PERAN MAHASISWA SEBAGAI MORAL OF FORCE
Â
Menurut Kamus Praktis Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka
yang sedang belajar di perguruan tinggi (Taufik, 2010). Salim dan Salim(dalam
Spica, 2008)mengatakan bahwa mahasiswa adalah orang yang terdaftar dan
menjalani pendidikan padaperguruantinggi. Susantoro (dalam Siregar, 2006)
menyatakan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan
sikap keilmuwannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan objektif,
sistematis dan rasional.
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral,
yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk
formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik
dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31)
mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu
dipikirkan dan direncanakan sebelumnya
Sebagai generasi muda dituntut untuk mempunyai akhlak dan moral yang baik karena itu akan menjadi panutan atau contoh yang baik bagi masyarakat. Dalam bermasyarakat mahasiswa merupakan tolak ukur dari cerminan perilaku generasi muda saat ini disaat maraknya perilaku yang kurang mencerminkan akhlak dan moral yang baik di masyarakat.Â
Mahasiswa harus mencerminkan nilai-nilai yang baik kepada masyarakat agar masyarakat dapat mencontoh tingkah laku tersebut agar menciptakan masyarakat yang mempunyai akhlak dan moral yang baik.Â
Sejak kita kecil kita sudah diajarkan oleh orang tua kita tentang akhlak dan moral yang baik, contohnya menghormati orang yang lebih tua. Saat ini banyak sekali sikap kurang menghormati orang lain dikarenakan kurangnya edukasi tentang akhlak dan moral sejak dini.Â
Sebagai contoh kasus, sering kali kita temukan anak muda yang tidak menghormati hak hak para disabilitas di angkutan umum. Contohnya seperti menduduki kursi khusus untuk penyandang disabilitas, ibu hamil, dan orang tua. Hal ini jika didiamkan saja akan menjadi suatu kebiasaan yang mengakar hingga tua nanti jika tidak adanya niat untuk merubah moralnya menjadi lebih baik.
Krisis moral ini disebabkan oleh banyak factor yang dapat mempengaruhi seseorang baik dari factor internal maupun eksternal. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi krisis moral antara lain :
1. Adanya kemajuan teknologi
2. Memudarnya kualitas keimanan seseorang
3. Pengaruh lingkungan sekitar
4. Memudarnya rasa kejujuran
5. Hilangnya rasa empati kepada orang lain
6. Sikap individualism dan mementingkan kepentingan diri sendiri
7. Rendahnya sikap disiplin
8. Kurangnya edukasi tentang akhlak dan moral
Menurut Lawrence Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan dari moral ini bukanlah soal perasaan atau nilai, malainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, kewajiban, hak dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan juga adil. kesemuanya ini merupakan tindakan kognitif. Kohlberg juga mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggung jawabkan perbuatan moralnya.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal adalah yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg yaitu :
1. Tingkat Prakonvensional (usia 4 -- 10 tahun) Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental. Tingkat Konvensional (usia 10 -- 13 tahun) Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut "orientasi anak manis" serta tahap orientasi hukum atau ketertiban.
2. Tingkat Pascakonvensional (usia 13 tahun keatas) Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap orientasi prinsip etika universal.
Intisari menurut Lawrence Kohlberg moral tidak hanya mengandung penilaian terhadap perilaku atau kebiasaan tetapi juga untuk mengembangkan kognitif, dan jika berusia remaja moral ini mulai dapat dipertanggung jawabkan oleh si anak. Lawrence juga memiliki 3 tingkatan dalam perkembangan moral, yaitu :
1. prakonvensional -- anak masih menganggap bahwa jika melaksanakan moral itu akan mendapat hukuman atau hadiah sehingga anak hanya menuruti keinginan lingkunganya dan anak masih belum mengetahui moral yang dilaksanakan itu bak atau buruk (memperhatikan ketaatan).
2. konvensional -- anak melaksanakan moral itu dengan keinginan dianggap menjadi anak yang baik dan hanya menuruti keinginan keluarga serta tahap ini anak mulai mengetahui baik buruknya moral yang dilaksanakan oleh si anak.
3. pasca konvensional -- anak mulai sadar dan memfilter atau memilih moral yang baik atau buruk serta melaksanakan moral dalam lingkupan kontak sosial dan mengganggap moral itu perilaku atau etika.
Mahasiswa perlu berperan aktif dalam pembentukan akhlak dan moral masyarakat luas karena jika mahasiswa tidak berperan aktif dalam hal ini, maka tidak akan pernah ada perubahan dalam masyarakat dan cenderung lebih mengarah pada kemunduran akhlak dan moral masyarakat. Kita harus mengupayakan bagaimana solusi yang tepat untuk permasalahan ini, ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menanggulangi permasalahan ini diantaranya adalah dengan menguatkan Pendidikan karakter yang tercantum dalam kurikulum 2013.
kurikulum sendiri menurut Sanjaya (2008) berhubungan erat dengan usaha
mengembangkan peserta didik sesui dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga
kurikulum dapat diartikan sebagai semua kegiatan yang dilakukan peserta didik di dalam
dan di luar sekolah. Sedangkan menurut UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
bahan pengajaran dan cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan
kegiatan belajar mengajar guna mencapai tujuan Pendidikan nasional. Sebagai salah satu sarana pembentukan karakter, maka penting untuk menguraikan bagaimana perkembangan dan karakteristik kurikulum 2013. Landasan filosofis dari kurikulum 2013 antara lain adalah bahwa pendidikan berakar pada budaya bangsa, kehidupan yang berkembang saat ini dan pembangunan guna kehidupan dimasa depan. Selain itu pendidikan juga merupakan sebuah proses pewarisan dan pengembangan sebuah kebudayaan. Pendidikan memberikan dasar bagi peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehidupan masa kini. Peserta didik juga mampu mengembangkan potensi dan jati diri yang dimilikinya.
Â
Dalam kurikulum 2013, peserta didik ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Dari hal tersebut maka aplikasi filosofi dalam kurikulum 2013 dapat terwujud dalam bagaimana sebuah ide dari pembuatan kurikulum itu sendiri, kemudian penyusunan isi dari kurikulum, pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Dapat dipahami bahwa kurikulum 2013 beroientasi pada pengembangan pendidikan karakter peserta didik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya integrasi antara mata pelajaran dengan jenjang pendidikan. begitu pula dengan aspek afektif, kognitif serta psikomotorik.
Nilai-nilai karakter yang diimplementasikan dalam kurikulum 2013 dikembangkan pada peserta didik melalui dua sikap yaitu spiritual dan sosial. Spiritual yang dimaksud yakni menjalankan ajaran agama yang dianutnya sedangkan aspek sosial meliputi perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli lingkungan dan percaya diri dalam berinteraksi dengan lingkungan. Seperti disebutkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB X Pasal 36 (3) bahwa kurikulum disususn sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia dengan mempertimbangkan aspek peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan agama, dinamika perkembangan global serta persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Â
Oleh karena itu, mahasiswa sangat diperlukan untuk dapat membeantu membentuk karakter akhlak dan moral yang baik dalam masyarakat luas karena mahasiswa merupakan contoh yang dapat ditiru oleh banyak masyarakat. Mahasiswa harus menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat sejak dini dengan menyertakan kurikulum 2013 sebagai pedoman dalam mengedukasi masyarakat luas. Jika rencana ini dapat terlaksana dengan baik, kita dapat mengikis nilai akhlak dan moral yang kurang baik dalam masyarakat dan menggantikannya dengan akhlak dan moral yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H