pada Januari 2022 tumbuh sebesar 12,35% dari tahun lalu. Lebih tepatnya jumlah pengguna aktif pada awal 2022 adalah sebanyak 191 juta orang, maka menggunakan media sosial sebagai saluran pendidikan politik bagi masyarakat menjadi langkah yang tepat dan strategis bagi KPU dan Bawaslu.

Selanjutnya, langkah KPU dan Bawaslu dalam membentuk masyarakat yang partisipatif yaitu memberikan pendidikan politik dengan kolaborasi bersama institusi pendidikan. 

Sebab, di sekolah adalah tempat untuk belajar, meningkatkan literasi politik generasi Z strategis di sekolah dan perguruan tinggi. KPU dan Bawaslu mesti melakukan sosialisasi dengan guru-guru disekolah. Sosialisasi bukan lagi diberikan pada tokoh masyarakat yang selama ini telah dilakukan, tetapi fokus targetnya kepada guru di sekolah untuk membuat suasana belajar yang mampu meningkatkan literasi politik generasi Z. 

Menurut penulis Bawaslu dan KPU sesegera mungkin membasa guru-guru di sekolah sebagai sarana pendidikan politik lewat materinya dikelas dengan menghubungkan fakta pembelajaran pada pengetahuan politik. 

Alhasil pendidikan politik yang terintegrasi dengan mata pelajarannya dapat diberikan KPU dan Bawaslu lewat guru-guru ini kepada siswa di sekolah. Guru yang cocok dan bisa diberdayakan dalam hal ini adalah guru PKN dan guru sosiologi, sebab materi pokok guru ini erat kaitannya dengan masyarakat dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun